Bertemu Keluarga yang Baik

1998 Words
"Oh ndak apa-apa. Ini silakan diminum dan dimakan. Mohon maaf, kami hanya bisa menyediakan makanan seadanya. kepinginnya kami menjamu dengan lebih baik, tapi takut Ibu dan anak-anak terlalu lama menunggu. Silakan ... jangan malu. Anggap saja di rumah saudara sendiri." Yang ditawari mungkin sudah kedinginan dan lelah. Mereka menyeruput teh hangat dan segera makan makanan yang disuguhkan. Begitu juga dengan si gadis kecil. Ia menggigit kue yang berbentuk bola. Sebuah cairan keluar mengotori bajunya. Wajahnya bengong karena kaget. Semua tertawa kecil. "Maaf Bu, kalau boleh tahu kenapa Ibu dan anak-anak bisa hujan-hujanan begini? Sedang mencari alamat atau bagaimana?" tanya pria tua ramah. "Kami sedang mencari rumah sewa yang murah. Maklum Pak-Bu saya seorang diri menghidupi anak-anak dan cucu saya. Uangnya harus dibagi-bagi." Sepasang suami istri itu seperti mengerti kesusahan tamunya. Mereka kemudian saling pandang, tapi memang saat itu tidak ada rumah untuk disewakan. Anak gadis cantik berlesung pipi yang mengintip dari balik gorden tiba-tiba keluar dan berbisik di telinga bapaknya. Tak lama pria tua nampak mengangguk-angguk dan tersenyum penuh makna. "Kok Biyung ga dikasih tau." Wanita ayu berkata sambil pura-pura merajuk. Mau tidak mau anak gadisnya membisikkannya juga kepada seseorang yang dipanggil Biyung itu. Kemudian mereka bertiga sama-sama tersenyum. "Jadi begini saja. Nusi anak saya bisa bermain dengan anak gadis Ibu. Dan yang paling kecil bisa jadi teman bermain cucu saya—Hayati namanya. Sebenarnya kami tidak mempunyai rumah untuk disewakan. Namun, menurut istri dan anak saya, gudang di sebelah pendopo ini bisa dipakai. Betul toh, Bu?" tanyanya sambil menepuk lembut punggung tangan istrinya. "Ibu dan anak-anak Ibu tidak perlu membayar sewa untuk gudang itu. Pesan saya hanya satu. Setelah nanti barang-barang antik milik keluarga kami dikumpulkan dalam satu ruangan tertutup. Tidak ada seorangpun yang boleh masuk ke dalamnya. Apalagi sampai memegang benda-benda itu," sambungnya lagi. Wanita tua dan anak-anaknya tampak manggut-manggut pertanda mengerti. Mereka juga mengucapkan terimakasih berulang kali karena kerendahan hati suami istri itu dan anak gadisnya. Nyonya rumah yang mengenakan kebaya bunga ingin menyampaikan isi hatinya. Suaranya lembut dan terlihat sangat tulus ketika berbicara. Pipinya kuning langsat dan kencang seperti buah kesemak muda. Sungguh anugerah Sang Maha Pencipta yang paling indah. "Iya betul sekali. Kami akan sangat senang jika punya keluarga baru. Memang gudang itu sudah lama tidak dibersihkan. Nanti akan kita bersihkan bersama-sama. Ibu dan anak-anak bisa menginap dulu di kamar tamu sampai gudang selesai dibersihkan." Gadis bernama Nusi duduk di depan tamunya sambil tersenyum. Ia memegang jari jemari dingin gadis kecil dan berkata. "Memang kami menyebutnya gudang, Bu. Namun jangan dipikirkan itu ruangan yang kecil dan pengap. Ibu bisa melihatnya dari samping," kata Nusi sambil mengarahkan jempolnya ke arah pendopo kiri. "Mudah-mudahan itu bisa jadi sebuah rumah kecil yang nyaman. Saya yakin nanti kalau sudah dibersihkan dan di cat ulang akan nyaman untuk tinggal di sana. "Dari pada obrolan kita panjang dan hari semakin dingin. Silakan istirahat dulu sebentar sambil berganti pakaian. Kasihan semua sudah kedinginan. Nanti setelah tubuh hangat kita lihat-lihat gudangnya." Tuan rumah mengantarkan tamunya ke kamar paling depan. Nusi menyiapkan makan siang untuk mereka. Dan di dalam kamar depan tamu-tamu itu tak berhenti mengucapkan alhamdulillah karena sudah menemukan keluarga yang amat sangat baik. ••••• Gudang itu sangat besar. Bisa dibuat menjadi beberapa ruangan. Dibelakang gudang sudah ada kamar mandi dan sumur. Rupanya itu sudah tersedia untuk tukang yang dulu sempat membangun gudang. Beberapa hari kemudian gudang sudah bisa ditempati. Bagian tengahnya di sekat sehingga mendapatkan dua buah kamar. Satu ruang tamu memanjang dan satu dapur memanjang. Semua benda antik, beberapa senjata, guci, sampai lukisan milik tuan rumah yang dipanggil Mbah Paimin itu disimpan dalam ruangan 3x6meter. Ruangan itu kemudian ditutup sebuah lemari agar tidak seoranpun masuk ke dalamnya. Jadilah mereka tinggal di gudang milik Paimin dan bertetangga baik sampai sekarang. Rasanya sudah seperti saudara sedarah. Bahkan lebih dari saudara sedarah. "Haaah, kami beruntung sekali bisa bertemu keluarga ini," ucap wanita tua sambil menghela napas di tengah-tengah lamunannya. Sambil memijat kaki cucunya, Bestari menerawangkan matanya sambil menatap langit-langit dan dinding. Dinding ini dulu kusam penuh dengan bercak kotor. Karena kebaikan tuan rumah dan istrinya sekarang dinding ini dibersihkan lalu di cat dengan pewarna yang membuat mata dan hati teduh. Tidak jauh di sebelah kirinya ada kayu sento berbahan jati. Ia ingat pertama kali datang Bie sulit untuk tidur. Lagi-lagi suami istri yang baik hati itu mengupayakan agar Bie bisa tidur dengan di ayun. Paimin membuatkan ayunan kampung di pintu ini. Ia bahkan memberikan selembar kain kotak-kotak besar yang mahal harganya. Bestari kemudian menghampiri beberapa ruangan lainnya yang memiliki kenangan tersendiri. Tadinya mereka tidak memiliki apa-apa ketika datang. Sebuah televisi 14 inci dengan rak yang bisa di dorong beserta sebuah lemari pakaian untuk anak laki-lakinya diberikan cuma-cuma. Matanya berembun saat Paimin berkata bahwa mereka sudah menjadi keluarga. "Apakah kompor ini boleh dipakai?" pertanyaan itu meluncur saat anak-anak Paimin—Genta dan Nusi mengantarkan dua kompor minyak untuk Bestari memasak. "Iya tentu saja, Mak," jawab kedua orang gadis itu dengan riang gembira. Seolah keluarga yang baru datang ini memang benar-benar keluarga senyatanya. Wanita tua bertubuh kurus dengan mata tajam itu membenarkan pikirannya. Bahwasanya sampai di detik ini dirinya tidak pernah bertemu keluarga sebaik ini. Ia benar-benar jatuh cinta atas hidupnya pada masa ini. Masa sulit beberapa waktu lalu membuat mereka menangis setiap hari. Kelaparan dengan dua orang anak yang belum bisa membantunya secara perekonomian. Tak lama setelah tinggal di sini seolah peruntungan berpihak padanya. Anak gadisnya yang dipanggil bibi oleh Bie bisa kuliah di salah satu Universitas Islam Negeri di kota itu. Sedangkan anak laki-lakinya yang berkulit cokelat mulai bekerja setelah diajarkan Paimin bagaimana caranya teknik mengelas yang bagus. Jagad—nama anak laki-laki itu, cukup senang bisa mendapatkan sedikit uang dari pekerjaannya. Ia terharu tatkala wanita tua yang dipanggilnya Emak itu terisak saat menerim lembaran rupiah dari tangan anaknya. Tidak ada yang bisa diberikan Bestari sebagai balasan untuk kebaikan Paimin, Yamik dan anak-anaknya. Ia hanya akan sigap dan siaga ketika keluarga baik itu memerlukan bantuan. Budi baik memang sukar dikembalikan. Semua tampak baik, hangat dan pas. Mata Bestari kembali pada Bie. Ia juga mengingat semua yang terjadi pada cucunya belakangan ini. Lalu menarik napas panjang. "Ada sesuatu yang tidak benar dan harus dibenahi," ucapnya pelan. Pelipisnya berdenyut. Mungkin terlalu berlebihan berpikir. Ia memijatnya. Tepat sewaktu sedang memikirkan ada lebih banyak lagi cerita mengenai gudang ini, lirih terdengar suara Bie memanggil. "Nyaeh ...." kemudian tak terdengar apa-apa lagi. "Apa ia bermimpi?" tanya Bestari sambil mengganti lagi handuk di kening Bie yang masih terasa hangat. Ia kemudian mengambil selembar uang di bawah lipatan baju kebayanya. "Bie, tunggu sebentar. Nyaeh ke warung beli obat penurun panas, ya." Dengan tergesa Bestari menuju warung yang tidak begitu jauh dari rumah. "Wal, minta bodrexin atau contrexin sekeping." "Buat siapa, Mbah?" tanya pemilik warung yang bernama Awaliyah. "Bie, demam," jawabnya singkat. "Terimakasih yah, Wal," balas Bestari sembari mengambil uang kembalian. Setengah berlari ia kembali ke rumah. Bestari lega karena Bie masih tertidur pulas. Dengan lembut dibangunkannya gadis manis berhidung pesek itu agar sejenak mengunyah obat penurun panas yang sudah dibelinya tadi. "Bie, minum dulu ini." "Apa itu, Nyaeh?" "Permen kecil rasa jeruk manis, sayang." Bie yang masih lesu membuka matanya. Dengan perlahan dikunyahnya tablet kecil berwarna jingga itu dan tertidur kembali. Dalam mimpinya ia berjumpa lagi dengan wanita cantik di dalam lukisan. Sayang sosok itu tidak bersikap ramah dan terlihat tidak ingin mengendalikan emosinya. Sebuah keadaan mengerikan tampak di sana sini. Sesuatu yang tak terlihat tampak mendorong Bie. Ia terjatuh dan bingung lalu menangis sambil memanggil nama nyaehnya. Namun, yang dipanggil tak kunjung datang. Sejurus kemudian darah tampak keluar dari ujung mata wanita dalam lukisan. Wajahnya semakin menyeramkan. Bie merasa ketakutan tapi di sisi yang berlainan ada keberanian yang muncul tiba-tiba. Ada keinginan yang besar untuk keluar dari keadaan itu karena Bie tahu semua itu terjadi di alam bawah sadarnya. Namun, sayang gadis itu belum menemukan caranya. Bie melihat sosok itu dengan seksama. Ia berpikir kalau wanita itu sedikit menakutkan. Tiba-tiba gadis kecil itu teringat rentetan pertemuannya dengan wanita berkebaya dengan bunga yang bergoyang di atas kepalanya. Ya, benar sekali. Ia pernah melihat sosok itu sebelumnya. Otak kecilnya mencoba mengingat dengan keras. "Oh, Ibu yang ada di dalam kamar Bulik Nusi, yah?" tanyanya tiba-tiba. Wanita dalam lukisan menghentikan langkahnya dan kembali ke wujud biasa lalu membuang wajah seramnya. "Waktu Mbah Paimin meninggal, Ibu juga duduk di sebelahnya?" "Betul kan?" "Dan lukisan cantik yang ada di dalam gudang. Itu juga lukisan Ibu, kan ?" tanyanya polos. Pertanyaan lugu yang bertubi-tubi dari mulut anak kecil yang tidak memiliki dosa apa-apa membuat wanita cantik itu tersenyum. Ia kemudian mendekati Bie mengusap lembut puncak kepala menuju ke wajah dan berhenti sampai ke bagian perut. "Maafkan aku. Aku hanya begitu menyukaimu. Ikutlah denganku dan jadilah teman baik ku," titahnya kemudian ia menghilang. Bie terbangun dengan senyum kecil diwajahnya. Bestari terkejut karena Bie bangun dan langsung memeluk dirinya. "Bie sudah sembuh?" tanyanya sambil menepuk lembut kening cucunya itu. "Ia Nyaeh. Bie sudah sembuh. Tadi Bie sudah diobatin sama Ibu cantik." Ia berkata polos tanpa tahu apa yang sedang di bicarakannya. "Ibu cantik?" "Ya, Ibu cantik dalam lukisan yang ada di gudang Nyaeh," jawabnya sambil memonyongkan mulutnya. Wanita tua itu tidak membahasnya lebih lanjut. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Bie lapar? Kepingin makan apa? Biar Nyaeh masakin. Tapi Nyaeh ga beli ayam hari ini. Jadi jangan minta semur ayam, ya?" Bie tersenyum. Ia adalah seorang gadis kecil yang baik. "Telor ceplok aja, Nyaeh. Sama kecap manis. Pasti enak banget ituuu." Bestari menuju dapur dan membuat telur ceplok. Pikirannya semakin kalut. Semua memang baik dan kehidupannya sampai detik ini hampir sempurna. Tapi tidak untuk Bie. Sempat terbersit untuk pindah. Namun, akan kemana dan berapa banyak biaya dan tenaga lagi yang harus disiapkan. Benar-benar dilema. Terlebih lagi Bestari sudah mencintai rumah, lingkungan, dan tentu saja keluarga Adiwilaga. Tapi tentu saja ia lebih mencintai Bie. Selepas zuhur, Nastiti baru saja tiba di rumah. Ia meletakkan tas besarnya yang berisi beberapa tafsir dan buku fiqih. Wajahnya nampak berseri dan cantik. Gadis dua puluh tahun dengan hidung bangir itu memeluk dengan erat ibunya yang sedang memasak. "Mak, coba tebak. Tadi Nastiti di kampus dapat kejutan apa?" "Mana Emak tahu," jawabnya sambil tersenyum dan menyentuh pipi gadisnya. "Nastiti dapat hadiah karena sudah menang lomba antar fakultas," ucapnya dengan mata yang berbinar. "Hadiahnya apa?" "Kupon belanja, Mak. Ke Departemen Store begitu. Lumayanlah Mak." "Kalau Bie sudah sehat nanti kita pergi." "Memangnya kenapa dia?" "Demam." Wanita berjilbab hitam lebar itu segera ke kamar. Dilihatnya Bie yang sedang duduk dan bermain dengan bonekanya. "Bie, sakit?" "Ia Bibi. Tapi sudah sembuh kok. Sudah di beliin Nyaeh permen yang manis rasa jeruk itu." "Bibi sudah pulang kuliah? Bawa makanan apa?" tanyanya sambil melirik ke arah tas besar bibinya. "Giliran makanan aja ditanyain. Bibinya ga ditanya capek atau engga." Mereka berdua kemudian terkekeh bersama. Nastiti dan Bie cukup akrab kalau sedang baik-baik saja. Tapi bibinya gampang tersulut emosi kalau Bie sukar mengaji atau belajar. "Bibi bawa kue bapao isi kacang hijau sama kacang merah. Bie mau? Apa mau dibuatkan teh sekalian, biar keringetan, pipis, terus panasnya turun deh." "Nyaeh lagi buatin telor ceplok. Bie makan nasi dulu, ya Bi." Mendengar telur ceplok gadis yang dipanggil bibi itu menyusul ke dapur. "Mak lagi bikin telor ceplok. Nastiti mau juga satu. Laper," ucapnya sambil meringis memegang perut. Yang diajak bicara seperti sedang melamun. Telur ceplok untuk Bie hampir saja gosong. "Mak ... Mak, kok melamun?" Gadis muda itu menggoyang pelan bahu ibunya. "Bagaimana kalau kita pindah dari sini?" tanya wanita tua itu tiba-tiba. "Pindah?" "Ya, Pindah, Nas?" "Memangnya di sini kenapa, Mak? Mak ga betah? Atau ada sesuatu yang jadi pikiran, Mak?" "Iya, Nas. Mak rasanya mulai ga nyaman. Apalagi Bie ...." "Kalau, Nas, nurut aja. Tapi Mak tanyakan dulu sama Kak Jaga sama Kak Jagat juga." "Tapi, bukannya kita di sini sudah enak yah, Mak? Semua tetangganya kita sudah kenal dengan baik. Lingkungannya juga aman dan nyaman. Apalagi yang kita butuhkan." "Bukan kita Nas, tapi Bie." "Ya sudah, bagaimana baiknya saja, Mak. Jangan lupa salat istikharah juga," ucap Nastiti sambil menggantung baju kurungnya di belakang lemari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD