Ika dan ibu itu saling pandang sebelum akhirnya mengajak Maira masuk bersama mereka.
"Panggil Umi saja, Nak. Mari masuk."
Maira mengulas senyum syukur. Dengan begitu tulus, mereka menuntun Maira dan menerima kehadirannya. Gadis itu dipersilakan duduk di depan meja pendaftaran. Umi membuka buku lebarnya.
Maira menyapukan pandangan ke setiap sudut ruangan. Ada foto wali songo terpajang di sana, juga ada spanduk yang menampilkan foto anak-anak yang tinggal di panti ini. Maira dapat menerka, panti ini didominasi oleh anak-anak.
"Silahkan diisi, Nak," ujar Umi pada Maira.
Gadis yang masih genap berusia dua puluh tahun itu memusatkan kembali pandangannya pada Umi. Dia melihat senyum hangat terukir di wajah wanita paruh baya di depannya. Maira meraih pena yang disodorkan Umi, lantas menggores kata di atas kertas itu.
Dia menulis nama lengkapnya. Sebuah nama yang selalu ayah ceritakan bahwa ibunya lah yang merangkai arti dari namanya. Maira benar-benar merindukan ayahnya. Apalagi ibunya, yang tak sempat menggendongnya barang sekali. Tak terasa air matanya mengalir saat menulis binti dari namanya.
Umi mengelus lengan atas gadis itu, dia tahu bagaimana perasaannya. "Sabar ya Maira, kamu pasti kuat," ucap Umi setelah membaca nama gadis di depannya.
"Terima kasih, Umi."
"Sama-sama. Kalau boleh tahu, Maira usia berapa?" tanya Umi dengan senyum tak pernah lepas dari bibirnya.
"Dua puluh tahun, Mi."
"Wah, Umi pikir masih SMA, habis tubuhnya mungil, wajahnya juga seperti gadis SMA, hehe," ucap Umi, memuji sekaligus menghibur gadis di depannya.
Maira tersenyum malu. Seperti biasa, wajahnya itu menampilkan semburat merah. Maira tak terbiasa dengan ini, sebelumnya wajah itu selalu tertutup kain cadar. Namun sekarang, orang mengenalnya tanpa cadar.
"Persis seperti namanya. Humaira, artinya kemerahan, dan sekarang wajahmu memerah," timpal Umi. Maira tidak bisa berkata apa-apa, selain tertawa kecil dan berterima kasih.
"Maira yatim? Atau yatim piatu?"
"Yatim piatu, Mi."
"Tidak apa. Allah tidak pernah memberi cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."
"Iya, Mi, Maira percaya." Gadis itu mengusap wajahnya yang basah.
"Maira tulis semua datanya di sini, ya." Umi menunjuk kolom yang harus Maira isi.
Tanpa berlama-lama lagi, Maira melengkapi data dirinya. Dia harus percaya dengan takdir ini, meski pahit dia rasakan saat membayangkan nasibnya. Dijual oleh suami yang merupakan amanah dari ayahnya.
Mata Maira kembali basah, teringat saat dirinya dibeli oleh pria kejam di malam itu.
Malam itu, keputusan pembelian berada pada nominal 500 juta, belum ada yang berani menaikkan harga lagi, untuk sementara orang-orang terbungkam. Tubuh Maira bergetar, dia menatap Lian yang duduk di antara tamu undangan yang datang. Maira masih mengharap belas kasihan dari suaminya. Namun, pria itu tidak peduli barang sedetik.
Bahkan Maira melihat langsung dengan mata kepalanya, seorang wanita cantik menghampiri Lian. Mereka terlihat sangat dekat, lebih dekat dari yang Maira kira. Lian mencium pipi wanita itu, juga bibirnya. Maira tidak tahu lagi bagaimana kondisi hatinya. Dia sungguh terluka dan tersiksa.
"Oke, penjualan saya tutup dengan harga 500 juta. Silahkan Tuan Harley." Pelelang itu mempersilahkan seorang pria dengan jaket kulit berwarna hitam untuk menghampiri mereka.
Tuan Harley yang telah menawarkan harga setinggi itu merupakan seorang pengusaha yang tampan. Namun, siapa sangka jika dia memiliki kepribadian yang kejam. Wanita mana pun tahu seberapa tajam aura pria itu. Hanya dengan melihat tatapannya saja mampu membuat orang-orang memikirkan betapa kejam dirinya.
"Waw! Five hundred million? Amazing!" ucap Sieera yang sudah duduk di pangkuan Lian.
Lian tersenyum getir. "Tidak sia-sia kita melelangnya."
Tuan Harley segera melunasi pembeliannya. Dia membungkuk, menatap Maira yang beringsut mundur dalam jeruji besi itu. Harley tersenyum miring, dia menyukai gadis itu.
"Tolong bawa dia ke mobilku," titah Tuan Harley pada orang suruhannya. Orang suruhan itu segera bergerak, melaksanakan perintah tuannya.
"Don't worry, Baby," desis Harley pada Maira sebelum jeruji itu didorong menuju halaman parkir.
Maira menggenggam erat pagar besi yang mengelilinginya. Keram dia rasakan pada kedua kakinya. Gadis itu tidak ingin percaya dengan kenyataan yang terjadi. Namun, begitu lah keadaannya. Maira sedang memikirkan cara untuk lari dan pergi dari situasi ini.
Jeruji besi itu dibuka ketika mereka menyuruh Maira masuk ke dalam mobil, tapi gadis itu tidak segera bergerak. Maira justru semakin ke dalam, menjauhi pintu kecil yang terbuka.
"Ayo keluar!" perintah orang suruhan Harley. Namun, Maira tidak juga bergerak, dia benar-benar takut saat itu.
"Hei!" Orang itu menarik paksa tangan Maira.
"Tolong lepaskan aku," ucap Maira untuk pertama kalinya setelah bosan menangis.
"Lepaskan? Tuanku sudah membelimu."
"Aku tidak menjual diriku!" bantah Maira.
"Oh ya? Tapi kau milik suamimu, dan sekarang dia telah sepakat untuk menukarmu dengan uang."
Air mata Maira kembali mengalir, tanpa sengaja, tanpa diminta, mengalir begitu saja ketika ucapan orang itu masuk dan menembus relung hatinya. Untuk kesekian kalinya Maira tersadar bahwa suaminya menjualnya. Pikirannya kalut, mengingat saat-saat bersama ayah, dan saat terakhir kali ayah menikahkannya dengan pria itu. Maira hendak mengeluh, protes dengan pilihan itu.
Namun, bentuk protesnya justru semakin membuatnya tersiksa, mengingat Sang Ayah yang sudah beristirahat dengan tenang di alam sana. Maira tidak ingin membuat ayahnya bersedih. Dia juga tidak ingin menambah beban ayah atas dirinya. Maira harus sabar, meski rasa takut selalu menghantiunya setiap detik. Setiap hembusan napasnya terasa begitu berat.
"Cepat keluar!" seru orang suruhan itu seraya menarik kaki Maira.
Gadis itu memekik, "Aaakh!"
Dia merasakan kepalanya terbentur, juga roknya yang tersingkap sebab pria itu menyeretnya.
"Kumohon! Lepaskan aku," isak Maira, tangannya masih berpegangan pada jeruji itu.
Orang suruhan itu hendak menarik lagi gadis itu secara paksa. Namun tersendat sebab Tuan Harley menghampirinya.
"Jangan sakiti dia," pinta Harley setelah berdiri di dekat wajah Maira.
Dengan cepat Maira menarik kakinya, lantas memeluk jeruji besi itu. Tubuhnya bergetar, merinding, deru napasnya tak stabil. Apalagi saat Tuan Harley berjongkok di depannya, lantas mengangkat wajahnya dengan satu tangan. Pria itu dapat melihat wajah Maira yang memerah, kulit putih mulusnya itu mengeluarkan bercak merah seperti habis terbakar.
Maira menarik wajahnya ketika merasakan genggaman Harley melemah. Dia menunduk, menghindari tatapan menyeramkan dari pria di depannya. Maira merasakan aura negatif, meski kata-kata Harley terdengar begitu manis dan penuh daya tarik.
"Aku sudah berkata padamu don't worry, Baby. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu."
Harley meraih tangan Maira yang bergetar. Benar-benar tampak bening, putih, dan mulus. Seperti bidadari dalam dongeng surga yang pernah Harley dengar. Pria itu tersenyum miring saat Maira menarik tangan dari genggamannya. Harley baru saja mencium dan menghirup aroma kulit gadis itu.
Dengan satu gerakan, Harley meraih tubuh Maira dan membawanya ke dalam gendongan. Maira sempat was-was sebelum mendarat di atas jok mobil.
"Jalankan mobilnya," pinta Tuan Harley setelah duduk di sebelah Maira. "Aku naik di sini bersamanya," sambung pria itu.
"Baik, Tuan."
Orang itu menutup pintu mobil tempat tuannya, lalu segera melangkah ke balik kemudi. Tadinya Harley sudah siap jalan di mobil pribadi yang dikemudikan oleh sopir khususnya. Namun, sebab melihat wanita yang dibelinya tak kunjung naik bersama orang suruhannya, Harley menghampiri mereka.
Maira merapatkan tangan dan kakinya, dia membuat jarak dengan Tuan Harley sampai tubuhnya berada di ujung pintu mobil. Harley menoleh padanya, senyum membuat sudut bibirnya tertarik. Pria itu mencondongkan tubuh pada Maira.
"Sempat tak percaya bahwa aku menemukan bidadari di sarang p*****r," desis Harley tepat di telinga Maira. "Mau kutunjukkan sesuatu?" lanjutnya bertanya dengan suara penuh gairah.
Maira menggeleng kaku, napasnya banyak yang tertahan, matanya menatap was-was pada pria di dekatnya. Harley meremat paha gadis yang masih tertutup gamis, bibirnya mendekat pada telinga dan leher gadis itu.
Maira menolak, menyingkir, dan menghalangi sentuhan lembut pria di sampingnya. "Kumohon jangan, Tuan," pinta Maira berharap belas kasihan.
Mendengar suara rintihan tertahan dari gadis itu, membuat Harley menyibak roknya. Maira memberontak, dicakarnya tangan pria itu, dia mendorong Harley. Namun, pria itu tidak menghindar begitu saja. Ditekannya leher jenjang Maira dengan satu tangan. Dia mulai menampakkan jati dirinya.
Maira hampir kehilangan seluruh oksigen kalau saja pria itu tidak melepaskan tangannya. Harley menekannya lagi, membuat tubuh Maira kejang tak bisa bernapas. Suara batuk dari tenggorokan Maira terdengar saat Harley kembali melepaskan tangannya.
"Harus berapa kali kau merasakannya?" bisik pria itu sambil menekan kedua pipi Maira, dan membuat kepala gadis itu tengadah.
"Ampun, Tuan. Maaf, maafkan aku," ucap Maira dengan suara parau dan air mata di wajahnya.
"Bagus."
Namun, Maira tidak benar-benar tunduk padanya. Dia menampar Tuan Harley saat pria itu hendak mencumbunya lagi, Maira juga menendang tubuhnya. Entah dapat keberanian dari mana dia mampu melakukan hal itu.
Maira tidak bisa memikirkan cara lain lagi. Dia membuka kunci mobil di sebelahnya, lantas mendorong pintunya. Dengan satu gerakan, Maira melompat keluar.
"s**t!" seru Harley. "Gadis itu benar-benar gila!" timpalnya.
Maira terguling ke bawah jalan, terdengar suara klakson panjang dari mobil pengendara lain. Gadis itu tidak sempat untuk merasakan sakit, segera dia bangkit, lantas berlari melawan arah dari laju kendaraan. Maira memilih jalan sendiri, berlari sekuat tenaga, dan mencari tempat perlindungan.
"Hentikan mobilnya! Berputar dan kejar gadis itu!" perintah Harley pada sopir di depan. Dia pun memerintahkan sopir di mobil pribadinya untuk memutar arah dan mengejar jejak Maira.
"Tapi ini jalan satu arah, Tuan," tolak sang sopir.
"Aku tidak peduli bagaimana pun caranya tangkap gadis itu!!" cecar Tuan Harley dengan seringai kemarahan.
"B-baik Tuan."
Sopir itu segera memutar arah saat menemukan putaran jalan. Dengan kecepatan tinggi dia mencari jejak gadis itu.
Maira mencari jalan yang sulit dilalui mobil, dia berharap orang-orang itu tidak bisa menemukannya. Dia sampai rela menerobos rawa untuk sampai pada sisi jalan yang jauh dari jalan utama. Kakinya yang tak beralas tidak sempat lagi merasakan tusukan-tusukan ranting dan batu, Maira terus berlari. Hingga akhirnya dia jatuh ke dalam gorong-gorong di pinggir jalan itu.