MENGEJUTKAN

1217 Words
*MENGEJUTKAN* Setelah menikmati sepanjang jalan sepulang dari sekolah, akhirnya Savierra sampai di rumahnya. Tapi ia mendapati rumahnya yang kosong. *Savierra POV* "Loh, kok sepi? Gak ada orang tapi pintu nya nggak dikunci." Aku mendapati pintu rumah tidak dikunci. Lalu melihat sandal adikku yang pertama yaitu Angga. Tanpa pikir panjang aku langsung mencari keberadaan Angga. "Dek Angga! Ayah sama bunda kemana?! Kemana sih si Angga," Aku mencoba memanggil adikku, tapi aku masih tidak menemukan keberadaannya. "Bentar, Kak, gak denger lagi di kamar mandi." Adikku yang ada di lantai dua ternyata ada di kamar mandi. Ah, pantas saja tidak mendengar suaraku tadi. Tampak dari kejauhan Zahira datang. Zahira adalah adik kedua ku. Mungkin ia dari rumah tetangga untuk bermain. "Assalamualaikum." Ucap Zahira. "Waalaikumussalam. Dek, bunda mana?" Aku langsung menanyakan keberadaan ayah dan bundaku pada Zahira. "Bunda lagi ke pasar sama ayah. Biasa lah belanja." "Pantesan dicariin gak ada. Udah lama, Dek?" Tanyaku lagi. "Lumayan, Kak. Bentar lagi juga pulang. Udah ya, mau ke Kak Angga dulu." Kata adikku. "Dasar bocah, main mulu kerjaannya.” Gerutuku. Tak lama kemudian ayah dan bunda ku datang. Memang benar kata Zahira, mereka berdua dari pasar untuk belanja. "Savierra udah dateng, Bun." Kata ayahku. "Iya, Yah." Sahut bunda ketika berjalan mendekatiku sambil membawa belanjaan. "Assalamualaikum." Ayah dan bundaku mengucap salam saat masuk rumah. "Waalaikumussalam, dari pasar ya, Bun? Banyak banget belanjaannya." "Iya nih, mumpung ayah libur, sekalian lah. Oh iya, gimana, Sav, hasilnya?" Bunda langsung menanyakan hasil UNBK ku. Inilah saat yang aku nantikan sejak pagi tadi. "Alhamdulillah, Yah, Bun. Nilai UNBK Savierra lumayan. Kayak nya bisa masuk SMA negri, Bun. Insya Allah." Lantas aku memberitahu mereka tentang nilaku. "Em, Alhamdulillah ya, Sav. Ayah ikut senang. Oh iya, Bun, ayah mau bicara sebentar di dalem. Ayah tunggu di kamar ya, Bun." Kata ayahku. "Oh, iya, Yah. Em, Savierra, ini tolong dibawa ke dapur ya. Bunda mau ke kamar dulu." Kata bunda ku. Lalu bunda pergi meninggalkan ku dan berjalan menuju kamarnya. Aku hanya mengangguki perintah bunda. "Bicara apaan sih? Sampe aku gak boleh denger segala." Aku menggerutu dalam hati. Lalu ku ambil belanjaan milik bunda dan langsung ku bawa ke dapur. "Ayah sama bunda ngomongin apaan ya? Serius banget kayanya." Gumamku sambil berjalan menuju kamar. *Author POV* Suasana dikamar itu seperti nampak hening. "Mau bicara apa, Yah? Kok kayaknya penting gitu." Kata bunda yang memulai pembicaraan setelah hening beberapa saat. "Bun, Savierra sekarang sudah besar. Ayah jadi khawatir sama masa remajanya." Lalu ayah menimpali. "Loh, khawatir kenapa, Yah? Savierra anak baik-baik kok. Bunda yakin dia pasti bisa jaga masa remajanya." Bunda mencoba meyakinkan. "Iya ayah ngerti. Tapi, Bun, remaja zaman sekarang kan nggak seperti dulu. Banyak yang melakukan hal-hal yang menyimpang syari'at agama. Ayah khawatir Savierra akan terpengaruh sama teman-temannya nanti." "Iya sih, Yah, bunda juga khawatir akan hal itu. Terus ayah punya rencana apa buat Savierra?" Tanya bunda. "Gimana kalo kita masukkin Savierra ke pondok pesantren? Disana dia bisa lebih memperdalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Akhlak karimahnya juga akan terjaga Bun. Gimana? Bunda setuju?" Ayah mencoba mengutarakan niatnya. "Kalo bunda sih setuju-setuju aja, Yah. Tapi kita mau masukkin Savierra di ponpes mana?" Tanya bunda. "Setahu ayah, Ponpes Alfithrah juga ada yang di Indramayu. Kita masukkin disana aja, Bun." "Indramayu? Jauh banget, Yah. Kita bakal nggak ketemu Savierra lama loh. Yang lebih dekat emang nggak ada, Yah? Jangan jauh-jauh lah." Sepertinya bunda tidak ingin berpisah jauh-jauh dari Savierra. Mungkin ia merasa tidak tega jika putri sulungnya akan berpisah dengan dirinya. "Bunda tenang aja. Kyai disana kan sahabat ayah. Ayah akan nitipin Savierra ke dia. Bunda gak usah risau lah. Semakin jauh dia dari kita, semakin terlatih juga Savierra untuk hidup mandiri. Toh disana juga ada yang jaga kan?" Ayah mencoba menyakinkan. "Iya udah bunda ngikut ayah aja. Kalau memang itu yang terbaik buat Savierra, bunda setuju-setuju aja." Kata bunda. "Iya sudah, nanti waktu makan malam kita bicarakan sama Savierra di meja makan." Kata ayah. "Iya, Yah." Sahut bunda. “Kita harus latih Savierra supaya bisa mandiri, Bun. Ayah ingin memasukkan Savierra ke pondok pesantren juga karena ayah ingin, ada salah satu anak kita yang menjadi investasi kita di akhirat nanti. Dan setelah ayah pikir-pikir lebih jauh, Savierra yang lebih punya potensi dibandingkan Angga sama Zahira. Menurut bunda gimana?” “Selama itu baik untuk Savierra dan kita semua, bunda setuju aja, Yah. Bunda juga mau punya anak yang bisa jadi investasi kita buat di akhirat. Bunda tau, Yah, seorang santri itu punya banyak keutamaan. Bunda juga pengen, Savierra tumbuh jadi gadis yang shalihah.” “Maka dari itu, Bun. In Syaa Allah, keputusan ini yang paling tepat.” “Iya, Yah.” Di teras rumah "Dek, kamu sekarang udah kelas 5 nih." Savierra berbicara dengan adiknya yaitu Angga. "Emang iya. Kenapa?" Kata Angga yang sedikit cuek karena sedang memainkan game. "Cuek banget dah. Ngegame mulu kamu. Udah kelas 5 juga." Savierra agak sedikit kesal. "Iya iya kenapa sih, Kak? Udah nggak cuek kan? hehe." Angga merajuk kakaknya karena sempat kesal. "Serah. Kamu nggak ada niatan mondok kalo udah lulus SD? Kita 3 bersaudara cuman kamu loh yang laki-laki." Kata Savierra. "Emang harus laki-laki? Paling juga kakak yang disuruh mondok. Hahahahaha." Dek Angga mengejek kakaknya itu. Savierra jadi tambah kesal sekarang. "Apaan sih enggak lah! Aku nggak bakal mondok. Lagian biasanya kan anak laki-laki yang ditaruh di pondok sama orang tuanya." Kata Savierra. "Liat aja nanti siapa yang mondok, hahahah. Udah, Kak. aku mau mandi. Udah sore. Ntar keburu malem lagi." Ucap Angga seraya masuk ke dalam dan mandi. "Aku mondok?? Semoga enggak deh." Gumam Savierra dalam hati. Matahari mulai menerbenamkan anggota badannya, sinarnya mulai meredup dan berganti dengan cahaya bulan. Suasana hening di meja makan. Karena ayah tidak suka ada yang berbicara ketika sedang makan. Seusai makan malam, ayah dan bunda membicarakan perihal pendidikan Savierra. "Yah, bun. Savierra udahan makan nya. Mau ke atas duluan ya." Sebenarnya Savierra ingin langsung ke kamarnya. Tapi ayah mengajaknya bicara dulu. "Tunggu dulu, Sav, ayah sama bunda mau bicara tentang pendidikan kamu setelah ini." Kata ayah. "Pendidikan setelah ini? Kenapa, Yah?" Savierra yang kebingungan menanyakan hal apa yang akan dibicarakan. "Gini, jadi ayah sama bunda berniat mau memasukkan kamu ke pondok pesantren yang ada di Indramayu. Ponpes Alfithrah, kamu ngerti kan? Sekitar 2 minggu lagi kami bisa daftarkan kamu disana." Ayah mengutarakan niatnya pada Savierra. Mendengarkan hal itu, Savierra sontak terkejut. Ia benar-benar akan tinggal di pondok pesantren. "Mondok? Indramayu? Jauh banget, Yah. Savierra bakal nggak ketemu kalian lama, nggak ketemu Syila lama juga. Kenapa harus mondok sih, Yah? Savierra kan pernah bilang sama ayah sama bunda kalo Savierra pengen lanjut di SMA." Savierra mencoba menahan air matanya. Walau sebenarnya ayah dan bundanya tahu bahwa ia sedang menahan tangis. "Kami lakukan ini demi kebaikanmu, sayang. Kamu tahu kan anak zaman sekarang? Udah pada nggak bener. Ayah sama bunda takut kamu terpengaruh nantinya. Kami harap kamu mengerti ya." Bunda mencoba menjelaskan. “Sav, ini semua dilakukan bukan tanpa sebab. Kamu itu anaknya lugu, polos. Ayah sama bunda takut kamu terpengaruh sama pergaulan di luar yang kurang bener. Udah banyak contohnya, Sav, pergaulan yang seperti itu. Ayah harap kamu faham ya.” Sahut Ayah Raihan. "Iya. Ya udah Savierra mau ke atas dulu." Savierra mencoba meresapi semuanya. Lalu pergi ke kamarnya. Dikamar yang bernuansa biru itu, Savierra merebahkan badannya dengan lemas. Tak henti-hentinya dia menangis. _“Ya Allah aku harus apa? Aku nggak akan sanggup jika harus jauh dari ayah, bunda, Dek Angga, dan Dek Zahira. Aku jugaa nggak akan sanggup jauh dari Syila. Tapi gimaanapun juga, aku nggak bisa menentang kemauan orang tuaku meskipun aku tahu semuanya demi kebaikanku juga. Allah, apa memang harus seperti ini? Entahlah.”_ Savierra menangis, hingga matanya sembab. Tak sadar ia pun tertidur sampai pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD