Umi mengajak Maira masuk, dia mengantarnya ke kamar tidur yang akan menjadi tempat gadis itu selama berada di sini.
"Maira tidur di sini sama Ika, ya. Kamar yang lain sudah pada terisi," ucap Umi.
Maira melihat kamar itu, tidak terlalu luas, juga tidak terlalu sempit. Hanya ada satu ranjang dengan kasur berukuran sedang, tapi setidaknya cukup untuk dua orang berbadan mungil seperti Maira dan Ika. Dia harus berbagi tempat dengan gadis kecil itu, gadis yang diusir dari rumah beberapa hari yang lalu.
"Terima kasih, Mi. Alhamdulillah, masih ada tempat untuk Maira," jawab gadis itu dengan seulas senyum manisnya.
Umi membalas senyumnya, lantas mengusap lengan atas Maira. "Sebentar, Umi carikan pakaian ganti. Tapi tidak apa ya kalau pakaiannya tidak sebagus yang kamu pakai?"
"Tidak apa Umi, justru Maira bersyukur jika ada pakaian yang lebih bersih dan layak untuk dipakai solat," jawab Maira. Dia menyadari pakaiannya yang sudah kotor sebab mendarat di mana-mana. Meski pakaian itu terlihat bagus, tetap saja tidak layak untuk dipakai salat.
Maira masuk ke kamar itu setelah umi pergi dan menyuruhnya menunggu. Tidak banyak barang di dalam ruangan itu. Ika pun tidak terlihat memiliki banyak pakaian. Hanya ada satu lemari kecil, dan meja kayu kecil untuk belajar ataupun mengaji.
Beberapa anak tampak mengintip dari depan pintu kamar Maira. Ika yang memimpin kedatangan anak-anak itu, yang tak lain dan tak bukan adalah teman-temannya.
"Suuut, jangan berisik," pinta Ika dengan suara berbisik. "Mulai hari ini, Ika gak tidur sendirian lagi," sambung gadis kecil itu dengan riang.
"Ika, nama kakak itu siapa?" tanya Tiya, bocah perempuan yang seusia dengan Ika.
"Namanya Kak Maira. Ika sudah kenalan tadi."
"Aku juga mau dong kenalan sama Kak Maira."
Lalu, kehadiran umi membuat bocah-bocah yang sedang mengintip itu bubar. "Hayo...! Ngintipin Kakak Maira, ya?" kejut Umi pada mereka.
Maira yang mendengar suara berisik di depan pintu segera menoleh. Dia berjalan menghampiri umi dan anak-anak yang berkumpul di sana.
"Ada apa, Mi?" tanya gadis itu.
"Sepertinya anak-anak pada mau kenalan sama kamu," jawab umi dengan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya.
"Wah, halo, nama kakak Maira," sapa gadis itu, matanya menatap anak-anak di depannya satu per satu.
"Kak Maira kenalin, namaku Tiya." Seorang bocah menonjolkan diri untuk kenalan.
"Aku Dewi."
"Aku Alka, Kak. Aku masih kelas tiga SD." Seorang bocah laki-laki ikut memperkenalkan diri.
"Aku juga kelas tiga, namaku Mili, Kak."
"Oke, kakak hafal. Ini Ika, ini Tiya, Dewi, Alka, sama Mili." Maira menunjuk wajah anak-anak di depannya satu per satu sesuai dengan namanya. Dia mencoba mengakrabkan diri.
Anak-anak itu berjumlah enam orang. Namun, baru lima anak yang memperkenalkan dirinya. Seorang bocah laki-laki di samping Alka terlihat diam saja sejak tadi. Maira memusatkan perhatian penuh padanya.
"Kalau kamu namanya siapa?" tanya Maira, terdengar ramah dan menyenangkan.
Bocah laki-laki itu tak menjawab, malah memalingkan wajahnya, raut murung semakin tergambar di wajah bocah itu. Maira melemaskan bahu-bahunya, dia merasakan sesuatu yang tidak baik telah terjadi pada bocah itu.
"Namanya Julian, Kak. Tapi kita biasa panggil Lian, biar gak kepanjangan, hehe."
Deg.
Tiba-tiba saja d**a Maira terasa sesak mendengar sahutan Alka. Anak lelaki itu merangkul pundak Julian, teman yang sebaya dengannya. Alka mencoba membujuknya.
"H-halo Lian, kamu kenapa?" tanya Maira. Dia berusaha untuk tidak memikirkan pria itu lagi.
Bocah itu tidak menjawab. Dia terlihat berbeda dari teman-teman yang lain. Hanya dia yang tampak tak bersemangat.
Julian melepaskan rangkulannya dari Alka, lantas berlari menjauh dari mereka. Bocah itu masuk ke kamarnya. Teman-temannya yang lain tampak telah terbiasa dengan sikap bocah itu, begitupun umi. Namun tidak bagi Maira.
"Ah, Lian, mah, kebiasaan," cibir Alka.
"Iya. Sedikit-sedikit lari, cari perhatian!" timpal Mili yang terlihat geram.
Maira menoleh pada umi. Wanita paruh baya itu hanya menampilkan senyum, meminta Maira untuk memakluminya. "Tidak apa-apa. Yasudah, kamu ganti baju dulu, ini bajunya." Umi memberikan gamis berwarna biru gelap pada Maira.
"Terima kasih, Mi."
"Sama-sama," balas umi yang tidak pernah melupakan senyuman di bibirnya. "Anak-anak, yuk, kita ngaji dulu. Teman-teman yang lain sudah pada kumpul," ajak umi pada anak-anak didiknya.
Mereka menurut, hanya Ika saja yang masih bersikeras ingin tinggal. Namun, umi melarangnya, dan menyuruhnya untuk ikut bersama teman-teman yang lain.
"Umi jalan duluan ke tempat ngaji ya, Maira. Kamu langsung ke sana saja kalau sudah selesai ganti pakaian," ucap umi sebelum meninggalkan Maira di sana.
"Baik, Mi."
Maira segera masuk dan mengganti pakaiannya. Baju itu sangat cocok untuknya, ukurannya pun sesuai dengan tubuhnya, hanya saja kerudungnya kurang sesuai. Dia lebih memilih mengenakan kerudung yang tadi menghampirinya. Kerudung itu terlihat indah, dengan perpaduan warna putih dan abu-abu.
Gadis itu segera melangkah menuju tempat ngaji setelah selesai membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Maira bergabung bersama mereka. Ada sekitar 30 anak di sana, mulai dari yang berusia SD sampai SMA. Maira belum mengenal semuanya.
"Maira, nanti ada tamu yang mau datang. Kamu bantu Umi kumpulin anak-anak, ya," pesan umi pada Maira setelah acara ngaji selesai.
Maira yang sedang membantu menyusun untuk persiapan makan siang mengangguk. "Baik, Mi."
"Hati-hati, rombongan Ika dan kawan-kawannya itu petakilan, loh," umi terkekeh setelah memberi peringatan pada gadis itu. Maira hanya tersenyum simpul.
Pukul satu siang. Setelah mereka semua melaksanakan salat zuhur berjamaah, yang diimami langsung oleh ustadz di panti asuhan Ar-Rayyan, Maira mengumpulkan anak-anak. Gadis itu juga sudah sempat berkenalan dengan jajaran staf dan pengurus panti yang lain.
"Kak Maira! Awas!" teriak Alka ketika ayunan gantung yang mereka buat hendak melambung jauh.
Maira segera menghindari ayunan itu. Anak-anak yang mendorong ayunan Alka sampai sejauh itu tiba-tiba bubar.
"Hayo, Ika mau ke mana?" Maira menangkap bocah itu dan memeluknya erat.
Ika terkekeh geli, baru saja dia mau kabur setelah membuat ayunan Alka melambung tinggi. Gadis yang masih kelas empat SD itu terlihat sangat aktif.
Tak lama setelah Maira bermain dan menangkapi anak-anak itu, sebuah mobil masuk ke halaman panti, lalu parkir di sana. Buru-buru Maira mengumpulkan anak-anak itu. Dia terlalu asyik bermain sampai-sampai lupa menyuruh mereka masuk.
"Ayo masuk," pinta Maira dengan suara kecilnya. Hal itu yang dari tadi membuat anak-anak menyepelekan perintah berkumpulnya. Namun, setelah melihat ada tamu yang datang, anak-anak itu segera masuk dan menuruti perintah Maira.
Seorang bapak dan anaknya yang masih mengenakan seragam SD masuk. Mereka langsung disambut oleh Ustadz Romi dan umi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, bagaimana kabarnya Pak Wiliam."
"Alhamdulillah, sehat ustadz." Mereka bersalaman. Ustadz Romi sudah kenal dekat dengannya, begitupun dengan Wiliam.
"Hari ini saya ajak Aisya, putri saya. Aisya, ayo salaman, Sayang," pinta Wiliam pada putrinya.
Gadis kecil itu bersalaman dengan Ustadz Romi dan umi, raut wajahnya terlihat tertekuk dan sedikit murung. Wiliam datang ke panti itu seperti biasa untuk bersedekah, meminta doa untuk almarhum orang tuanya juga istrinya. Dia selalu mengunjungi panti asuhan Ar-Rayyan setiap bulan.
Setelah makanan dibagi-bagi, Wiliam tidak langsung pergi. Dia menyisihkan waktunya untuk mengobrol dengan Ustadz Romi. Sedangkan Aisya terduduk di samping papanya, sejak tadi pandangan gadis kecil itu tertuju pada kerudung yang dipakai Maira. Aisya memperhatikan mereka yang tampak asyik berbagi makanan.
"Papa," panggil Aisya pada papanya yang masih fokus mengobrol.
"Papa." Gadis kecil itu menggoyangkan paha papanya.
"Iya Sayang," jawab Sang Papa pada akhirnya.
Aisya mengisyaratkan agar papanya mengajaknya ke rombongan anak-anak di sana.
"Aisya mau gabung?" tanya Wiliam.
Gadis kecil itu mengangguk lambat. Umi mengambil respon positif dengan bersedia mengantar Aisya. "Aisya mau gabung, ayo Umi antar, yuk," ajak umi.
"Tuh, diantar umi, gak papa," bujuk papanya dengan bisikan halus di dekat putrinya yang sejak tadi murung.
Dengan lambat dan sedikit malu, Aisya turun dari tempat duduknya. Dia menghampiri umi dan menerima uluran tangannya, gadis kecil itu melangkah di samping umi.
"Halo, ada yang mau kenalan, nih. Namanya Aisya. Boleh gabung, kan?" tanya umi dengan nada bersahabat pada anak-anak didiknya.
"Boleh, dong," jawab anak-anak itu serempak.
Umi langsung menyuruh Aisya duduk di antara mereka. Maira menatap gadis kecil itu dengan tatapan hangat sebab Aisya terus memperhatikannya sejak tadi.
"Halo Aisya, nama kakak Maira. Aisya sekolah kelas berapa?" tanya Maira.
"Kelas dua," jawab Aisya dengan sedikit senyum di bibirnya.
"Sama dong, aku juga kelas dua," sahut Dewi.
"Aku kelas empat, namaku Ika."
Maira mengulas senyum melihat kehangatan dan keceriaan dari anak-anak itu. Meski nasib mereka tidak sebaik Aisya, tapi mereka tetap bersyukur dan mampu berteman dengan baik. Perlahan, Aisya pun tampak nyaman berada di antara mereka. Gadis kecil itu mulai mengakrabkan diri.
Aisya mendekati Maira yang sedang membereskan bekas makan anak-anak. Maira yang merasakan kehadiran seseorang segera menoleh.
"Oh, Aisya, ada apa Sayang?" tanya Maira ramah, dia merapat pada Aisya yang berdiri di sampingnya. Maira menyamakan tinggi dan menghadap pada gadis kecil itu.
Bukannya menjawab, Aisya malah memegangi ujung kerudung Maira. Gadis kecil itu tampak sedang mengingat sesuatu. Maira menunduk, menyadari apa yang dilakukan Aisya.
"Aisya suka?" tanya Maira.
Gadis kecil itu mengangguk. "Aisya ingat mama," ucapnya kemudian.
Maira mengernyit bingung. "Mama Aisya ke mana?"
"Sudah meninggal," jawab Aisya yang terdengar menyakitkan. Tidak Maira sangka kalau Aisya pun ternyata sudah kehilangan ibunya.
Gadis itu meraih kedua bahu Aisya, lantas mengusapnya lembut. "Kakak minta maaf ya kalau buat Aisya sedih," ucap Maira yang mendapat anggukan dari Aisya.
"Aisya," panggil Wiliam yang sudah berdiri di dekat mereka. Maira dan Aisya menoleh bersamaan ke arah suara itu.
Wiliam tampak mengulas senyum pada Maira. Dia mengajak putrinya, "Ayo pulang, Sayang."