bc

Cassava VS Cheese

book_age18+
3.2K
FOLLOW
62.5K
READ
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Warning 18 +

Ciuman pertama Rey dan Sila adalah saat keduanya berusia lima tahun.

Waktu berlalu, jarak terpisah, namun kenangan akan tetap ada dalam sanubari. Terutama bagi Rey, yang menginginkan ciuman itu lagi, saat ia kini sudah dewasa dan bertemu lagi dengan Sila. Cinta sekaligus ciuman pertamanya.

Akankah ada ciuman kedua, ketiga, atau malah tak akan pernah ada lagi.

chap-preview
Free preview
Bertemu Kembali
Sila Hari yang melelahkan akibat semalam Eyang Putri mengajakku begadang dengan wejangan yang jika ditulis sudah mirip buku Harry Potter yang tebal dan berseri. Wow bingit kan? Setahun selesai kuliah, Papa menawariku bergabung di perusahaannya, padahal aku sama sekali tidak tertarik dengan dunia bisnis karena aku lebih tertarik pada kaum gembel. Eh... apa juga bahasanya kok merendahkan amat. Maksudnya selama di Jogja aku tergabung menjadi relawan untuk menyejahterakan hidup orang-orang jalanan.  Banyaknya ibu yang membawa anak mereka mengemis, anak jalanan yang mengamen dan berkeliaran di lampu merah membuat kamu tergerak membantu hidup mereka. Kami yang terdiri dari sepuluh orang—mereka semua teman kampusku—membangun sebuah rumah singgah untuk membagikan sedikit ilmu kepada para anak jalanan yang buta huruf karena memang orang tua mereka tidak sanggup membiayai sekolah. Dan untuk para ibu, kami mengajari mereka membuat kerajinan tas, dompet dari bungkus minuman kopi sachet, berbagai hiasan dari botol minuman bekas yang dikumpulkan oleh para suami yang bekerja sebagai pemulung.  Jadi baik suami, istri dan anak akan sama-sama mendapatkan ilmu. Dan hasil dari kerajinan mereka akan kami posting untuk penjualan online. Hasilnya sangat bermanfaat untuk menambah nafkah mereka daripada harus mengemis yang sebagian penghasilan mereka dibayarkan sebagai pajak kepada 'bos preman' yang dianggap berkuasa di daerah tersebut. "Sila...!" teriak seseorang yang amat kukenali karena setiap seminggu sekali pasti akan menyambangiku di Jogja. "Mama....." Aku menghambur ke pelukan wanita yang melahirkanku dua puluh tiga tahun silam. "Jangan lama-lama, Papa juga mau dipeluk."  Kutoleh suara yang menginterupsi dari belakang Mama, dan segera aku melepas pelukan Mama kemudian berlari menubruk Papa yang berjalan ke arahku. "Anak Papa yang cantik udah besar ternyata" direngkuhnya tubuhku oleh laki-laki yang amat kucintai ini. "Udahan peluk-peluknya, kita langsung pulang saja dilanjutin di rumah" tegur Mama seakan memisahkan adegan pelukanku dengan Papa yang lagi anget-angetnya.  Maklum aku kan gak pernah dipeluk cowok kecuali Papa dan itu pun jarang juga karena Papa hanya menemuiku sebulan sekali. Tapi pelukan Papa adalah pelukan lelaki terhangat selain pelukan Eyang Kakung yang sudah meninggal sejak usiaku enam tahun. Dan alasan itulah kenapa Eyang Putri meminta pada Mama dan Papa agar aku diasuh olehnya. Eyang Putri merasa kesepian sendirian ditinggal suaminya menghadap terlebih dulu. Meski berat melepasku, namun itulah keputusan bersama yang amat kusyukuri.  Di sana aku mengenal keramahan masyarakat Jogja yang kental dengan budaya dan tradisi kejawen, menikmati sepuasnya surga alam yang tersaji murah meriah dan mengenal arti kesederhanaan dalam hidup seperti yang diajarkan Eyang padaku. Kami bertiga memasuki mobil Papa. Sepanjang perjalanan aku dan Mama saling bercerita, aku menceritakan kegiatanku di rumah singgah yang sekarang semakin berkembang. Kusenderkan kepalaku di pundak Mama dan tanganku melingkar di perutnya. Sesekali Mama membelai rambut panjangku dengan lembut dan Papa akan terus memprotes sikap manjaku sembari menyetir di depan. Ah bilang aja Papa cemburu! Dengusku kesal dalam hati. Tak lama kemudian mobil berhenti disebuah perumahan yang menjadi saksi kehidupan masa kecilku. Aku keluar dan berjalan beriringan dengan Mama.  "Kita sudah sampai, Sayang. Selamat datang di rumah kita," ucap Papa setelah membuka pintu rumah kemudian mempersilahkanku masuk.  Selesai makan masakan Mama yang selalu enak pakek banget, kuputuskan masuk kedalam kamarku yang berada di lantai atas. Kamarku yang dulu penuh dengan hiasan Hello Kitty kini berganti warna biru polos. Semua tampak sama, benda-benda yang tetap pada tempatnya, hanya warna dinding saja yang berubah. Selai itu juga lemari Hello Kitty, meja belajar serta warna sepreinya sudah berubah menunjukkan pemiliknya bukan lagi anak lima tahun.  Sebuah boneka Teddy Bear berpasangan yang sedang duduk manis diatas tempat tidurku seketika mengingatkanku pada peristiwa belasan tahun lalu, pada seorang anak lelaki yang memberikan benda itu sekaligus mencuri ciuman pertamanya.  Memalukan. Menyebalkan. * * * * * * Rey Hari minggu yang sedikit tenang tanpa diganggu dengan kerjaan kantor. Kulangkahkan kaki menuju halaman rumah. Mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi sambil menghirup udara pagi yang dibelai hangat mentari. Banyak orang menghabiskan minggu pagi dengan lari mengelilingi kompleks atau sekedar berjalan santai bersama keluarga yang kemudian mereka akan berkumpul di taman yang tidak jauh dari kompleks perumahan ini.  Aku mulai berlari-lari kecil melewati deretan perumahan yang menjulang megah karena perumahan ini memang berdesain elite. Beberapa orang tampak berlari-lari sendiri seperti diriku namun banyak juga yang berpasangan maupun beramai-ramai. Biasanya diriku memang berdua dengan Emil adikku namun karena aku telat bangun dia meninggalkanku sendirian. Keringat membanjiri seluruh tubuh, mengingat tempat istirahat sebentar lagi sampai membuat langkah kakiku semakin cepat. Sesampai di taman yang sudah dipenuhi beberapa orang yang tengah beristirahat, kuedarkan pandanganku mencari sosok adik semata wayang yang kini masih duduk di bangku SMA. Lama mencari di mana gerangan dirinya, akhirnya pandanganku menemukan dua perempuan yang sedang berbincang akrab. Kuhampiri kedua perempuan yang jelas salah satunya adalah Emil sedangkan perempuan satunya entah siapa aku tidak tahu karena hanya punggungnya saja yang terlihat dari arahku berjalan. "Em," panggilku pada Emil yang masih tertawa bersama perempuan di hadapanya. "Eh Kak, sini duduk bareng kita" meskipun aku enggan berdekatan dengan orang asing namun karena memang tidak ada tempat duduk kosong lagi kuputuskan bergabung duduk disebelah Emil. "Minum." Emil langsung memberikan botol minuman dinginnya padaku. "Kak kenalin, ini Mbak Sila, kakaknya Iko."  Byurrrrrrrr. Uhuk uhuk uhuk. Sontak minuman yang kuteguk kusemburkan begitu saja dan akibatnya aku tersedak hingga batuk. Emil buru-buru mengulurkan tangannya menepuk-nepuk pundakku.  Sila. Kakaknya Iko. Sila yang anaknya Tante Dinda. Sila yang dulu aku. Argggghhhhhhh! Melirik sekilas perempuan yang duduk di sebelah Emil dengan raut kekhawatiran, padaku? Aku menoleh sebentar kemudian langsung berdiri, menjauh sambil berpamitan pada Emil "Kakak mau pulang duluan."  Tanpa menoleh sedikit pun karena aku tidak ingin melihat perempuan itu. Bukan tidak mau hanya merasa belum siap jika dia memang benar-benar Sila yang pernah kucium pipinya karena aku begitu menyukainya, dulu. Dan saat itu masih TK. Aku sudah berbuat amat m***m membuatnya menangis, berbulan-bulan tidak disapa dan pada akhirnya ia pergi ke Jogja meninggalkan kata maaf dan penyesalan yang teramat karena membuatnya malu di hadapan seluruh keluarga besar serta teman-teman yang hadir. Langkahku semakin menjauh dan hendak berlari namun pundakku tiba-tiba ditepuk oleh seseorang. Aku menoleh dan dia tengah berdiri di belakangku dengan senyum yang teramat manis. Kegugupan tiba-tiba menyerangku. "Hai, Rey, lama tidak berjumpa." Kenapa susah sekali menelan ludah hanya mendengar suaranya dan menatap senyum manis yang terukir di wajahnya. Ini seperti bukan aku, bukan gayaku sebagai CEO yng diserahkan langsung oleh kakek padaku karena Papa lebih memilih menjadi Dosen dan menekuni bisnis kulinernya. Bahkan aku amat menjaga jarak dengan para perempuan yang teramat genit dengan sikap dingin, disiplin, perfeksionisku. Tapi kenapa dengan perempuan ini malah aku ketakutan? Kuputar tubuhku menghadapnya. Kucoba memasang senyum yang amat jarang kukeluarkan dan ternyata sangat gagal. "Iya akhirnya kita bertemu lagi, Naysila Safira." Kucoba meredam kegugupan dengan sifat dinginku dan sedikit mengangkat alis sebelah sambil menyeringai langsung mengarah pada manik matanya, yang ternyata berhasil. ---------------------

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pengantin Pengganti

read
85.9K
bc

Over Protective Doctor

read
484.2K
bc

Just Friendship Marriage

read
515.2K
bc

My Sweet Enemy

read
49.1K
bc

Touch The Cold Boss

read
242.0K
bc

Maaf, Aku Memilih Dia!

read
230.5K
bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
238.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook