Gadis Kecil yang Tidak Suka ke Sekolah

2110 Words
Acara pernikahan Nusi sudah selesai dan berjalan lancar, walau ada sedikit drama di dalamnya. Pada saat hari bahagia itu, Nusi malah bersedih karena kehilangan bros bunga hijau yang rencananya akan dipakai. Bagaimana tidak menjadi heboh, karena sang pengantin lah yang terakhir melihat dan menyimpan bros turun temurun milik keluarga ibunya. Nusi sangat yakin kalau bros itu sudah diletakkan kembali di kotak kaca. Hayati juga tidak merasa mengeluarkannya dari dalam lemari dan memainkannya. Alhasil, gadis manis yang perasa itu mengenakan bros lain pada hari istimewanya. Malam hari setelah semua acara sudah selesai. Nusi kerasukan. Saat itu Bie tidak mengerti apa arti kerasukan dan kenapa Bulik Hayati itu bisa kerasukan. Namun, seperti itulah yang dibicarakan orang-orang dewasa yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Orang-orang sedang membuat bubur sum-sum di dapur, saat Nusi tertawa, kemudian menangis, dan beberapa detik kemudian menari-nari, melenggak lenggokan tubuhnya dengan tatapan mata yang kosong. Tidak hanya itu saja kejadian yang membuat gempar. Setelah satu minggu penikahan Nusi sebuah kabar duka datang tiba-tiba. Ayahnya diketemukan meninggal sambil duduk di atas kursi goyang yang ada di kamar sambil memeluk bros yang hilang satu minggu lalu. Kematian Paimin yang tiba-tiba membuat warga bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi di dalam keluarga ini. Lantas mereka teringat kembali akan kematian Yamik— istri Paimin yang meninggal dengan cara yang sama. Yamik yang meninggal tahun lalu saat pernikahan Genta—kakak perempuan Nusi, di ketemukan sudah tak bernyawa sedang duduk di kursi goyang. Wanita tua baik hati itu meninggal dengan mata melotot dan mulut yang menganga, sambil memegang bros bermata hijau. Suasana duka menyelimuti kediaman Adiwilaga di malam yang gelap gulita. Hujan turun dengan sangat deras, petir terlihat menyambar-nyambar. Tidak ada banyak orang yang datang. Hanya terlihat keluarga inti saja. Bestari, Nastiti dan Bie bersiap untuk pergi ke sana. Sebenarnya gadis kecil itu menolak untuk ikut, tapi nyaehnya memaksa. “Tidak ada banyak orang yang datang." Bestari berucap lirih sambil mengintip dari balik gorden yang ada di ruang tamu. “Mungkin masih pada Tarawih, Mak,” jawab anak gadisnya sambil membenahi jilbab hitam lebar. “Bie, mau ikut?” tanya Nastiti saat melihatnya duduk di atas kursi dengan busa sofa berwarna hijau lumut. “Kalau, ndak ikut, nanti sendirian di rumah, malah takut. Mati lampu gini pun,” sambungnya lagi. “Iya ... iya, ikut,” jawabnya gadis kecil itu sambil meletakkan Snoopy, boneka putih besar berbaju biru yang sama besar dengan tubuhnya. Nastiti mengambil baju muslim bunga-bunga hitam dan kerudung renda putih dari dalam lemari, kemudian memakaikannya ke tubuh kecil Bie. “Nanti di sana main di kamar Hayati saja, jangan dekat-dekat sama Mbah Paimin,” ujar Nastiti mewanti-wanti. “Iya Bi,” Bie menjawab singkat tanpa perdebatan. Mereka bertiga masuk dari pintu dapur yang ada di depan sumur. Ada Genta sedang membuat teh dan kopi. Hayati sedang bergelendotan di punggung ibunya. Melihat Bie datang, Wastuti memintanya untuk menemani Hayati. Dua orang gadis kecil itu berjalan beriringan menuju ke kamar. Ketika sedang berjalan Bie melihat tubuh kaku Paimin yang sudah diselimuti kain batik cokelat hitam. Dan ada sosok wanita cantik yang menggunakan dodot berada tak jauh dari jenazah Paimin. Wanita itu tersenyum melihat Bie, tapi gadis kecil itu diam saja. Bie sempat berhenti beberapa detik untuk mengingat, pernah melihat wanita cantik itu di mana. Namun, cubitan kecil dari Hayati seketika membuyarkan lamunannya. Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang sempit. Tidak banyak perabot di sana seperti yang ada di kamar Nusi. Hanya sebuah dipan kayu besar, sebuah gerobok yang mulai tua dan beberapa baju yang tergantung di belakang pintu. Keadaan kamar yang sangat kontras dengan keadaan kamar anak bungsu keluarga Adiwilaga. Bie duduk di atas kasur yang agak keras. Hayati duduk di sebelahnya. Mereka terdiam bingung harus berbicara apa. Kalau bicara pun akan percuma karena suara-suara kecil itu mungkin akan tenggelam di telan suara air hujan yang turun dengan begitu deras. Hayati mendapatkan sebuah ide. Terlihat dari matanya yang seketika berbinar dan senyumnya yang mengembang. Ia mengeluarkan sebuah buku gambar besar dan sebuah kotak pensil berbahan kain dari dalam tasnya. Bie memperhatikannya sejenak, sepertinya dia akan mengajak untuk menggambar. Hayati membuat garis di tepian kiri kanan, atas bawah pada buku gambarnya. Perlahan ia mulai menggambar. Beberapa menit kemudian, jadilah sebuah gambar dengan beberapa tokoh di dalamnya. Ada mbahnya yang sedang duduk di sebuah kursi goyang, ada gambar sumur, juga sebuah bros bunga. Kini tiba giliran Bie untuk menggambar, entah mengapa tangannya bergerak untuk menggambar seorang puteri cantik. Puteri itu mengenakan kemben yang diberi warna hijau. Ia kemudian membuat sembilan kembang goyang di atas kepala gambarnya, sekali lagi mungkin ia tidak tahu itu artinya apa. Mereka tidak banyak bicara hanya tangan yang bekerja dan sesekali tersenyum ketika melihat satu persatu gambar sudah berhasil dibuat. Sentuhan terakhir adalah sebuah latar belakang berwarna merah pekat. Ya ... warna merah. Keesokan paginya, ketika langit tampak terlihat sangat biru dan indah. Tetangga terlihat datang satu persatu untuk datang melayat sambil membawa baskom berisi beras yang ditutup kain. Biasanya juga ada yang menambahi dengan uang beberapa lembar yang berada di bagian beras yang paling dalam. Di teras depan, beberapa orang bapak-bapak tampak tengah sibuk melakukan sesuatu, sedangkan ibu-ibu banyak berada di dapur. Nusi sedang menangis tersedu di sebelah jenazah bapaknya. “Sabar Si,” ucap Nastiti kepada Nusi sambil menggosok lembut punggungnya. Nusi diam tak menimpali. Ia hanya menunjukan wajah sedihnya sambil mengangguk lemah. Beberapa mata nampak mencuri pandang ke arah Nusi yang sedang menangis. Hanya ia yang menangis tiada henti dari semalam. Wastuti, dan Genta tak ada yang menampakkan raut wajah kesedihan sedikitpun. Tak lama waktu Zuhur pun tiba. Setelah selesai salat, jenazah Paimin segera di makamkan. Banyak tetangga dan sanak saudara yang ikut mengantarkan karena memang sesepuh masyarakat itu dikenal sebagai sosok yang ramah dan baik hati. ••••• Malam harinya suara lantunan Yasin terdengar syahdu. Suara cucu-cucu Paimin yang ikut berzikir juga terdengar. Usman seorang pria paruh baya berkulit legam berniat untuk datang ke acara tahlilan sahabatnya. Tiba-tiba saja menghentikan langkah ketika sedang melewati sebuah pemakaman. Terdengar suara seseorang yang meminta tolong dari dalam sebuah makam. Suara teriakan minta tolong sedikit tersamarkan dengan suara gemerisik daun yang tertiup angin. Usman mendadak takut karena dirinya tengah sendirian saja. Kalau tidak ingat budi baik Paimin yang sudah banyak berjasa di hidupnya, Usman akan berpikir dua kali untuk datang tahlilan. Mengingat jalur yang harus dilewati untuk menuju rumah Paimin sangat sulit. Suara teriakan minta tolong terdengar lagi. Usman melangkahkan kaki sedikit masuk ke arah makam. Seperti ingin mencari tahu dari mana suara teriakan berasal. Setapak demi setapak ia melangkah dengan hati-hati, takut langkahnya salah dan malah menginjak makam orang lain. Menurutnya itu sangat tidak sopan. Semakin masuk ke dalam ke area makam suara teriakan minta tolong itu semakin jelas terdengar. Tolooong ... Tolooong ... Usman tepat berada di sebuah makam baru. Makam yang dibuat tadi siang selepas zuhur. Usman terkejut dan menjadi panik. Seketika lidahnya membeku, kakinya mendadak lemas. Bahkan untuk mengucap istighfar saja tidak mampu. Ia hendak berlari sekencang mungkin menuju ke rumah Paimin, tapi sayangnya saat hendak membalikkan badan Usman melihat sosok pria tua melangkah ringan menuju ke arahnya. “Mb-Mba-Mbah Pai-Paimin,” ucap Usman terbata. “Ti-tidak mungkin, Mbah Paimin sudah meninggal dan sudah dikuburkan tadi siang,” racau Usman. Tanpa tedeng aling-aling Usman mencancang sarung yang sudah dikenakan dari rumah, agar bisa berlari dengan kencang. Sayang sandalnya tersangkut di salah satu ranting yang menjalar di atas tanah. Tak berniat mengambilnya kembali, Usman tetap melesat secepat yang ia mampu. Sampai di rumah Paimin, tahlilan sudah hampir usai. Usman nampak kehabisan napas. “Kenapa, Man?” teriak Embot—bapak Hayati. “Ndak apa-apa, Mbot. Tadi aku hanya dikejar anjing gila saja,” jawabnya berbohong. Embot mengambilkan secangkir kopi hangat dari cerek alumunium besar dan menyodorkannya ke arah Usman. “Ini minum dulu, atur napasmu itu,” ngeri aku liatnya. Ejek Embot sambil terkekeh. “Ya ... ya, ejek saja terus Mbot. Kalau kau jadi aku, kau juga pasti akan ketakutan,” sungutnya sambil meneguk kopi hangat yang disodorkan tadi. Sementara di sisi lain. Di tengah makam tua, sosok ‘yang menyerupai’ Paimin tertawa melihat korbannya tadi yang lari tunggang langgang. "Satu lagi anak manusia yang berhasil aku takut-takuti," ujar sosok itu sambil melenggang ringan dan pergi. ••••• Berulang kali Bie mondar-mandir. Dari kamar, duduk di ruang tamu, kembali ke kamar. Kemudian begitu saja sampai beberapa saat. Bestari yang memperhatikan nampak kesal. “Makan itu duduk! Ngalor-ngidul-ngalor-ngidul." Teriak Bestari sambil sedikit membelalakkan mata. “Maaf Nyaeh,” jawab Bie sambil menundukkan wajah. Ia kemudian duduk di kursi makan. Mencoba untuk tenang tapi rasa hati merasa dibohongi. Gadis itu sangat bingung dan gelisah, pasalnya beberapa hari tidak pernah lagi melihat Ruri. Seingatnya terakhir kali melihat Ruri saat Bie mengajak untuk ke rumah Hayati. Tapi yang diajak malah menolak. Di bawah kolong dipan, di dalam kamar mandi, di rumah Hayati, bahkan Bie memberanikan diri untuk ke sumur Paimin, tapi Ruri tidak diketemukan juga. Bie hampir menangis karena memikirkannya. Hari-harinya benar-benar sepi. Suatu siang, ketika sedang membaca artikel tentang salah satu artis cilik sembari tidur cantik di atas tikar pandan. Lembaran tabloid itu bergerak ditiup angin. Bie mencoba memindai semua sisi kamar, mencari dari mana angin berasal. Matanya tertuju ke arah jendela. Ia melihat sepasang manik mata yang sangat dikenal dari balik gorden tipis. Dengan sigap Bie segera bangun dan menyingkap gorden, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Srek! Srek! Srek! Terdengar suara kaitan gorden yang bergeser perlahan. Bunyi yang berulang-ulang seolah memberitahu kalau sesuatu yang sedang berada di balik sana sedang mencari perhatian. Bie terbangun dan melihat Ruri sedang bolak-balik memainkan gorden seolah memberi tanda untuk membangunkannya. “Ruri kenapa belum tidur?” tanya Bie sambil mengucek mata. Ruri tidak menjawab, ia hanya hanya tersenyum tipis seperti biasa. “Ruri kemana saja? Aku kangen.” Ruri menunjuk ke arah bawah meja persegi panjang besar yang ada di ruang tamu. Biasanya kalau sudah seperti itu, Ruri ingin bermain cari-sembunyi dengannya. “Tapi ini sudah malam, Ruri. Aku ngantuk.” Bie mencoba menolak ajakannya. Dari tatapan mata sepertinya Ruri tidak suka penolakan itu. Tampak wajah pucat dan lesunya tidak menyunggingkan senyuman sedikitpun. “Iya ... Iya kita main,” ucap Bie akhirnya mengalah. Setelahnya nampak bibir tipis Ruri merekah. Tawa nyaringnya seketika menggema memenuhi seluruh ruangan. Perlahan Bie mengambil selimut merah yang dipakai tadi. Ia membentangnya di bawah meja persegi lalu meletakkan dua bantal. Mereka tidur dengan posisi terlentang. Bie memalingkan badan ke arah kanan. Sambil sedikit tercenung ia memandangi wajah seseorang yang dipanggilnya ‘teman’ beberapa waktu ini. “Adakah hal yang kamu inginkan, Ruri?” tanya Bie tiba-tiba saja tanpa rencana. Untuk beberapa saat Ruri tidak membuka suara. Disentuhnya puncak kepala Bie lalu berkata. “Hal yang aku ingin...." “A-aku, kumohon lepaskan aku, Bie. Biarkan aku pergi." Gadis itu berkata mengiba. Ia bangun dari tidurnya sambil memandang gadis disebelahnya dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan. Ruri berjalan beberapa langkah menuju pintu depan. Bie hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat apa-apa. Selanjutnya sosok tipis Ruri seolah menghilang perlahan dalam hitungan detik. Bie terbangun ketika Bestari mengguncang bahunya. “Tidur, di bawah meja lagi?’’ Wanita tua itu bertanya dengan tatapan mata yang penuh selidik. Bie tidak menjawab pertanyaan itu. Badannya menggeliat sembari mengumpulkan nyawa. “Ayo, lekas bangun. Masa anak gadis bangunnya siang terus. Jangan lupa beberapa bulan lagi kamu masuk sekolah. Kalau selalu bangun kesiangan, nanti terlambat sekolah. Kalau terlambat nanti di setrap bapak dan ibu guru.” Terang Bestari panjang lebar. “Iya, siap Nyaeh.” Mendengar kata sekolah, gadis kecil itu menjadi bersemangat. Dengan tergesa dibereskannya selimut dan bantal bekas tidur semalam. Bie mengambil handuk kemudian masuk ke dalam kamar mandi. ••••• Bie sedang duduk di kursi rotan yang ada di teras depan bersama Hayati. Ada seorang wanita yang mengenakan gamis berwarna hijau pupus, datang dari jalan setapak yang ada di hadapan. Ia nampak menenteng sebuah kantong plastik hitam besar di tangan kanan dan kirinya. “Assalamualaikum,” ucap wanita itu sambil melepas sepatu cokelatnya. “Waalaikumsalam, Bi,” jawab Hayati dan Bie berbarengan. “Ini, apa Bi?” tanya Bie. “Yuk, buka di dalam. Ajak Hayati juga.” Nastiti berkata sambil membuka sepatunya yang nampak mulai usang. Bie dan Hayati menggotong sekantong penuh plastik hitam besar yang belum diketahui isinya. Mereka duduk di atas dipan dan mengeluarkannya perlahan. Ada beberapa potong seragam sekolah, kaos kaki, buku-buku, peralatan tulis, sampai pensil warna. Seketika mata gadis itu berbinar. Ini pertama kali ia melihat barang-barang yang nampak berkilauan. Sepertinya sekolah akan sangat mengasyikkan. Batinnya saat itu. Sebenarnya harapan untuk pergi ke sekolah adalah bertemu teman-teman baru. Bisa bermain, bisa bertemu guru yang baik, dan suatu saat nanti bisa membanggakan nyaehnya dengan prestasi yang didapat. Mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD