Maira bangkit dari jongkok setelah menyadari keberadaan Wiliam di sana. Dia membalas senyum pria itu. Aisya segera menghampiri papanya, gadis kecil itu meraih uluran tangan sang papa.
"Apa Aisya boleh ikut papa ke sini lagi besok-besok?" tanya Aisya yang sudah berjalan menjauh bersama papanya.
"Boleh dong, Sayang, pastinya. Aisya suka main di sini?" papanya bertanya.
Gadis kecil itu mengangguk antusias.
"Suka. Papa lihat tidak? Kerudung yang dipakai sama Kakak Maira sama persis seperti punya mama. Seperti selendang yang tadi pagi terbang."
"Oh, ya? Pasti karena selendang seperti itu banyak dijual di pasar." Wiliam menggendong putrinya, lalu mendudukkan gadis kecil itu di jok samping kemudi.
"Apa papa bilang, kita bisa cari selendang seperti itu lagi nanti," lanjut Wiliam sebelum menutup pintu mobil dan bergerak ke balik kemudi. Dia terlihat terburu-buru.
"Jadi, mau beli selendangnya sekarang?" tanya Wiliam setelah mendaratkan b****g di kursi joknya.
Aisya bergeming, dia tampak sedang memikirkan sesuatu. "Tidak usah, Pa. Tapi boleh tidak kalau besok kita ke sini lagi?" pinta gadis kecil itu.
Wiliam mengulas senyumnya, memaklumi keinginan putrinya yang terkadang labil. Dia hanya mengangguki permintaan gadis kecil itu, meski dia tidak yakin akan ke mari besok. Wiliam sudah paham dengan karakter Aisya yang sering berubah-ubah.
Seperti pagi tadi, saat Aisya murung dan mengancam tidak mau turun dari mobil. Wiliam harus mengupgrade kesabarannya setiap kali Aisya marah. Putrinya itu akan sangat cengeng jika keinginannya tidak terpenuhi. Namun, meskipun begitu, Wiliam memiliki banyak cara untuk mengembalikan mood-nya.
Pria itu menjalankan mobilnya, menuju arah pulang. Padahal, dia sudah berjanji pada Aisya kalau mereka akan mencari selendang yang persis seperti miliknya setelah pulang dari panti. Namun sekarang pikiran Aisya berubah. Itu pasti karena perasaannya telah terobati oleh teman-teman di panti yang mereka kunjungi. Wiliam telah berhasil mengembalikan mood putri kecilnya.
Aisya tampak bersemangat kembali, Wiliam dapat mendengar senandung indah keluar dari bibir mungilnya. Gadis kecil itu tertawa. "Aisya merasa seperti habis bertemu mama," ucap Aisya pada dirinya sendiri.
Wiliam yang mendengar suara Aisya tiba-tiba saja merasakan sesuatu. Dia menyadari betapa rindunya gadis kecil itu terhadap sentuhan ibu. Aisya tidak pernah lagi merasakan kasih sayang ibunya sejak setahun lamanya.
Kepergian wanita penuh kasih itu sempat membuat Aisya murung sepanjang hari.
"Apa yang kuberikan untuk mama... untuk mama... tersayang... tak kumiliki sesuatu berharga... untuk mama... tercinta....
"Hanya ini... kunyanyikan... senandung dari hatiku untuk mama... hanya sebuah lagu sederhana... lagu cintaku untuk... mama...."
Wiliam memarkirkan mobilnya di garasi setelah membuka gerbang rumahnya. Pria itu keluar lebih dulu setelah menyadari putrinya tertidur di kursi mobil. Dia membuka pintu di samping jok Aisya. Dilihatnya wajah gadis kecil itu, penuh harapan dan cita-cita. Wiliam mengusap kepalanya sebelum menggendongnya keluar dari mobil.
Pintu kamar dia buka, Wiliam berjalan mendekat ke ranjang, lantas membaringkan putri kecilnya yang tertidur. Dibukanya sepatu dan kaus kaki yang dipakai Aisya. Pria itu mencium keningnya. Wiliam sudah ingin beranjak dari sana. Namun urung sebab Aisya memanggil dan meraih tangannya.
"Papa."
Wiliam kembali menoleh pada gadis kecil itu. "Aisya bangun?"
"Temani Aisya tidur siang," pintanya.
Pria itu menghela napasnya, padahal dia harus menyiapkan proposal untuk meeting besok.
"Oke, tapi Aisya beneran harus tidur, ya." Wiliam membaringkan tubuhnya di samping Aisya. Dia harus menunggu gadis kecil itu tertidur, barulah dia bisa berkutat dengan pekerjaannya.
Setiap hari seperti itulah kegiatan Wiliam. Dia yang menemani Aisya, menyiapkan makan untuknya, mengantar sekolah, memenuhi segala inginnya. Terkadang Wiliam kesulitan membagi waktu dengan pekerjaannya. Beruntung Aisya mau didaftarkan les, jadi Wiliam punya waktu lebih banyak jika putri kecilnya belajar bersama guru privatnya.
Aisya meringkuk di tubuh papanya, gadis kecil itu belum memejamkan mata. Padahal Wiliam sudah mengusap-usap kepalanya, berharap dia cepat tertidur.
"Mama sedang apa ya Pa di sana...?" lirih Aisya.
Lagi-lagi, Wiliam menghela napasnya. Terkadang dia tidak tega membayangkan Aisya yang terus-terusan menanyakan soal ibunya. Aisya masih terlalu belia untuk hidup tanpa seorang ibu.
"Aisya kangen sama mama," lanjutnya.
"Aisya Sayang, gak boleh sedih, ya. Nanti di sana mama ikut sedih kalau Aisya sedih. Ingat, apa yang Aisya rasakan sekarang, mama juga merasakannya. Aisya harus bahagia supaya mama ikut bahagia." Tak bosan Wiliam mengatakan hal itu pada putri semata wayangnya.
Pria itu mencubit batang hidung Aisya, gemas. "Aisya paham?"
Gadis kecil itu mengangguk meski lemah. "Aisya mau ikut belajar ngaji, Pa," ucap Aisya kemudian.
"Bukannya setiap hari Aisya memang ngaji sama Papa?"
"Tapi Aisya maunya belajar ngaji sama temen-temen."
"Ya udah, besok papa daftarin Aisya ngaji," putus papanya. "Sekarang Aisya bobo ya," pinta Wiliam. Dia sudah harus menyiapkan proposalnya.
Lima belas menit lamanya Wiliam berada di samping Aisya, mengeloninya, dan menunggunya tertidur. Perlahan dia melepaskan genggaman Aisya di tangannya. Wiliam bangkit dari posisi berbaring. Dengan hati-hati dia menutup pintu, jangan sampai suara itu membangunkan peri kecilnya.
Pria itu menghela napas setelah berhasil keluar dari kamar tanpa membangunkan Aisya. Dia hendak bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Terkadang Wiliam berpikir tentang baby sister untuk Aisya, tapi dia memutar kembali pikirannya. Wiliam ingat tentang almarhum istrinya yang menolak keras jika Aisya dirawat orang lain.
"Tidak perlu baby sister, aku masih mampu merawatnya, Mas. Aisya harus lebih dekat dengan orang tuanya, bukan orang lain."
"Seandainya aku pergi nanti, aku harap Mas Wili segera mendapatkan pengganti untuk merawat Aisya."
"Mas Wili, aku mencintaimu, tapi kuharap ada orang yang lebih kuat dariku untuk mencintaimu. Aku titip Aisya, Mas...."
Pria itu menengadahkan kepala, tidak membiarkan air mata jatuh hingga membuatnya kembali bersedih. Segala kata-kata yang pernah diucapkan istrinya terngiang dalam benaknya.
Melia, satu-satunya wanita yang dia cintai setelah ibu, tak mampu rasanya dia menggantikan cinta untuk wanita itu. Sejak dulu, meski dia tahu bahwa Melia tidak memiliki banyak waktu di dunia, Wiliam tetap ikhlas mencintainya. Tanpa paksaan sedikit pun dari kerabat ataupun mertuanya.
Melia, gadis yang telah berhasil membuat Wiliam jatuh cinta hanya dengan mendengar suaranya. Pertama kali yang dia dengar dari bibir gadis itu adalah suara indahnya ketika mengaji. Mulai hari itu, Wiliam mencari tahu tentang Melia. Sampai akhirnya dia tahu bahwa Melia adalah pengajar anak-anak disabilitas. Gadis cantik dengan hijab sempurna menutupi kepala hingga dadanya itu merupakan sukarelawan yang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, baik mengajar ngaji, maupun pelajaran lain yang dibutuhkan.
Wiliam sempat tidak mengerti mengapa gadis itu hanya ingin menjadi sukarelawan. Sampai akhirnya dia mengetahui semuanya ketika hendak melamar Melia.
"Sebaiknya Mas Wiliam pikirkan lagi. Aku tidak ingin jika Mas Wili kecewa di kemudian hari. Aku tidak bisa menemani Mas Wili untuk waktu yang lama," ucap Melia kala itu. Dia telah didiagnosa memiliki penyakit mematikan dengan jangka waktu yang tak panjang.
"Seandainya aku memiliki waktu lebih banyak, aku hanya ingin melakukan kebaikan yang kelak dapat menjadi temanku di alam kubur, dan menjadi jalanku untuk menggapai surga-Nya. Sudah banyak yang pernah melamarku, Mas. Tapi semuanya membatalkan setelah tahu kondisi kesehatanku."
Wiliam dapat melihat ketegaran hati gadis itu. Betapa terkejutnya dia waktu itu, ketika mendengar suara hati Melia yang membuatnya semakin jatuh cinta.
"Aku tidak marah, aku pun tidak menuntut atas takdir ini. Aku percaya, Allah punya rencana yang indah untuk setiap hamba-Nya. Jika memang jodohku tidak ada di dunia, aku yakin dia ada di surga."
Melia, gadis cantik dengan segala kerinduan. Wiliam berharap mereka dapat berkumpul lagi di waktu ketika tidak ada cobaan yang menghalangi. Surga adalah tempat terindah untuk mereka bahagia nanti.
Namun bagaimana dengan Aisya. Wiliam tidak sanggup membayangkan perasaan putrinya yang rindu akan sentuhan ibu. Di samping itu, Wiliam pun tidak siap menggantikan posisi Melia di hidupnya.