2 - MIMPI BURUK

1377 Words
✔✔✔✔✔ Aku, Papa, Mama dan adikku Riana saat ini sedang menghadiri acara pemakaman keluarga Fernando. Calon mertuaku. Ya. Mereka adalah calon mertuaku. Om Aldi Fernando dan istrinya. Tante Astrid Fernando. Aku melihat batu nisan yang bertuliskan Alfin Fernando di bawahnya tertera tanggal lahirnya dan tanggal kematiannya. Aku tak tau harus merasa sedih atau senang. Alfin adalah calon suamiku. Tapi aku sama sekali tidak mencintainya. Dia bukan calon suami pilihanku. Kami di jodohkan karena perjanjian orang tuaku dan orang tua Alfin. Konyol memang. Perjanjian untuk apa aku juga tak tau. Tapi orang tua Alfin sudah merencanakan pernikahan kami beberapa tahun yang lalu. Bahkan aku sama sekali tak mengetahuinya. Aku seperti wanita tak laku kan?. Aku melirik ke arah Om Aldi dan Tante Astrid yang saling berpelukan menatap gundukan tanah yang di dalamnya ada anaknya yang sudah terbujur kaku. Aku sedikit bersyukur karena aku tak jadi menikah dengan anak pertamanya tapi bukan berarti aku juga bersyukur atas kematiannya. Sama sekali tidak. Di antara semua banyak orang yang menghadiri pemakaman ini..aku rasa hanya aku saja yang tak meneteskan air mata. Untuk apa? Aku merasa tak kehilangan. Toh dia bukan siapa-siapaku. Tapi berbeda dengan Papa dan Mama yang terlihat sangat syok. Apa sebegitu pentingnya arti Alfin buat mereka?. Aku mendengus sambil memutar bola mataku malas. Aku jengah. Aku ingin semuanya ini segera berakhir dan aku bisa tidur pulas di kamarku. "Ma...apa acaranya masih lama?". Bisikku ke arah Mama. Mama hanya menatapku sekilas lalu kembali ke pelukan Papa. Ish ish ish... aku terabaikan. Aku lirik ke sebelah kiriku. Di sana ada Riana yang tampak tenang. Apa dia juga menangis? Entahlah. I dont care... "Ri...pulang yuk. Bete gue!". Seruku setengah berbisik ke arahnya. Riana malah memelototkan matanya ke arahku. "Gila lo. Ini calon suami lo Kak. Bisa di becek sama bokap kalo lo sampe aneh-aneh!". Ancamnya. Kan apa aku bilang? Punya sodara tidak ada enaknya sama sekali. Di saat seperti ini malah tidak bisa di ajak kompromi. Aku menghentakkan kakiku ke tanah. Refleks. Semua mata spontan menatapku. Apa aku salah? Mama menyikut lenganku. "Kamu bisa diem nggak? Itu yang di kubur calon suami kamu...hormatin Rei!". Seru Mama. "Oke Mama...nanti aku bakalan kasih hormat ke tanah kuburannya!". Sahutku dengan cepat. Mama malah menyubit perutku dan refleks aku berteriak. Teriakanku malah memancing perhatian orang tua Alfin. "AAAAWW...sakit Ma!". Aku mengusap pinggangku yang sedikit nyeri. Gila. Cubitannya kecil tapi nylekit. "Pulanglah sayang...kamu pasti capek kan?". Seru Tante Astrid sambil mengusap kedua pipinya yang basah. Naaah...orang lain aja ngerti masa keluarga aku sendiri nggak bisa ngerti kondisiku?. Aku tersenyum sumringah mendengar ucapan Tante Astrid. Akhirnya aku bisa bebas dan tidur pulas. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku untuk terus berkutat di sini. Percuma saja jika aku ijin tidak masuk kerja tapi tidak aku manfaatkan untuk mengistirahatkan tubuhku?. Aku hendak melangkahkan kakiku meninggalkan kerumunan orang-orang yang masih setia menatap tanah kuburan Alfin. Tapi sebuah tangan menahan langkahku. "Diem atau Mama juga bakalan ngubur kamu di sini?". WHAT??? Mataku seketika melotot mendengar ancaman Mama. Telingaku masih waras untuk mendengar kata-kata itu. Apa Mama sudah hilang separuh bagian dalam kepalanya? Oh God...semoga saja tidak. Aku mencembikkan bibirku lalu kembali ke tempatku. Aku berharap Tante Astrid membelaku dan membiarkan aku pergi seperti perintahnya tadi. Tapi ternyata Tante Astrid sibuk mengelus nisan anaknya. Huuuft....kalau boleh aku tanya...apakah selama ini acara pemakaman di daerah kalian? ✔✔✔✔✔ Akhirnya aku bisa menghirup wangi aroma stella di kamarku. Aku langsung membanting tubuhku di kasur empukku. Mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Ku angkat pergelangan tangan kiriku yang terbalut jam Baby-G biru favoritku. Sudah pukul 11 siang. Aku kembali menghela nafas dan perlahan memejamkan mataku. Rasanya lelah dan mengantuk. Reina.... Reina.... Aku sayup-sayup mendengar seseorang memanggil namaku. Ku buka mataku perlahan. Cahaya putih menyilaukan membuat mataku menyipit. Reina.... Reina.... Aku mendengarnya lagi dan sepertinya semakin jelas. Aku kembali menyipitkan mataku. Melihat sosok yang tertutup kabut. Siapa dia?. Aku berjalan pelan menghampirinya. Dia memakai celana dan kemeja putih. Wajahnya berseri. Dan seketika aku sadar jika itu orang yang aku kenal. Alfin. Alfin Fernando. Bukankah dia sudah.... Reina.... Reina.... Panggilnya sambil tersenyum manis ke arahku. Entah kenapa aku mengagumi ketampanannya. Dia terlihat beda dari beberapa minggu yang lalu. Wajahnya berseri dan bersih. Aroma tubuhnya juga wangi. "Alfin...? Bukannya lo udah.....?". Reina.... Reina.... Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Suaranya sangat merdu memanggil namaku. Dia lalu mengulurkan tangannya ke arahku. Aku bingung antara menyambutnya atau tidak. Tapi pesona wajahnya membuatku terlena. Aku semakin berjalan mendekatinya dan terus memanggil namanya. Dia selalu tersenyum ke arahku. Tinggal sedikit lagi aku meraih tangannya tapi tiba-tiba tanah yang aku pijak berguncang. Tubuhku ikut berguncang. Aku masih berusaha meraih uluran tangan Alfin dan memanggil namanya. "Alfin.....Alfin. Tungguin gue...!!". Panggil gue dengan mata terpejam. Sementara Alfin malah semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik kabut putih. "Reina. Reina bangun sayang!". Suara Mama mendominasi sebagian otakku. Saat tubuh Alfin benar-benar menghilang dari pandanganku, sedetik kemudian aku tersadar dan membuka mataku. Hal pertama yang aku lihat adalah wajah cemas Mama yang di penuhi air mata. "Mama... Ada ap----!?". Belum sempat aku meneruskan ucapanku Mama langsung memelukku dan menangis. Aku membalas pelukan Mama. Aku mengernyit bingung. Tak lama Mama melepas pelukannya dan menatapku. "Kamu baik-baik aja kan sayang?". Aku mengangguk lemah. Belum paham akan arah bicara Mama. "Kamu cuci tangan sama kaki dulu kalo mau tidur. Untung tadi Mama nengokin kamu..kalo enggak....!". Mama mengantungkan kata-katanya. "Kenapa Ma?". Mama tersadar dari lamunannya dan kembali tersenyum. Beliau mengusap rambutku lembut. "Nggak apa-apa sayang. Sekarang kamu bersih-bersih dulu habis gitu baru istirahat ya!". Pesan Mama setelah itu Mama keluar. Aku menggaruk rambutku yang sedikit gatal. Emangnya aku habis ngapain sih kok Mama kayaknya ketakutan banget tadi?. Ah sudahlah. Aku lalu berjalan menuju kamar mandi dan bersiap berendam. ✔✔✔✔✔ Aku keluar dari kamar dan ku dapati Papa dan Mama sedang duduk santai di depan tv. Aku berjalan menuju dapur. Tenggorokanku terasa kering. Ku buka kulkas 2 pintu yang tingginya melebihi tinggi badanku. Ck. Heran deh. Kenapa sih Mama beli kulkas aja segede ini? Bisa di bilang aku pasti muat kalo sampe masuk ke dalam. Ku raih sebotol floridina favoritku dan langsung meneguknya. Tinggal separuh dan ku letakkan kembali ke tempat semula. "Rei...sini deh Papa mau ngomong!". Aku mengangguk dan menuruti perintah Papa. Duduk di sebelah kiri Papa sementara Mama duduk di sebelah kanan Papa. "Ya Pa. Ada apa?". Tanyaku langsung. "Kamu....tadi siang mimpi ketemu siapa?". Alisku langsung bertautan mendengar pertanyaan Papa. Mimpi? Aku berpikir sejenak dan aku ingat. "Alfin!". Jawabku singkat lalu ku sandarkan tubuhku di sofa. Meraih remote yang tergeletak di atas meja. Mengganti channelnya. Upin dan Ipin inilah kita... Kembar idola itu biasa... Upin dan Ipin ragam aksinya... Kami di senangi siapa jua... Upin dan Ipin selamanya... Betul...betul...betul... Aku meraih bantal kecil dan meletakkan di pangkuanku. Menikmati acara favoritku. Ya kalian tau? Upin Ipin film kartun favoritku. Bahkan sepulang kerja aku langsung nenyempatkan menontonnya. Papa lalu menyambar remote di tanganku dan mengecilkan volume tvnya. Aku menganga. Aku berusaha mengambil alih kembali remote dari tangan Papa tapi Papa malah mengestafetkan ke arah Mama. "Apaan sih Pa. Itu kenapa suaranya nggak ada!!". Protesku kesal. Nggak lucu kan kalo liat tv tapi gambarnya doank? Aku terus mengerutu dalam hati. "Jadi beneran kamu mimpi ketemu Alfinn?". Ulang Papa. Aku mengangguk lagi. "Kenapa sih nanya dia mulu?". "Emang di mimpi kamu Alfin bilang apa?". Ish...Papa ini kenapa sih. Yang mimpi aku tapi yang sewot mereka. "Dia manggil nama aku!". "Dia ngajak kamu?". Cerca Papa. Aku bertanya pada diri aku sendiri. Ngajak? Apa mungkin yang Papa maksud Alfin ngulurin tangannya ke arahku?. Aku mengangguk pelan. "Udah ah..kenapa sih bahas soal mimpi aku. Siniin Ma remotnya!". Rengekku. Mama malah menyembunyikan remotenya ke belakang punggungnya dan mendelik ke arahku. "Untung Mama bangunin kamu...kalo enggaaaaak...udah wassalam kamu!". Celetuk Mama. Hah??? Kini giliran aku yang mendelik ke arah Mama. Wassalam apa maksudnya? Mati? Kok bisa?. "Mama nggak usah bikin aku parno deh...!". Sungutku. "Kamu nggak tau ya sayang. Kata orang jawa kalo ada sodara meninggal trus mimpi ketemu dia dan dia ngulurin tangannya ke arah kamu. Itu tandanya dia mau ngajak kamu!". "Sodara siapa? Dia bukan sodara aku Ma. Lagian mitos dari mana sih. Percaya banget kayak gituan..!". "Hush...kamu itu di bilangin kok ngeyel sih!". Sela Papa. "Kalo sampe kamu berhasil pegang tangannya...wessss. Almarhum kamu, Nak!". Aku melotot ke arah Papa. Gila. Masa aku di doain mati sih? Orang tua macam apa mereka?. "Papa ngomongnya kok gitu?". Protesku. "Besok kamu ke makamnya sana. Minta maaf, Rei!" Aku menoleh ke arah Mama. "Minta maaf. Buat apa Ma? Lagian orangnya juga udah meninggal. Ngapain juga minta maaf?". Aku membenarkan letak dudukku agar lebih nyaman. "Kalo nggak mau minta maaf ya siap-siap aja kamu bakalan di datengin terus tiap malam!". Oooh tidaaaaaaak. Kata-kata Papa yang terakhir membuat bulu kudukku berdiri tegak. Apa iya aku harus minta maaf? Sama orang yang sudah meninggal?. Sepertinya aku mulai sedikit gila. ✔✔✔✔✔
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD