Wanita Dalam Lukisan

2038 Words
Suara gemuruh yang bersahut-sahuyan menghiasi acara peringatan tujuh hari kematian Paimin. Hujan turun dengan awet dan deras. Tamu-tamu nampak masih menunggu hujan reda di pendopo joglo milik keluarga Adiwilaga itu. Bie, Nastiti, dan Bestari pulang melalui pintu belakang. Tentu tak masalah bagi karena rumah mereka hanya beberapa langkah saja. Beberapa orang mulai pulang dan memilih kebasahan dari pada harus menunggu hujan yang mungkin saja tidak akan reda sampai subuh tiba. sementara beberapa orang lainnya masih nampak bercakap-cakap di joglo dan disekitar rumah yang ditempati Bestari. Bie mengusap dan mengucek matanya sambil menguap. Bestari yang sudah masuk ke dalam kamar membaringkan cucunya di atas ranjang dan menyalin pakaiannya. "Kalian dengar tidak kabar desas-desus kematian Mbah Paimin?" tanya seorang pria bersuara serak. Mereka mungkin tidak mengetahui kalau suaranya bakal terdengar dari kamar Bestari. "Siapa, Mak?" tanya Nastiti setengah berbisik. "Pssstt. Dengarkan saja," jawab wanita tua itu sambil menyelimuti Bie. "Kabarnya sih karena 'itu' ya?" tanya suara pria lainnya. "Itu apa? Klenik? Pesugihan? atau Paimin salah satu pelaku ritual?" Pria ini memiliki suara yang khas. Ia tidak bisa menyebut huruf r dengan sempurna. Bestari berpikir alangkah lancangnya mereka bergibah di rumah orang yang masih berduka cita. Bestari yakin mereka merupakan tetangga jauh atau masyarakat dari kampung sebelah. Suara gemuruh yang menggelegar terdengar lagi. Seolah ingin menghentikan percakapan ketiga orang laki-laki yang sedang menggunjingkan Paimin. "Sudah jam sepuluh ni. Masak mau tidur di sini." Pria bersuara serak nampak mulai gelisah. "Kalian menginap di rumahku saja. Dari pada pulang kebasahan dan gelap-gelapan," tawar pria yang tidak bisa menyebutkan huruf r. Kedua orang temannya sepertinya menyetujui. Karena setelah itu tidak terdengar lagi percakapan mereka. ••••• Di sebuah rumah gubuk dengan dinding anyam, ketiga orang itu tidur berhimpitan. Herman—pria yang tidak bisa menyebutkan huruf r— pemilik rumah menawarkan kepada kedua orang temannya untuk menginap. Ia merasa kasihan kalau Pani dan Topa harus kehujanan dan gelap-gelapan menuju rumah mereka yang ada di kampung sebelah. Mereka menyesal karena sudah membicarakan hal yang buruk tentang orang yang baru saja meninggal. Apalagi yang dibicarakan adalah Mbah Paimin. Salah satu sepuh yang bisa dibilang berumur panjang di kampung itu. "Kalian, sih yang mulai duluan," ujar Herman kepada kedua orang temannya. "Alamat bakal ga tidur nyenyak malam ini," sambungnya lagi sambil membalik badannya ke arah dinding. Memunggungi Topa yang tidur di tengah. Mungkin baru beberapa menit mereka akan terlelap. Tiba-tiba terdengar suara keras yang menggema memenuhi seluruh rumah. Padahal hujan sudah berhenti beberapa waktu lalu. Sontak mereka duduk dan saling berpandangan. "Kalian dengar itu?" tanya Pani dengan mata yang melotot dan ekspresi yang sangat ketakutan. Diantara mereka bertiga memang Pani yang paling penakut. "Ya, dengar," jawab Topa dengan berbisik. "Sudah kita tidur lagi saja. Jangan lupa baca doa," sahut Herman. Ia kembali berbaring meninggalkan ke dua orang temannya yang masih termangu. Sejurus kemudian pintu kayu rumah Herman digedor dengan amat sangat keras. Kali ini Herman tidak bisa menyepelekan. Ini sudah serius. Ketiga pria yang belum menikah itu saling berpandangan. "Aku mau lihat dulu," ucap Herman. Namun segera ditahan oleh Pani dan Topa. "Jangan Man! Bagaimana kalau itu orang jahat." Pani melarangnya untuk keluar. Lalu terdengar gedoran yang lebih keras. Mereka menelan ludah kemudian saling dorong. "Ya sudah kita lihat sama-sama. Adil toh," ucap Topa sambil mengucek rambutnya yang sedikit gondrong. Mereka turun perlahan dari dipan. Herman berada di posisi paling depan, Topa kemudian Pani. Mereka berjalan sambil merapatkan badan satu sama lain. Dengan wajah tegang menuju ke pintu depan. Gedoran ketiga terdengar. Diiringi dengan suasana rumah yang mendadak menjadi dingin dan lengang. Suara lolongan anjing yang tak biasa membuat bulu kuduk ketiga pemuda ini meremang. Mereka sudah hampir dekat dengan pintu depan. Herman mengambil cangkulnya yang berada tak jauh dari pintu. Siapa tahu yang menggedor-gedor pintu itu orang jahat. Pikirnya. Pintu dibuka. Hawa dingin dari luar menyeruak masuk. Kabut mengelilingi pohon nangka dan keluih milik Herman. Keadaan remang-remang karena rumah Herman satu-satunya yang berada di kebun besar ini. Mereka bertiga bingung karena diluar tidak ada apa-apa dan siapa-siapa. Kabut sedikit menipis dan bergeser mungkin karena tiupan angin. Sejenak mereka terpaku, menggigil, dan ketakutan tentu saja. Mereka melihat sosok dalam kegelapan. Awalnya tidak begitu jelas. Namun, kemudian sosok itu mendekat dan lebih dekat lagi. Pria tua dengan tongkat berkepala hewan berdiri dibawah temaram cahaya. Ia tidak mengenakan pakaian. Hanya celana panjang hitam dan ikat kepala hitam. Ia tersenyum perlahan lalu menyeringai menyeramkan. Dan yang lebih menakutkan pria tua itu terus mendekati pemuda-pemuda yang sudah membicarakannya tadi. Bukan dengan berjalan tapi dengan melayang ringan. "M-Mba-Mbah Paimin," ucap mereka bertiga dengan suara bergetar. ••••• Pagi itu hujan cukup deras. Nastiti sudah pergi kuliah sebelum hujan. Bestari akan ke warung sayur untuk membeli beberapa keperluan. "Nyaeh ke warung dulu ya, sebentar. Main di rumah saja. Jangan keluar," pesannya pada Bie yang sedang bermain bongkar pasang di dapur. "Bie takut sendirian di rumah Nyaeh. Bie ikut ya. Kan ada jas hujan." Ia sedikit merajuk dan memohon sambil menarik ujung kebaya putih Bestari. Setelah dibujuk dan dijanjikan akan di belikan bongkar pasang yang baru akhirnya gadis kecil itu setuju. Bestari pergi ke warung dan mengganjal pintu belakang dengan kain lap. Bie melanjutkan main sambil menonton televisi yang hanya punya saluran TVRI saat itu. Seekor kupu-kupu putih besar masuk dari jendela dapur yang terbuka. Entah dari mana asalnya. Bie melihatnya tapi bersikap acuh tak acuh untuk sesaat. Kupu-kupu itu berputar-putar disekitarnya seolah memancing gadis kecil itu agar tertarik untuk melihatnya. Bie mengalihkan pandangannya dari bongkar pasang ke arah kupu-kupu yang terbang rendah di sekitar dapur. Ia mencoba menangkapnya. Sayang kupu-kupu terbang menjauh menuju ke sebuah ruangan di belakang lemari Jagad—adik laki-laki ibunya—yang tidak pernah di buka sama sekali. Kupu-kupu masuk melalui lubang pentilasi. Bie merasa kasihan karena kupu-kupu itu terjebak di sana. Tiada daya karena ia tahu pintu itu pasti terkunci. Tapi mata gadis itu melotot saat mengetahui pintu itu terbuka dengan sendirinya. Tidak lebar memang hanya sekitar empat jari saja. Ia bingung. Teringat pesan nyaehnya bahwa gudang tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Sesuatu tanpa wujud seolah berbisik ke telinga kecilnya. Meminta gadis kecil itu untuk masuk sebentar. Pintu berderit. Bie terbatuk beberapa kali karena debu yang sangat tebal. Sudah beberapa tahun mungkin sejak mereka pindah, gudang ini tidak pernah dibersihkan. Ia melongokkan kepalanya mengintip di mana kupu-kupu itu berada. Beberapa benda lain berada dalam kotak kayu besar, gadis itu tidak tertarik dengan itu. Tapi sepasang mata beningnya tertuju pada barang-barang yang terpaku di dinding. Ia menemukan kupu-kupu cantik berwarna putih mendekati sebuah lukisan. Sosok pada lukisan besar seperti tak asing di mata Bie. Ia merasa pernah melihatnya. Namun, ia lupa di mana. Wanita cantik berkebaya itu kepalanya berhiaskan paes berwarna hitam. Ia sangat cantik dengan alis yang dibuat bercabang seperti tanduk rusa. Rambut hitamnya digelung apik di atas leher dan ditutup oleh jahitan melati. Hiasan kembang yang bergoyang di bagian atas kepalanya berjumlah ganjil. Bie hendak menangkap kupu-kupu yang terbang rendah. Namun, tiba-tiba saja menghilang seperti tertelan lukisan. Ada sesuatu yang membuat Bie ngeri. Sepasang mata cantik dari wanita yangvada di lukisan melirik mengikuti ke mana Bie bergerak. Gadis itu mungkin telah menyadari bahwasanya ia sudah di awasi. Untuk beberapa saat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Berharap kalau sepasang mata tadi akan berhenti mengawasinya. "Bie. Mari sini. Bermain-mainlah denganku." wanita dalam lukisan itu seolah berkata. Bie tetap bergeming. Ia bingung atas apa yang terlihat oleh mata. Pintu kayu gudang tertutup dengan suara yang keras. Gadis itu ketakutan dan menggedor dengan tangan kecilnya. Akan tetapi tidak seorangpun yang mendengar suaranya. Sesosok wanita cantik keluar dengan ringan dari dalam lukisan. Ia tersenyum kepada Bie sambil mengulurkan tangan kanannya. "Aku menyukaimu, Bie. Ikutlah denganku," ucapnya sambil mendekati Bie. Bie mendadak menggigil di tempatnya berdiri dan tidak bisa berkata apa-apa. Seketika ia jatuh lunglai ke lantai. Dingin, itu yang dirasakan terakhir kali sebelum matanya terpejam. Bie merasa kalau dirinya sedang berada di sebelah nyaehnya. Kepalanya terasa sejuk saat tangan keriput milik Bestari mengompres kening dan rambutnya yang hangat. "Bie haus, Nyaeh," ucapnya dengan suara yang serak. Bestari mengambil botol minum dengan sedotan berwarna merah muda. Diangkatnya sedikit badan cucunya agar bisa minum dengan aman. Bie merasa kepalanya terasa sakit. Ia tidak begitu ingat kejadian kenapa bisa pingsan. Sebenarnya banyak yang ingin ditanyakan Bestari. Tapi melihat keadaan Bie yang seperti itu, wanita tua itu tidak tega dan lebih menunggu waktu yang tepat "Tidur lagi saja," ucapnya sambil berlalu. Bestari meninggalkan Bie dan segera menuju pintu di belakang lemari. Lukisan wanita cantik yang tergantung sudah berpindah posisi. Bestari nampak begitu kesal. Bahu kecilnya terlihat naik turun. "Jangan ganggu cucu saya!" teriak Bestari lantang tanpa takut sedikitpun. Wanita tua dengan gelang kayu kuno di pergelangan kaki kanannya itu laksana menabuh genderang perang dengan wanita cantik yang ada di lukisan. Pintu kayu tertutup keras seolah memberikan gertakan. Bestari mengamati benda-benda yang mulai bergerak dengan sendirinya. Perkakas-perkakas, pedang, keris, guci-guci kuno, juga lukisan besar bergambar wanita cantik. Bestari tidak takut. Kuda-kuda kakinya gagah. Entah kekuatan apa yang berada dalam dirinya yang membuat wanita tua yang rambutnya dicepol kecil itu amat sangat berani. Dengan mata tajam diamatinya semua benda yang masih bergerak untuk beberapa saat. Badan kecil Bestari berbalik meninggalkan gudang. Bersamaan dengan itu sebuah suara terdengar "Aku menyukai cucumu. Kalau kau tidak menyayanginya, berikan saja padaku!" Bestari menghela napas panjang, kemudian diembuskannya perlahan. Ia mencoba mengendalikan sesuatu yang membuat dirinya terasa begitu emosional. "Jangan mimpi kamu!" Terdengar tawa panjang tapi Bestari tidak menggubrisnya. Ia segera menggeser lemari dan menutupi pintu gudang dengan itu. Tenaganya lebih kuat dari apa yang terlihat. Lagi-lagi tidak sepatah katapun yang diucapkan. Matanya tampak menyala-nyala. Ia kemudian mengucap istighfar beberapa kali kemudian kembali ke kamar untuk melihat Bie. Bestari duduk sambil memijat pelan kaki kecil Bie. Sepertinya gadis kecil itu masih tertidur. Wanita tua itu melamun. Membawanya pada kenangan saat dirinya, Bie, dan kedua anaknya terseok-seok mencari tempat tinggal untuk bertahan hidup. Wanita tanpa suami itu merasa tidak mungkin untuk tinggal bersama Nawang—anak tertuanya karena Bie saja dititipkan kepadanya. Mungkin saja anak pertamanya itu sedang berada pada kesulitan dalam kehidupan berumah tangga. Jaka—anak keduanya yang juga telah berkeluarga tidak mungkin juga untuk direpotkan. Lagi pula nampak terlihat jelas kalau istri Jaka tidak menyukainya. Perasaan orang tua tidak pernah salah. Dengan sandal-sandal yang mulai lelah mereka berkeliling mencari kontrakan yang sesuai dengan uang yang dimiliki. Dari satu kampung ke kampung lainnya. Tapi mencari kontrakan tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang uang sewa cocok tapi lingkungan tidak mendukung. Kadang sudah mendapatkan kontrakan yang nyaman, tetangga terlihat baik tapi uang sewanya mahal. Pakaian yang mereka kenakan sore itu sudah begitu kuyup. Bahkan Bie yang masih kecil saat itu sudah menggigil dengan bibir yang hampir membiru. Entah mungkin memang sudah jalan dan suratan, mereka berempat menumpang berteduh di sebuah pendopo joglo yang besar. Bestari mengelap tubuh Bie dengan bajunya yang sudah basah. Bersamaan dengan itu sepasang mata milik seorang wanita tua mengintip dari celah-celah gorden. Hatinya yang begitu lembut tidak tega melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Ia menuju ke kamar tengah tempat si gadis berlesung pipi berada. "Si, bisa tolong Biyung?" "Tolong apa, Biyung?" "Bikinkan teh dan buatkan sedikit makanan untuk empat orang." Gadis itu tidak menolak. Ia gadis yang baik dan penurut. Tentu saja ia langsung mengerjakan apa yang di perintahkan Biyungnya. Ketika di dapur gadis cantik itu berpapasan dengan Boponya. "Kenapa, Si?" Boponya bertanya sambil menaikkan alis. Memang sudah menjadi ciri khasnya seperti itu. "Biyung minta bikinin teh sama makanan." "Buat siapa anak manis? Bopo kan baru selesai makan," tanyanya bingung. Ia kemudian menemui istri tercintanya untuk bertanya. Tak ditemuinya di dalam keempat kamar lain. Namun, pria tua itu tersenyum ketika mendapati sosok istrinya yang sedang mengintip sesuatu dari balik gorden sutera berwarna jingga. "Ono opo, toh?" tanyanya ingin tahu. Yang ditanya tidak menjawab hanya menempelkan jari telunjuk ke atas bibirnya, kemudian mengarahkan jempolnya kearah luar. "Ooo," jawab laki-laki tua mengenakan ikat kepala hitam itu dan tersenyum. Ia paham betul istrinya sangat baik dan welas asih kepada siapapun. Suami istri itu masih mengintip sampai anak bungsunya datang membawa makanan dan teh hangat di atas baki kayu. Ketika pintu di buka keempat orang tadi luar biasa terkejut. Ada perasan bersalah karena sudah lancang berteduh tanpa seizin pemilik rumah terlebih dahulu. "Maafkan kami sudah lancang," ucap si wanita tua yang menggendong gadis kecil sambil menundukan kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD