2

1930 Words
Robin dengan seragam Dewan Pengawas Avalon tampak sibuk membaca laporan kematian yang tersebar di atas meja. Lembaran-lembaran tersebut berisi mengenai jenis kelamin korban, luka penyebab kematian, waktu, dan tempat kejadian perkara. Sudah hampir lebih dari dua bulan kantornya mendapatkan laporan kematian mendadak. Kebanyakan manusia yang menjadi korban adalah pemuda dan gadis yang masih lajang. Mereka ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan bersimbah darah. Hal ini mengingatkan Robin pada sosok strigoi, vampir pengisap darah yang tidak memiliki kemampuan atas pengendalian diri akan dorongan meminum darah. Beberapa vampir sudah didatangkan dan mereka mengaku tidak tahu-menahu perihal serangan itu. ″Kasus itu,″ ucap Paul yang sedari tadi duduk di atas kursi kerjanya. ″Kenapa tidak meminta bantuan saja? Kudengar kau memiliki saudari yang sekolah di Akademi Polaris, minta saja bantuannya.″ Meminta bantuan Alice?  Robin bahkan tidak bisa membayangkan kehebohan Alice jika dia benar-benar meminta bantuan padanya.  ″Atau,″ lanjut Paul. ″Kita bisa meminta pertolongan dari Menteri Serafina.″ Serafina, Robin tidak terlalu menyukai perempuan itu. Setiap kali ada kesempatan berjumpa Serafina dalam rapat di Avalon, Robin tidak pernah berlama-lama di dalam ruangan yang ditempati oleh sang menteri. Dia hanya melaporkan hal-hal yang sekiranya perlu pada Serafina, dan kebanyakan Robin lebih memilih diam mendengarkan komentar Serafina perihal kasus ataupun masalah yang ada di Avalon tanpa banyak berkomentar.  ″Sepertinya besok, aku akan langsung mengunjungi Nyonya Amanda di akademi.″ Tentu saja, Robin tidak bermaksud mengunjungi Alice. Robin pergi ke akademi hanya sekedar meminta saran dari sang mentor. Pemuda itu, entah mengapa, merasa tidak nyaman jika berada di dekat Alice. Tidak seperti Simon, saudaranya itu merasa wajar berada di dekat Alice. Robin selalu merasa ingin marah jika berada di dekat Alice, terkadang dia jengkel dengan sikap Alice yang mengentengkan segala hal yang dikerjakannya. Hingga suatu malam Alice pergi keluar desa untuk mengikuti seleksi murid di Polaris. Saat itu bahkan Alice tidak bertanya pada Robin, apakah dia mengizinkan Alice ikut seleksi atau tidak. ″Kenapa?″ tanya Paul, penasaran dengan perubahan raut Robin. Sebenarnya Paul sudah lama penasaran dengan temannya. Menurut Paul secara pribadi, Robin merupakan tipikal pemuda di usia dua puluhan yang begitu rupawan. Jika rambut milik Paul cenderung berwarna merah dengan bentuk keriting yang susah sekali ditaklukkan, maka sebaliknya, Robin memiliki rambut hitam mengilap yang selalu tampak rapi meskipun sang pemilik tidak memberikan perlakuan khusus terhadap rambut-rambut tersebut. Rambut hitam pendek yang selalu membuat Paul merasa tersisihkan. Paul bersedia membayar berapa pun untuk mendapatkan mahkota kepala tersebut. Belum cukup juga rambut hitam yang membuat Paul iri setengah mati, Robin juga memiliki kedua mata berwarna biru cerah yang terlihat tajam dan dingin di saat bersamaan—pandangan yang membuat semua orang di sekitar Robin merasa kecil. Lalu bentuk hidung, dagu, dan tulang pipi yang terpahat sempurna. Paul bisa memahami sedikit perasaan teman kerjanya yang perempuan. Mungkin, itulah yang menyebabkan ruang kerja mereka selalu didatangi kaum Hawa yang menebarkan aroma menyengat untuk menarik hati lawan jenis. Sayang, tak seorang pun dari mereka berhasil menarik perhatian Robin. Seolah hati Robin terbuat dari besi yang tak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Robin memberikan tatapan dingin kepada Paul yang membuatnya diam tak berkutik. ″Sejak kapan sahabatku begitu peduli?″ ″Bukan begitu,″ kilah Paul berusaha menutupi kepanikannya. ″Hanya saja, jarang sekali kau bersedia berbicara dengan seseorang, apalagi dia seorang perempuan. Apa dia cantik?″ ″Nyonya Amanda merupakan wanita cantik di awal usia enam puluhan,″ jawab Robin dengan nada dingin. Pada saat itu juga kedua bahu Paul langsung merosot. Kemudian Paul mulai meneruskan pekerjaanya yang sempat terbengkalai. Hari ini Paul menyadari satu hal: tidak seorang pun bisa memahami jalan pikiran seorang Robin. *** Setelah mengumpulkan tugas menyalin yang diminta Cleo, akhirnya Alice bisa sedikit merasa lega. Kini dia berjalan di sepanjang Koridor Tata Magyk dengan mengenakan seragam. Kemeja putih dengan korset ungu pucat dan rok hitam. Ada tambahan mantel pendek berwarna violet, sedangkan pada bagian belakang mantel terdapat simbol akademi berupa sayap putih. Masing-masing murid menerima sebuah bros yang membedakan asal mereka; merah untuk mereka yang berasal dari keluarga ahli sihir besar (mencakup wizard, penyihir, warlock, magi, sorcerer, dan lain-lain), dan biru bagi mereka yang masuk melalui jalur ujian. Pagi ini, Alice sedikit merasa gundah membayangkan ujian yang secara keseluruhan berbentuk esai. Beberapa kali Alice menyentuh bros biru di dadanya, seolah dengan begitu perasaannya akan membaik. Alice tidak menyukai ujian yang menuntutnya menjawab seluruh pertanyaan sesuai dengan pedoman buku. Biasanya, jika Alice sudah dalam keadaan terdesak, dia memutuskan untuk mengarang bebas (tentu saja hal ini membuatnya jadi sering dipanggil di Kantor Kepala Akademi). Menengok ke seberang—tepat di depan Buletin Sekolah—tampak Rosalina dan anggota gengnya tertawa cekikikan menyaksikan ilustrasi bergerak sosok Alice yang tengah meledakkan Ruang Uji Magyk. Alice bersumpah akan meledakkan klub koran yang selalu memublikasikan keburukan Alice.  Berbicara mengenai akademi, bagi para murid yang kedapatan memiliki kemampuan istimewa saat proses seleksi, maka mereka akan mendapat perlakuan khusus—kerajaan dengan sukarela membiayai mereka hingga lulus. Tentu saja kerajaan tidak menjamin biaya tambahan di luar kebutuhan sekolah.  Beruntung karena Alice bisa belajar di Kampus Akademi Polaris. Akademi ini memiliki beberapa fasilitas seperti kolam indah untuk refresing; di sana terkadang beberapa bebek liar menyempatkan diri untuk sekedar berenang atau mengganggu para murid yang kedapatan tengah menikmati makan siang mereka, perpustakaan yang terjamin kelengkapannya, bahkan katalog buku yang ada di sana bisa menyamai katalog yang ada di Perpustakaan Utama Avalon, sejumlah taman, ruang uji magyk (yang beberapa di antaranya telah dihancurkan para murid tidak bertanggung jawab), beberapa ruang khusus untuk kegiatan siswa semisal klub buletin yang gemar memberitakan aktivitas Alice yang kebetulan tidak jauh dari hal-hal yang berbau pengerusakan. Dan begitulah, semenjak itu Alice menyatakan perang dengan klub buletin. Terkadang Alice berpikir untuk melenyapkan keberadaan klub buletin dan menjaga kedamaian akademi dengan cara berhenti berlangganan koran sekolah.   Sebuah tepukan halus mengalihkan perhatian Alice.  Tepat di belakang Alice, Jeanne, sahabat terbaiknya telah berdiri. Jeanne tampak memukau dalam seragam ungu, kedua kepangan rambutnya dihias dengan pita berwarna merah.  ″Jangan dipikirkan,″ hibur Jeanne. ″Bukankah kau sudah biasa diperlakukan demikian olehnya?″ ″Hei!″ pekik Alice. ″Apa maksudnya dengan aku yang sudah biasa diperlakukan yang sedemikian? Ini menyebalkan, mengapa klub buletin hanya memberitakan kegagalanku? Padahal aku juga pernah berhasil dalam beberapa tugas. Dan yang lebih penting di sini: harusnya kau menghiburku, menyemangatiku, dan memberikan kata-kata yang bisa menenangkanku.″ ″Sudahlah,″ ucap Jeanne sembari mengibas-ibaskan tangan. ″Kita harus bersiap untuk uji ketangkasan besok.″ Alice hanya mendengus menyaksikan Rosalina yang masih dengan percaya dirinya menirukan raut wajah Tuan Ru. ″Bolehkah kubakar rambutnya?″ ″Jangan,″ larang Jeanne. ″Dan lupakan soal cara membalas dendam.″ ″Kalau begitu, bolehkah kumasukkan beberapa ekor katak ke dalam sepatunya?″ tanya Alice sembari memain-mainkan ujung rambut. ″Atau kumasukkan cacing merah ke dalam makanannya saja?″ Jeanne mendesah berat mendengar ide gila sahabatnya. ″Tidak dan Jangan. Jika kau melakukannya, Kepala Akademi akan memulangkanmu.″ Menyerah.  Alice akhirnya mengikuti sahabatnya, meskipun setan kecil di dalam hati berkata untuk melakukan serangkaian keusilan yang pastinya akan mendatangkan masalah. *** ″Seorang pangeran tidak boleh bergaul dengan sembarang orang!″ Entah sudah ke berapa kalinya si tua Hugo memberikan pengarahan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang pangeran. Sementara Jules—yang tidak lain merupakan pangeran kerajaan Avalon—terlihat tersiksa duduk di atas kursi emasnya.  ″Dia hanya seorang pelukis jalanan,″ bela Jules. ″Apa salahnya berkenalan dengan orang yang berbeda latar belakang dari kita? Lagi pula, aku bosan bertemu dengan orang yang sama. Aku butuh perubahan.″ ″Pangeran,″ desak Hugo. Cemas, seakan Jules akan melakukan tindak kejahatan yang akan mencoreng Avalon. ″Hal itu tidak berlaku pada Anda yang seorang pangeran. Ada banyak manusia berpikiran busuk yang ingin melukai Anda sekeluarga. Dan kumohon, jangan bersikap acuh tak acuh mengenai keselamatan Anda. Lihatlah Pangeran Immanuel.″ Hugo menunjuk potret lukisan seorang pemuda berambut pirang keemasan yang tengah menampilkan senyum sempurna seorang pangeran. ″Beliau memiliki karakteristik sempurna seorang pangeran.″ Selalu saja yang dibicarakan Hugo kepada Jules hanyalah mengenai kehebatan kakaknya. Memang Immanuel memiliki rambut pirang keemasan ibunya, sementara Jules memiliki rambut cokelat gelap yang didapat dari sang ayah. Jika kakaknya memiliki warna mata hijau yang begitu memikat, kedua manik mata Jules berwarna sebiru samudra. Ibunya sering berkata bahwa Jules memiliki hati dan kebijaksanaan sang ayah. Jules sendiri bingung, bagian dari mananya yang mirip dengan sang ayah? ″Ehem,″ deham Hugo untuk menarik perhatian Jules. ″Jadi, kumohon untuk sekian kalinya agar Pangeran lebih memperhatikan keselamatan Anda.″  ″Sudah kubilang,″ keluh Jules, ″aku sangat memerhatikan keselamatanku. Puas?″ Setelah berkata demikian, Jules bangkit dari kursi pesakitan dan berjalan menuju ke mana pun asalkan di sana tidak ada Hugo serta segala petuah mengenai istana dan kerajaan.  Jules berjalan melewati koridor yang dihias dengan lukisan keluarga. Ada potret orangtuanya, dirinya ketika bayi, kakek dan neneknya, saudarinya yang bernama Sarah, dan tentu saja para pendahulu yang tidak pernah dijumpai Jules. Istana megah yang di dalamnya dipenuhi dengan hiasan itu tidak membuat Jules bahagia. Selalu saja, ada ruang kosong di hati yang mendamba akan kebebasan di luar istana. Tentang bagaimana embusan angin di luar terasa menyejukkan raganya yang kerontang. Lalu, warna-warni alam yang tak akan pernah membuat Jules bosan. Jalan yang dipilih Jules membawanya ke taman istana dalam. Tepat di sana, sang ibu tengah menebarkan biji-bijian yang segera saja dipatuk oleh burung-burung mungil berbagai warna. Sang ibu tampak menawan dalam balutan gaun satin berwarna hijau. Rambut pirangnya disanggul, sementara mahkota ratu yang terbuat dari emas dengan batu mulia tampak bertengger di atas kepala. Tak jauh dari tempatnya berdiri, beberapa pelayan dan pengawal tampak berjaga. Jules segera berjalan menuju ibunya dan menyapa, ″Ibunda, kumohon jauhkan aku dari Hugo. Dia semakin menjengkelkan.″ Melihat garis perengutan di dahi putranya, sang ratu hanya tersenyum. ″Bersabarlah. Hugo hanya cemas jika ada hal buruk yang menimpamu.″ ″Menurutku, dia hanya cemas dengan orang yang ada di sekitarku. Aku penasaran, bagaimana cara Kakak mengelak dari pantauan Hugo? Mungkin aku harus belajar darinya.″ ″Memang,″ ucap sang ibu sembari mengelus pelan pipi putranya. ″Jadi, kali ini apa yang membuat seorang Hugo merasa cemas?″ Dipegangnya tangan sang ibu, kemudian Jules mulai mengutarakan hal yang telah lama ia pendam. ″Ibunda, apakah aku tidak boleh berkawan dengan rakyat biasa?″ ″Kenapa?″  ″Aku hanya merasa statusku ini membuatku dijauhi,″ jawab Jules. Mendengar itu, sang ibu tak kuasa untuk berkata bahwa apa yang selama ini dipikirkan oleh Jules tidaklah benar. ″Sayang, kau tahu itu tidaklah benar. Ada banyak orang di luar sana yang bersedia berteman denganmu, kau hanya perlu mencoba. Lagi pula, bukankah kau mempunyai satu yang seperti itu?″ Jules teringat pada sahabatnya. Robin, pemuda itu bersedia berkawan dengannya tanpa pernah menyebut-nyebut status pangerannya. Berbeda dari kebanyakan orang yang langsung merendahkan diri di hadapan Jules, Robin memilih bersikap wajar dan tampak santai di depan Jules. Akhirnya, Jules sadar bahwa dia memiliki seorang sahabat yang bisa diandalkan. ″Ibunda,″ ucap Jules sambil mengecup kedua pipi ibunya. ″Aku tahu kau memang selalu bisa diandalkan.″   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD