Pernikahan Bulik Nusi

1316 Words
Byurrr! Terdengar suara timba yang menangkup air. Hayati nampak kesusahan menarik katrol. Bie membantunya. Ia menarik pinggang Hayati dengan tenaga yang dimilikinya. Mereka berhasil mendapatkan satu ember air yang jernih dan sejuk. Berbeda sekali dengan sumur yang ada di kontrakan. Walau airnya mudah untuk di timba tapi baunya busuk dan berkarat. Sumur Mbah Paimin berada sejajar dengan kamar mandi dan toilet, hanya saja posisinya lebih ke dalam lagi. Bie teringat tadi Hayati berkata bahwa tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Tapi ia mendengar suara orang yang sedang mandi dengan gayung. Hayati juga mendengar suara jebar jebur itu. Manik hitam pekat milik Hayati beradu dengan manik mata belok miliknya. “Siapa yang sedang mandi? Kata kamu ga ada orang di rumah,” pertanyaan itu hanya dijawab dengan isyarat oleh Hayati. Ia menempelkan jari telunjuk di atas bibir tipisnya. Sepertinya seseorang yang mandi tadi mengetahui kalau dirinya sedang dibicarakan, karena tiba-tiba saja suara air dari gayung berhenti seketika. Bie dan Hayati yang masih berada di depan sumur langsung menoleh ke arah kamar mandi. Mereka menunggu beberapa detik tapi tidak ada siapa-siapa yang keluar dari sana. Seakan terhipnotis oleh sesuatu, mata kedua anak itu tak berkedip. Tubuh kecilnya tidak bisa bergerak. Seperti ada sesuatu yang lewat karena hawa dingin sempat menyapa tubuh. Mereka sangat ketakutan, padahal tidak ada sesuatu yang dilihat. “Huaaaa ... huaaa ... huaaa, Nyaeh!” hanya itu yang keluar dari mulut gadis kecil bergigi ompong itu. Dari arah sebelah kanan terdengar suara pintu yang didorong dan menimbulkan suara gebrak. Seorang wanita tua mengenakan kebaya lama bercorak dedaunan berwarna hijau lumut menghampiri Bie dan Hayati. Ia merangkul tubuh Bie yang ketakutan dan berkata. “Kita main di rumah saja ya. Jangan main disini!” “Hayati lapar, Nyaeh. Kasihan dia,” terang Bie sambil menarik-narik ujung kebaya Nyaehnya. “Nanti, Nyaeh masakan di rumah saja. Jangan di sini!” Mereka keluar dari rumah itu dengan jantung yang masih berdebar kencang. Bestari mengajaknya sarapan dan makan siang bersama sampai Wastuti—ibu Hayati datang untuk menjemputnya. Beberapa waktu setelah kejadian itu, Hayati tak pernah ingin sendirian di rumah mbahnya. Bie juga tidak pernah mau menemani dan bermain di sana kalau hanya berdua dengannya saja. Berita pernikahan Nusi—anak bungsu Paimin, sudah tersebar ke seluruh kampung. Semua tetangga beramai-ramai untuk membantu. Tak terkecuali Bestari, Nastiti dan Bie juga turut serta. Hari itu, mereka masuk dari pintu belakang. Di arah sumur, ada para ibu yang sedang membersihkan sayur-mayur, mengupas telur, dan ada yang sedang mencuci piring. Bie sangat senang melihat keramaian. Hawa rumah Mbah Paimin juga terasa lebih hangat. “Mainlah sama Hayati, tapi jangan nakal,” pesan Bestari kepadanya yang saat itu duduk di sebelah Wastuti. Bestari kemudian membantu memetik batang cabai. Bie berjalan mendekati Wastuti. Setengah berbisik ia bertanya di mana Hayati berada. Wanita berperawakan kecil itu menjawab kalau Hayati ada di kamar pengantin bersama Nusi. “Bie, boleh kesana ndak Bude?,” tanyanya hati-hati. “Iya, boleh sayang," Wastuti menjawab sambil sedikit menolehkan kepala ke arah gadis berkulit cokelat itu. Wastuti tersenyum, sangat cantik dengan deretan gigi putihnya yang rapih. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Hayati. “Ingat, jangan nakal,” Bestari memperingatkan aku lagi. “Iya Nyaeh, Bie ingat kok pesan Nyaeh!” Bie berjalan pelan meninggalkan dapur. Keramaian di rumah Mbah Paimin benar-benar membuat takjub. Tak hanya di dapur, di ruang tengah pun, ada beberapa orang yang sedang sibuk menggunting karton warna-warni dan membuatnya menjadi bentuk hati. Beberapa orang lainnya menempelkan beberapa permen di atas kertas karton tadi dengan streples besar. Bie melongokkan kepala di kamar pertama yang dilewati. Kamar itu berada di sebelah orang-orang yang sedang menggunting karton hati tadi. Tapi isinya hanya beberapa perabot saja. Tidak terlihat Nusi dan Hayati di sana. Ia kemudian berjalan lagi menuju kamar sebelahnya. Kamar yang berada di barisan paling tengah. Hayati sedang duduk di atas Ranjang yang sangat indah saat Bie berdiri di ambang pintu. Ranjang itu dipasangi seprei yang mengkilat, ada bantal berbentuk hati berwana merah muda di tengahnya. Bagian atasnya dipasang kain yang lebar dan licin, dihiasi dengan berbagai macam bunga warna-warni dan juga dedaunan. Hayati tersenyum semringah melihat Bie. Ia melambaikan tangannya pertanda meminta masuk. "Bulik dan Hayati, lagi apa?" tanya Bie. Kamar Nusi lumayan luas.Di dalamnya nampak sebuah lemari jati memanjang yang memiliki empat pintu. Sebuah meja rias dengan kaca berbentuk oval dengan warna yang senada dengan lemari jati berada di tengah ruangan. Di sudut kamar ada sebuah kursi goyang. Seseorang wanita berkemben dodot sedang duduk di sana. Wanita itu memakai riasan seperti seorang pengantin. Wajah dan kepalanya berhiaskan paes berwarna hitam. Ia sangat cantik dengan alis yang dibuat bercabang seperti tanduk rusa. Rambut hitamnya digelung apik di atas leher dan ditutup oleh jahitan melati. Hiasan kembang yang bergoyang di bagian atas kepalanya yang berjumlah ganjil, makin menambah kecantikan wanita itu. Bie membalas senyumnya, lalu memandang sekeliling kamar Nusi. Ada beberapa baju pengantin yang digantung di atas paku yang sangat tinggi. Kemudian mata bulatnya tertuju lagi kepada wanita cantik yang ada di kursi goyang. Wanita yang tidak dikenal itu menegakan badan dan kepala. Kemudian ia menatap lekat mata Bie dengan wajah yang serius. Bie menghela napas panjang. Aku salah apa? Gumamnya dalam hati. Bie balik menantang matanya. Memainkan alisnya naik turun dan mengerucutkan bibir mungil. Khas wajah sebal anak-anak yang sedang dijahili. Ia berbuat seperti itu karena merasa tidak nakal dan tidak melakukan kesalahan apapun. Namun, lalu ia mengacuhkannya dan memilih duduk di sebelah Hayati yang sedang membuka sebuah kotak kaca berisi berbagai macam perhiasan. “Apa itu ?” tanyanya antusias kepada Hayati. Ia hanya berani bertanya saja tanpa punya keinginan menyentuhnya karena Hayati tidak memberikan izin untuk itu atau mungkin saja belum. Bestari pernah mengajarkan kepadanya. Tidak boleh memegang, apalagi sampai mengambil barang milik orang lain sebelum orang itu mengizinkan. Hal itulah yang ia ingat sampai sekarang. “Perhiasan milik almarhumah Mbah Yamik,” jawab Hayati masih mengelus-ngelus sebuah bros besar berbentuk bunga berwarna kehijauan. Cerlang bebatuan yang lebih kecil membuat matanya sedikit silau. “Cantik ya,” ujarnya polos. Sambil tak lepas memandangi bros bunga itu. “Kalau Bulik Nusi cantik ga?” tanya wanita dua puluh tahun berlesung pipi itu tiba-tiba. Membuat mata Bie beralih dari bros menuju wajah putih mulus milik Nusi. Anak bungsu itu, memanglah paling cantik dan lemah lembut di antara yang lain. Nusi, memiliki badan yang imut, sesuai dengan bentuk hidung dan bibirnya yang mungil. Rambutnya ikal halus sepanjang bahu. Ada lesung menghiasi pipinya kalau sedang tersenyum. Sebuah t**i lalat di pipi sebelah kanan semakin menambah kecantikan alaminya. “Cantik dan baik,” jawab Bie sambil terkekeh. “Tapi kadang cerewet dan menyebalkan,” sambung Hayati tak mau kalah. Nusi pun ikut tertawa. “Bie sudah makan, belum ?” tanya Nusi kemudian. “Kalau belum makan, nanti kita makan yah. Bulik mau membereskan ini dulu,” ujar Nusi sambil membereskan beberapa barang yang ada di atas tempat tidur, termasuk kotak perhiasan kaca tadi. Setelah semua dimasukkan ke dalam lemari Bie, Hayati, dan Nusi keluar dari dalam kamar kemudian menuju teras besar. Di teras berbentuk joglo terbentang sebuah meja makan persegi empat. Tidak ada kursi di sana. Orang-orang yang makan, duduk di bangku jati yang menyatu dengan dinding teras yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Setelah meja cukup sepi mereka bertiga mendekatkan diri kemudian memilih sayur dan lauk yang akan dimakan. Ada banyak pilihan lauk pauk dan sayur yang membuat Bie bingung untuk memilih. Tapi ada satu yang membuatnya menelan air liur. Ayam panggang penuh kecap seolah menggapai-gapai minta di ambil. Lauk yang jarang dimakannya walau Bestari sering terlihat memasak menu itu, hanya untuk anak-anak pamannya saja. “Bie, bisa makan sendiri?” suara Bestari tiba-tiba mengagetkannya. “Bisa, Nyaeh,” jawabnya singkat. Mereka memilih makan di sisi kiri rumah, yang artinya itu bersebelahan dengan kebun kecil kepunyaan Paimin. Di sana tumbuh beberapa pohon kelapa dan pohon salak yang sudah mulai berbuah. Angin berhembus pelan, sangat menyegarkan. Mereka makan dengan sangat lahap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD