Hayati

1228 Words
Nastiti berteriak dari kamar sebelah, mengingatkan gadis itu untuk segera mengaji. Ia menyumpalkan beberapa sendok nasi di dalam mulut mungilnya dan bergerak cepat. Mengambil kerudung renda putih di gantungan belakang lemari dan mengambil buku iqra’. Seperti biasa acara mengaji tidak pernah berjalan lancar. Selalu ada adegan menangis tersedu di dalamnya. Nastiti marah karena Bie tidak lancar mengaji. Sebuah mistar panjang disiapkan untuknya dan itu bisa melayang kapan saja. Bestari mendekat, ketika isak tak terbendung lagi. Napasnya sudah setengah-setengah karena beradu dengan air mata yang deras keluar. “Sudah-sudah, besok lagi ngajinya,” ucapnya sambil mengambil tangan Bie untuk dituntun. Mereka masuk ke dalam kamar dan bersiap tidur. Bie tidur meringkuk menghadap dinding. Bestari menyelimuti tubuhnya dengan sebuah selimut berwarna merah, kemudian menepuk pahanya perlahan sambil menyenandungkan sebuah lagu. Lir ilir lir ilir tandurewong sumilir Tak ijo royo royo Tak senggun penganten anyar Cah angon Cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro Isak tangis, d**a dan punggung yang bergelombang, mulai mereda ritmenya. Seiring dengan terlelapnya mata dan tubuh yang mulai lelah. Bie sedang memeluk gulingnya tapi belum menutup rapat matanya. Sosok Ruri berdiri kaku di ujung ranjang. Ia tersenyum tipis sejurus kemudian tubuhnya menghilang perlahan. Malam itu, Bie bermimpi bermain bersama Ruri di sebuah padang rumput yang sangat luas. Mereka berkejaran, bermain air, bermain ayunan yang hanya ada satu saja di lapangan luas itu. Ia duduk di ayunan dan Ruri berdiri di belakang sambil mendorong pelan. Suasana sangat indah, matahari bersinar hangat, burung-burung berkicau merdu. Aneka bunga warna-warni bermekaran seperti sedang menyambut datangnya musim semi. Tiba-tiba saja semua menghilang. Tergantikan dengan keadaan yang berbanding terbalik. Sungai kering kerontang, padang rumput gersang, burung-burung yang tadinya berkicau merdu mendadak jatuh, mati, menggelepar. Awan gelap pekat dan terasa sangat dekat dengan kepala. Ruri mengayun dengan sangat cepat, Bie menjadi ketakutan. Ia meminta Ruri untuk menghentikan dorongannya. Namun sayang, Ruri tidak memperdulikan ucapan dan teriakannya. Seperti sedang mengerahkan semua tenaga yang ia punya, Ruri berhasil membuat Bie jatuh tersungkur di tanah yang gersang. Ia kemudian tersenyum tipis, kepalanya yang mengeluarkan darah yang sangat deras bergerak patah-patah. Sepasang tangan yang panjang dan pucat terulur minta diraih. “Ayo, ikut aku!” teriak Ruri menggema. Bie tahu itu hanyalah sebuah mimpi tapi tubuhnya tidak bisa menolak. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Dalam ketakutannya, sayup-sayup terdengar suara Bestari memanggil namanya. Nyaeh mengguncang tubuh kecil Bie. Ia tersentak dengan peluh di kening. “Nah, akibat tidur sambil nangis. Lupa baca doa juga itu!” Bestari berujar sambil menyodorkan segelas air putih kepada Bie. Gadis manis itu meminumnya perlahan dengan mata yang masih nanar. “Bie, kepingin ke kamar mandi Nyaeh, boleh tolong temenin ndak?” pintanya setengah memohon. Bestari bangun perlahan, ia mengikuti. Lampu dihidupkan. Pintu dapur berderak ketika dibuka. Bie masuk ke kamar mandi dan Bestari menunggu di luar. Ada Ruri sedang duduk di atas dinding sumur. Ia tersenyum. Bie menatapnya untuk beberapa detik, kemudian masuk ke dalam rumah. “Jangan lupa baca doa,” pesan Bestari sambil menyelimuti tubuhnya dengan selimut. “Iya Nyaeh!” Mimpi tadi begitu menakutkan. Padahal sebelumnya ia tidak pernah mendapatkan mimpi yang seperti itu. Mungkin Nyaeh benar, Bie lupa membaca doa. Tepukan lembut di paha membuat nyaman. Bestari mulai menyanyikan sebuah senandung pengantar tidur. Sebuah doa berhasil Bie ucapkan malam itu, walau dengan lirih. ••••• Bie, Nastiti, Bestari tinggal mengontrak di sebelah rumah Joglo besar milik seorang pria tua sepuh bernama Paimin. Rumah itu awalnya adalah sebuah gudang besar tempat penyimpanan barang-barang kuno. Ruangannya terdiri dari dua pintu dengan bentuk memanjang kebelakang. Paimin orang yang sangat baik. Bie sering bermain bersama Hayati, cucu Paimin yang seusia dengannya. Tak peru repot, gadis kecil itu hanya harus melangkah sebanyak tiga kaki saja dan asiknya, jendela kamar Hayati sejajar dengan jendela kamar Bie, sehingga terkadang mereka bermain dari jendela atau bermain di rumah besar milik Paimin. Bie sering diminta Hayati untuk menemani dirinya yang sering sendirian di rumah simbahnya. Walau terkadang gadis kecil itu merasa tidak begitu nyaman. Sebenarnya bukan hanya ia saja yang tidak suka bermain di sana. Ruri pun sering menolak kalau diajak. Ruri bilang ia takut kepada Paimin, entah apa sebabnya. Paimin seorang laki-laki tua, mungkin usianya kala itu hampir seratus tahunan. Tubuhhya kurus, tulang leher dan bagain dadanya pun terlihat. Pria tua penyuka cerutu itu jarang mengenakan baju. Sehari-hari hanya mengenakan celana bahan berwarna hitam di atas mata kaki. Ketika berjalan kakinya yang tertatih akan dibantu oleh sebuah tongkat dari kayu berkepala ular. “Bie, temenin aku ya!” pinta Hayati padanya pagi itu, ketika sedang duduk di teras. Bie menolaknya. Ia bertanya kenapa tidak Hayati saja yang bermain di sini. “Tapi, simbah, ndak mengizinkan aku untuk ningalin rumah. Kalau rumah lagi kosong. Ayolah, temenin aku,” Hayati memohon. “Um, tapi aku izin sama Nyaeh dulu ya. Satu lagi, ndak usah main di kebun salak. Aku takut!” sambungnya kepada Hayati. Bie mencari sosok Bestari di ruang tamu, kamar, dapur, tapi tidak ada. Ia membuka pintu belakang dan melihat kamar mandi yang masih kering dan terbuka. Bibi juga sedang kuliah. Ia bingung harus meminta izin ke siapa. Sementara Hayati sudah beberapa kali memanggil. Akhirnya, Bie mengunci pintu depan. Keluar melalui pintu yang ada di dekat sumur. Pintu kayu itu hanya diganjal pintu dengan kain lap karena ia tidak tahu cara menggemboknya. Sebelum menutup rapat Bie melihat Ruri berdiri tak jauh dari pintu. “Yuk, main sama Hayati!” ajaknya kepada Ruri. Namun, Ruri menjawab dengan gelengan lesu. “Yaa sudah kalau ndak mau. Aku nemenin Hayati dulu ya.” Hayati sudah menunggu di depan pintu dapur. Hari itu ia menggunakan celana merah dengan atasan kaos putih bergaris biru. Rambut lurus dengan poni melewati alis bertambah cantik dengan dihiasi sepasang jepit rambut motif hati. Ia tersenyum melihat kedatangan Bie. “Aku laper ni. Temenin aku masak mie ya!” ujar Hayati sambil menggandeng tangan Bie. Mereka pun masuk ke rumah Mbah Paimin. Menurut Bie, rumah itu memberikan suatu perasaan yang tidak nyaman. Rumah yang aneh. Berhawa sangat dingin dan gelap. Wajar saja kalau Hayati tidak berani sendirian di dalam rumah. “Bie, temenin aku ke sumur dong. Pancinya kotor nih!” keluh Hayati. “Kan’ sumurnya di situ. Deket kok!” Bie menjawab sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah sumur yang ada di dalam dapur. Sumur itu hanya berjarak beberapa kaki saja di hadapan mereka. Karena tidak tega, Bie menemani Hayati. Sumur itu merupakan sumur timba dengan katrol. Bie melongokkan kepala ke dalam sumur. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi merinding. Hayati hendak menurunkan timba katrol, saat air sumur yang tenang tiba-tiba saja meliuk-liuk. Seperti ada sesuatu yang bergerak di bawah sana. Beberapa detik ada cahaya yang berkelebat setelahnya. Mereka berdua sempat menutup mata dengan tangan. "Apa ada matahari di bawah sana ?" tanya Bie polos. "Entahlah," jawab Hayati nampak ragu-ragu. Gadis berambut keriting itu seakan terpikat dengan cahaya indah yang datang sekejap mata. Ia tidak mengetahui bahwa 'sesuatu' di bawah sana adalah 'sesuatu' yang akan menyertai dirinya hampir di separuh hidupnya. Hayati duduk dengan tenang di atas bangku kayu pendek yang biasa digunakan untuk mencuci piring. Ia sangat lucu ketika sedang meniup poninya dengan bibir kecil merahnya. "Ayo ... Katanya mau ambil air," ucap Bie seperti sudah tak sabar. Ia enggan berlama-lama di sumur ini. Walaupun di satu sisi masih menginginkan untuk melihat cahaya cantik tadi. "Iya ... Iya sabar. Aku sedang mengumpulkan keberanian. Bateraiku belum penuh," selorohnya. Membuat Bie menahan tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD