4. Masa Lalu - Gadfly 1

1390 Words
Ceyda kembali merapatkan switer yang dia gunakan kedua tangan gadis itu masih bersedekap di depan tubuhnya. Ini bukan kali pertma Ceyda ke salah satu negara terindah di dunia ini, tapi Ceyda lupa kalau sebelumnya gadis itu berkunjung ke Switzerland pada musim panas sehingga suhu daerah itu masih dianggap ramah oleh tubuhnya. Sekarang Ceyda berada di negara itu saat musim dingin, ditambah Ceyda juga tidak menggunakan sarung tangan sehingga jemari gadis itu di selipkan ke kedua lengannya yang mengapit tubuh gadis itu agar tetap hangat. Aldrik berjalan di depan Ceyda sambil memberi tahu tempat-tempat yang sangat penting bagi mahasiswa baru. Aldrik berjalan dan berbicara tanpa melihat ke arah Ceyda, Aldrik tidak peduli kalaupun Ceyda saat itu terpisah darinya lalu tersesat dan Aldrik akan terlihat seperti orang tidak waras karena berbicara sendiri, yang penting Aldrik telah melaksakan perintah maminya. "Sudah, selebihnya kamu akan tahu dengan sendirinya." Aldrik mengakhiri tour kampus bersama Ceyda di gedung perpustakaan pusat. "Sebentar lagi aku ada kuliah, kamu balik ke hotel sendiri !" Aldrik lalu meninggalkan Ceyda begitu saja, belum terlalu jauh dari jarak Ceyda berdiri Aldrik menghentikan langkahnya, pria itu sedikit merasa aneh karena selama mereka mengitari kampus Ceyda tidak banya berbicara, seperti bukan dirinya, Aldrik lalu menoleh ke belakang ke arah tempat dia meninggalkan Ceyda, gadis itu ternyata sedang duduk di kursi panjang yang terdapat di lobi perpustakaan, Ceyda duduk bersedekap dengan tubuh sedikit membungkuk kedepan. "Shitt." Umpat Aldrik karena dia tidak menyadari bahwa gadis itu sedari tadi kedinginan, Aldrik melepaskan jeket hitam yang dia pakai setelah berdiri di samping Ceyda, gadis itu tidak menyadari keberadaannya, Ceyda menoleh saat merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti pundaknya, di sana tampak Aldrik berdiri menatap datar padanya, lalu pria dingin itu pergi begitu saja tanpa mendengar ucapan terimakasih dari Ceyda. Sebelum masuk kelas Aldrik lebih dulu mengambil hoodie yang biasa dia simpan di lokernya, walaupun Aldrik besar di negara itu namun suhu saat ini tetap terasa dingin di tubuh Aldrik. Tubuh Ceyda sudah merasa nyaman setelah memakai jeket yang diberikan Aldrik, mata Ceyda mengitari seluruh tempat itu, Ceyda ingin masuk ke perpustakaan itu tetapi Ceyda belum memiliki akses untuk bisa masuk ke dalamnya. "Mungkin aku bisa pinjam kartu anggota kak Aldrik." Ceyda bermonolog memandangi pintu besar ruang perpustakaan. "Semoga pria es batu itu bisa mencair." desah Ceyda, gadis itu lalu berdiri, tujuannya adalah gedung fakultas Aldrik, saat bersama Aldrik mengitari kampus tadi, mata Ceyda selalu mencari gedung fakultas mahasiswa arsitektur, gedung fakultas yang akan menjadi tujuannya di kampus ini setelah gedung geologi. Ceyda duduk di bawah bangku taman yang terletak di sisi kanan akses masuk ke dalam gedung, gadis itu akan menunggu Aldrik di sana, mata bulat Ceyda terus mengawasi setiap orang yang lalu lalang di sana. Sudah hampir satu jam Ceyda belum juga melihat Aldrik keluar dari gedung itu, Ceyda lalu berdiri dan berjalan memasuki gedung, Ceyda akan menunggu Aldrik di dalam gedung itu, karena mungkin saja saat ini Aldrik masih mengikuti perkuliahan dan suhu di luar juga tidak bersahabat di tubuhnya. Aldrik menghembuskan nafas kesal saat seorang gadis tersenyum padanya, pria itu baru saja keluar dari kelasnya dan hendak ke kantin bersama teman-tamannya, senyum Ceyda sangat indah seindah kuncup bunga mawar, namun senyum itu selalu membuat Aldrik jengah. Aldrik berjalan melewati Ceyda begitu saja, salah satu teman Aldrik melirik Ceyda saat mereka melewatinya. "Apa kamu mengenal wanita cantik itu ?" Luis salah satu teman Aldrik bertanya karena arah pandang Ceyda dan senyum gadis itu mengarah pada Aldrik, Aldrik hanya menaikan bahunya seolah tidak peduli, Ceyda masih bergeming di tempat dia berdiri tadi, gadis itu menghela nafas, walaupun ini bukan pertama kalinya Aldrik menganggap keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata tetapi tetap saja membuat hati gadis itu ngilu. "Sesulit itukah membuka hati untukku Kak ?" Bisik Ceyda menatap nanar pada rombongan Aldrik yang baru saja melewatinya, Ceyda memutar tubuhnya ke arah pintu luar gedung, gadis itu akan kembali ke hotel tempat dia menginap dengan kedua orang tuanya, sebenarnya Hanin sudah menawarkan keluarga Hakeem untuk menginap di rumah keluarga Lutolf selama mereka di Zurich, namun karena jarak rumah kuarga Lutolf cukup jauh dari kampus, maka keluarga Hakeem memutuskan untuk menginap di Hotel yang jaraknya paling dekat dengan kampus. Ceyda pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan kota Zurich yang terkenal nyaman untuk pejalan kaki, sebenarnya Ceyda bisa kembali ke hotel dengan menaiki tram, namun gadis itu harus membeli tiket terlebih dahulu, sedangkan Ceyda lupa membawa uang. Ceyda sampai ke hotel setelah dua puluh menit berjalan kaki, walaupun tubuhnya telah dilapisi jeket yang di berikan Aldrik, suhu kota Zurich pada musim dingin itu tetap saja membuat tubuhnya menggigil apalagi berada di luar ruangan selama itu. * * * Ceyda masih bergelung dalam selimutnya, kepala gadis itu masih terasa sedikit pusing jika di bandingkan pada saat dia baru sampai di hotel saat kembali dari kampus dengan berjalan kaki tadi, namun mata Ceyda masih terasa perih dan berair, Ceyda sudah merasakan kondisi tubuhnya mulai menurun saat gadis itu dalam perjalanan pulang. Saat Aldrik menjemputnya untuk pergi ke kampus pagi tadi Ceyda begitu bahagia, sehingga gadis itu melupakan hal yang wajib di bawa saat berpergian, dompet dan juga handphone, sehingga dia terpaksa harus pulang berjalan kaki disaat suhu sedingin itu. Ceyda membuka matanya, gadis itu menatap nanar keluar jendela yang terletak di sisi sebelah kiri tempat tidurnya, pikiran gadis itu kembali pada Aldrik, pria yang membuat hati Ceyda bergetar saat baru memasuki masa remaja, dulu Aldrik merupakan bocah kecil yang sangat ramah padanya namun berubah menjadi dingin saat Ceyda baru mengenal rasanya jatuh cinta. "Aku rindu masa kecil kita, saat kamu menganggap aku ada." Ucap Ceyda, mata Ceyda mulai berair, karena rasa cinta gila yang dia rasakan untuk Aldrik lah yang membuat gadis itu rela meninggalkan tanah air dan berpisah dengan orang tuanya agar bisa bersama dengan Aldrik, namun Ceyda lupa Aldrik tidak pernah membuka celah hatinya untuk Ceyda masuki. "Jika aku mengiba padamu, apa hatimu akan luluh ?" Ceyda berharap hal itu bisa terjadi, gadis itu lalu meraih ponselnya di atas nakas. Beloved Kak Aldrik udah pulang ? Aku tadi balik ke hotelnya jalan kaki. Aku lupa bawa uang, suhu di luar terlalu dingin, tubuh aku masih belum bisa beradaptasi. Sekarang aku malah jadi sakit, aku yang biasa tinggal di daerah tropis tubuhku masih butuh beradaptasi dengan suhu di sini. Kakak mau kan jengukin aku ? Ceyda menekan tombol send dan berharap kali ini Aldrik membalas pesannya karena rasa bersalah, namun ternyata harapan sederhana itu terlalu tinggi untuk Ceyda, sudah lebih dari setengah jam Aldrik tidak membalas pesan darinya, sedangkan kontak pria itu dalam status on line. Ceyda menggigit bibir bawahnya, gadis itu ingin menagis seperti sebelumnya, saat Aldrik mengabaikannya, Ceyda akan menangis di bahu Kiara sahabatnya yang sangat tahu seperti apa perasaan Ceyda pada Aldrik, namun saat ini Ceyda mencoba menahan isakannya karena tidak ingin orang tuanya tahu, Ceyda menyeka air matanya saat Rahayu masuk ke kamarnya. "Loh sayang, kamu belum siap-siap ?" Rahayu melihat putrinya itu masih bergelung di dalam selimut. "Siap-siap untuk apa ma ?" Ceyda bertanya dengan suara serak. "Sayang kamu sakit ?" Rahayu mendekati Ceyda lalu menyentuh kening Ceyda yang terasa panas. "Astaga, kamu demam Sayang, kenapa tidak bilang dari tadi ?" Wajah Rahayu terlihat panik. "Ini sudah mendingan Ma, makanya tadi Ceyda langsung istirahat." Ceyda mencoba tersenyum pada mamanya, tubuh Ceyda memang sudah mulai membaik di bandingkan saat dia baru sampai hotel tadi, sebelum istirahat Ceyda terlebih dahulu meminum obat pereda demam yang selalu di simpan Rahayu di dalam tasnya bila berpergian seperti ini. "Tapi mata Ceyda masih merah Sayang." Rahayu mengelus kepala Ceyda, mata Ceyda memang terlihat semakin merah karena gadis itu baru saja menangis. "Ceyda sudah ngak apa-apa kok Ma. Beneran !" Ceyda lalu duduk dan memeluk lengan Rahayu. "Memangnya kita mau kemana ma ?" Ceyda bergelayut manja di lengan Rahayu. "Kita mau ke rumah tante Hanin." Mata Ceyda terlihat berbinar mendengar ucapan Rahayu. "Ok, Ceyda siap-siap dulu." Ceyda mengecup pipi Rahayu lalu berdiri dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, tidak sampai lima menit Ceyda keluar dari kamar mandi. "Jika Mamimu menginginkan aku, kamu tidak akan bisa menolaknya kan Kak." Bisik Ceyda, gadis itu tersenyum bahagia sambil mengeluarkan baju dalam kopernya. "Senang banget kelihatannya ?" Walaupun Ceyda tidak pernah memberi tahu Rahayu tentang perasaannya pada Aldrik, namun seorang ibu pasti tahu apa yang dirasakan anaknya dari bahasa tubuhnya. "Kangen Ola mah, udah lama ngak ketemu dia." Ceyda melemparkan senyum pada mamanya, Rahayu hanya tersenyum pias.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD