3. Tempat untuk Maira

1156 Words
Sebuah mobil elegan dengan posisi atap terbuka melaju di jalanan dengan kecepatan normal. Seorang bocah cantik tampak sedang menikmati angin pagi sekaligus embun yang masih menyelimuti kota. Bocah itu bersenandung ria dengan syal yang melilit di lehernya. "Aisya," panggil seorang ayah dengan suara lembutnya, "pulang sekolah nanti mau ikut Papa?" lanjutnya bertanya. Aisya, gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas dua SD itu mengangguk antusias. "Aisya mau ikut ke mana pun papa pergi, hee." Bocah itu menunjukkan deretan giginya. "Apa Aisya tau papa mau ke mana?" tanya pria itu. "Ke taman kota?" tebak Aisya yang mendapat gelengan dari papanya. "Em, kebun binatang?" tebaknya lagi dengan sangat antusias. "Bukan Aisya." Pria itu menghela napasnya. "Memangnya Aisya gak bosan pergi ke sana terus?" "Nggak." "Papa mau ajak Aisya berbagi." "Berbagi?" bocah itu membeo bingung. "Ya, berbagi kepada anak-anak yang membutuhkan, Aisya pasti seneng, deh." Bocah yang selalu bersemangat itu hanya menunjukkan senyumnya. Dia memeluk papanya yang sedang mengemudi. "Aisya sayang papa!" Pria itu tersenyum hangat setelah mencium pucuk kepala putrinya, membuat Aisya menjadi semakin bersemangat. Gadis kecil itu berdiri di atas tempat duduknya lalu berpegangan pada dasboard mobil. "Aisya sayang papa!!" teriaknya pada jalanan lenggang di sana. Suaranya itu membuat ranting pohon dan dedaunan ikut menari, melengkapi semangat paginya. Sang Papa tersenyum penuh syukur melihat putri kecilnya bahagia. "Hati-hati, Sayang," pesannya pada bocah itu. Aisya tersenyum lebar, matanya menyipit merasakan angin pagi yang menerpa wajah putihnya. Gadis itu mengangkat kedua tangannya, berteriak gembira bersama angin yang berhembus kian kencang. Detik berikutnya, angin itu membawa syal yang melingkar di leher Aisya. Bocah itu berteriak setelah merasakan syalnya lepas. "Papa! Selendang Aisya terbang!" teriaknya. Aisya mengulurkan tangannya ke belakang, berusaha meraih syal yang terbang berlawanan dengan arah mobil. Seketika, raut wajah Aisya berubah sendu. Papanya itu tidak menghentikan mobilnya. "Papa selendang Aisya!" protes gadis kecil itu. "Kita sudah melaju cukup jauh, Sayang. Nanti kamu terlambat," ucap papanya. "Aisya mau ambil selendangnya dulu Papa!" racau Aisya sambil menggoyang-goyangkan tangan papanya. "Berhenti sebentar Pa!" "Aisya...." Papanya itu mencoba menenangkan. "Kita bisa beli lagi nanti kalo Aisya sudah pulang sekolah." "Gak mau! Aisya mau selendang yang itu!" teriak Aisya memaksa. "Papa berhenti!!" "Aisya diam!" bentak Sang Papa sebab bocah itu mengganggu alat kemudinya. Aisya terdiam beberapa saat, terlihat jelas raut wajahnya yang ingin menangis. "Itu selendang kesayangan mama! Papa jahat!" Gadis kecil itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, dia menangis di tempat duduknya. Dia sangat menyayangi selendang itu. Dulu mamanya selalu memakainya ketika mengantar Aisya sekolah. Sekarang Aisya kehilangan selendangnya. Sang Papa menghembuskan napasnya, menyesal. Dia menoleh pada putri kecilnya yang sedang menangis di sebelahnya. Ditutupnya atap mobil yang sejak tadi terbuka. "Aisya ...," panggilnya, merendahkan suara. Namun bocah itu tetap menangis dan terus menangis. *** Maira membuka matanya saat merasakan tetesan air di wajahnya. Rerumputan dan ilalang yang basah di sekitar tubuhnya mengembalikan kesadaran gadis itu. Semalaman dia berada di bawah sana. Maira menggerakkan tangannya yang terasa kaku. Rasa dingin juga menjalar ke seluruh tubuhnya. "Oh, Ya Rabbi ... apa aku masih harus hidup di sini...," lirihnya dalam. Angin berhembus kencang, Maira memeluk tubuhnya yang kedinginan. Wajahnya tampak sangat putih. Namun pucat. Bibirnya membiru seperti buah anggur. Maira memejamkan sejenak matanya untuk menahan dinginnya angin yang berhembus. Lalu, sebuah kain mendarat tepat di atas wajahnya. Maira membuka mata. Dia meraih kain itu sebelum angin berhembus lagi dan membawanya pergi. Gadis itu menegakkan tubuhnya. "Alhamdulillah...," lirihnya. Maira memakai kain selendang itu di kepalanya. Dia sudah hendak bangkit untuk mencari bantuan. Namun kakinya terasa sangat sakit. Baru dia sadar kalau luka sudah memenuhi telapak kakinya, kulit-kulitnya tergores ranting juga tertusuk batu-batu di jalanan saat melarikan diri semalam. Maira meringis saat menggerakkan kakinya. Dia membersihkan sisa-sisa batu kecil yang menancap di telapaknya. Lalu menghapus luka-luka yang tersisa di sana dengan ujung gamisnya. Menit berikutnya, Maira berusaha berdiri dan mencari celah untuk keluar dari gorong-gorong itu. Tangannya meraih rerumputan dan ilalang yang tumbuh di pinggir lubang, lalu dia berusaha untuk merangkak naik. Sampai akhirnya dia berhasil kembali ke atas jalan. Maira melihat ke dalam lubang itu. "Terima kasih Ya Allah, Engkau selamatkan Maira dari bawah sana," bisik gadis itu. Maira mulai menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru jalan, kondisinya tidak terlalu sepi seperti semalam. Namun tetap saja, tidak ada yang berbaik hati menawarkan bantuan pada Maira. Gadis itu melangkah lambat di pinggir jalan, tangannya setia menutupi kain di bawah dagunya. Sungguh dia malu sebab tidak bisa menutup wajahnya dengan cadar. Namun Maira tetap bersyukur, setidaknya kepala dan rambutnya bisa tertutup, meski tak sempurna. "Maira Sayang, kamu tahu, ibumu itu seperti malaikat utusan Allah untuk Ayah. Dia wanita kuat yang mampu berjalan di tengah badai. Dia juga wanita lemah lembut yang mampu meluluhkan jiwa yang kelam. Meski terkadang sangat manja dan menggemaskan, persis seperti dirimu." Maira dapat memutar ulang ucapan ayah dengan jelas di dalam benaknya. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi Maira untuk menjadi sosok kuat seperti ibu yang pernah ayah ceritakan. "Ayah tidak menyesal sebab kehilangannya dan mendapatkan kamu. Sebab Ayah yakin, Allah akan mengumpulkan kita semua di surga-Nya nanti. Ayah harap begitu." "Maira Sayang, jadi bidadari surga untuk Ayah dan ibu nanti ya ...." Setetes kristal bening mengalir dari pelupuk mata Maira. Dia tidak boleh berputus asa untuk mewujudkan keinginan ayahnya, untuk menjadi bidadari surga buat mereka, dan menjadi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad yang menjungjung tinggi kesabaran. Maira percaya, tidak ada satu pun kisah yang terlepas dari izin Allah di dunia ini. Dia menjadi seperti ini pun tetap atas izin Allah. Yang harus Maira lakukan sekarang adalah bersabar, dan terus memperbaiki diri, menjadi sosok yang berguna, dan dapat memberi manfaat atas karunia Allah yang ada padanya. Hati kecil Maira berbisik, memohon kemudahan untuk meneruskan hidupnya, tanpa seorang ayah, juga tanpa seorang suami. Allah tidak akan pergi meninggalkannya, kecuali dia yang pergi. Maira bersyukur atas iman islam yang masih mengalir dalam jiwanya. Gadis itu menghentikan langkahnya, dia melihat sebuah bangunan yang mungkin cocok untuk menampungnya. Panti Asuhan Ar-Rayyan. Sebuah bola plastik menggelinding lambat menuju ke arahnya. Maira tahu bola itu berasal dari halaman panti asuhan di depannya. Diambilnya bola itu sebelum menggelinding ke jalan raya. Seorang bocah perempuan menghampirinya. Gadis kecil itu mendelik ke arah Maira. Dapat dia lihat wajah Maira yang pucat, kerudungnya yang tak berjarum, juga kakinya yang tak beralas. "Apa Kakak diusir dari rumah?" tanya bocah kecil itu. Maira tertegun mendengar prasangkanya. Apa yang membuat bocah kecil itu mampu berpikir seperti itu, batin Maira. "Kakak gak pakai sendal?" tanya bocah itu lagi. Maira hanya mengangguk. Lalu seorang ibu menghampiri bocah perempuan yang sedang bersama Maira. "Ika, ada apa?" sahutnya. "Kakak ini kasihan, Mi. Kayak Ika dulu, diusir dari rumah, sampai gak sempat pakai sendal," ucap gadis kecil itu. Maira baru mendapat jawaban atas pikirannya tadi. Dia menatap ibu berkerudung biru yang barusan menghampiri Ika, bocah kecil itu. "Subhanallah. Ada yang bisa kami bantu, Nak?" tanya Sang Ibu pada Maira. "Apa masih ada tempat untuk saya, Bu?" tanya Maira dengan suara rendahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD