bc

Lagi! Jangan Berhenti, Om!

book_age18+
10
FOLLOW
1K
READ
forbidden
one-night stand
family
HE
love after marriage
age gap
friends to lovers
kickass heroine
boss
heir/heiress
blue collar
drama
sweet
bxg
lighthearted
kicking
bold
brilliant
loser
city
office/work place
childhood crush
love at the first sight
friends with benefits
addiction
like
intro-logo
Blurb

"Ahhh ... Lagi! Jangan berhenti, Om!"

​Suara Seraphina Azkadina Dirgantara pecah di antara napas yang memburu, tenggelam dalam d******i pria yang seharusnya ia panggil 'Paman'. Di bawah kungkungan tubuh kekar itu, tidak ada lagi ruang untuk harga diri—hanya ada gairah yang menuntut untuk dituntaskan.

​"Kamu yang meminta ini, Sera. Aku tidak akan berhenti ... ssshhh ... rasakan ini ... hhh ... rasakan bagaimana aku menghancurkanmu ... hmmm ... ssshhh ...." Alaric mengerang, sebuah suara yang sangat dalam dan parau, keluar dari tenggorokan yang kering karena dahaga gairah.

​Alaric tidak mengenal kata "tidak". Sebagai penguasa bisnis yang dingin, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Ketika ia menginginkan Sera, ia tidak peduli pada batasan umur, norma sosial, atau pengkhianatan terhadap persahabatan dua puluh tahun dengan ayah Sera. Ia menjebak gadis itu dalam hubungan gelap yang panas, liar, dan penuh risiko di setiap sudut ruang yang mereka temui.

​Namun, Sera bukan lagi gadis kecil yang lugu. Di balik rintihan pasrahnya, ia diam-diam belajar cara menjinakkan sang predator. Dengan rencana rahasia untuk hamil, Sera membalikkan keadaan. Ia mengubah rantai nafsu menjadi jerat abadi.

​Kini, sang CEO yang tak tersentuh itu benar-benar berlutut di kakinya, memohon ampunan sekaligus haus akan sentuhannya yang memabukkan.

​Sebuah kisah tentang obsesi yang melampaui logika, pengkhianatan yang berdarah, dan pengabdian abadi yang lahir dari dosa yang paling manis.

chap-preview
Free preview
Dinding Kaca Sang Pengusaha.
​Lantai empat puluh lima Valerius Group bukan sekadar kantor; itu adalah singgasana dari kaca dan baja. Di balik dinding transparan yang menjulang setinggi empat meter, Jakarta terbentang seperti hamparan semut yang tak berarti. Bagi Alaric Valerius, pemandangan ini adalah candu. Ia menyukai ketinggian karena di sana, oksigen terasa lebih tipis, suara bising kota tidak terdengar, dan yang paling penting: tidak ada yang bisa menyentuhnya. ​Alaric berdiri mematung di tengah ruangan yang luasnya hampir menyamai rumah tipe mewah. Setelan jas custom-made dari wol Italia berwarna abu-abu arang membungkus tubuhnya yang tegap dengan presisi militer. Bahunya yang lebar, hasil dari disiplin olahraga berat setiap subuh, menciptakan siluet yang mengintimidasi siapa pun yang berani masuk. Ia menggenggam gelas kristal berisi whiskey tua. Es batu di dalamnya berdenting pelan, satu-satunya suara yang memecah keheningan yang menyesakkan. ​Pikiran Alaric kembali pada Bianca. Nama itu seperti hantu yang menolak pergi. Mantan istrinya itu adalah alasan mengapa Alaric membangun dinding es setebal ini. Sepuluh tahun lalu, Bianca tidak hanya menghancurkan hatinya dengan perselingkuhan yang memuakkan, tapi juga menghancurkan sisa-sisa kepercayaan Alaric pada kemanusiaan. Sejak saat itu, Alaric memutuskan bahwa wanita hanyalah variabel pengganggu dalam persamaan hidupnya. Jika ia membutuhkan pelepasan biologis, ia akan membelinya—tanpa perasaan, tanpa ikatan, tanpa drama. ​"Satu dekade, dan kamu masih saja menjadi pengecut yang bersembunyi di balik gedung tinggi, Alaric," bisiknya pada bayangannya sendiri di kaca. ​Alaric menyesap whiskey-nya. Rasa smoky dan sensasi terbakar yang menjalar di kerongkongannya adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Ia adalah pria yang mencintai kendali. Setiap kontrak yang ia tanda tangani, setiap perusahaan yang ia akuisisi, adalah cara bagi Alaric untuk membuktikan bahwa dunia berada di bawah telapak kakinya. '​Tok, tok, tok.' ​Ketukan itu tidak sabaran. Alaric tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum floral yang terlalu menyengat—perpaduan melati dan mawar yang sangat manis hingga membuatnya mual—sudah lebih dulu menyelinap masuk melalui celah pintu. ​"Masuk," perintah Alaric. Suaranya berat, dalam, dan tidak memiliki nada sambutan sedikit pun. ​Pintu jati besar itu terbuka. Saskia melangkah masuk dengan gaya seorang model catwalk. Dia adalah janda dari salah satu mitra bisnis Alaric yang baru saja meninggal setahun lalu. Saskia cantik, tentu saja. Kulitnya putih pucat dengan riasan wajah yang sempurna. Gaun merah sutranya begitu ketat hingga setiap kali dia melangkah, kain itu seolah berbisik tentang lekukan tubuh yang sengaja dipamerkan. ​"Alaric, Sayang ... kamu masih di sini? Ini sudah lewat jam tujuh malam," Saskia bicara dengan nada yang diseret, manja dan penuh godaan. ​Alaric berbalik perlahan. Matanya yang berwarna gelap, setajam mata elang yang sedang mengincar mangsa, menatap Saskia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak ada binar kagum. Yang ada hanya tatapan penilaian yang dingin, seolah ia sedang memeriksa laporan keuangan yang membosankan. ​"Aku punya perusahaan untuk dijalankan, Saskia. Tidak semua orang memiliki kemewahan untuk menghabiskan waktu dengan tidak melakukan apa-apa seperti dirimu," balas Alaric tanpa ekspresi. ​Saskia tidak menyerah. Dia mendekat, mengabaikan aura dingin yang memancar dari tubuh Alaric. Dia berhenti tepat di depan Alaric, cukup dekat sehingga ujung sepatunya hampir bersentuhan dengan sepatu kulit handmade milik Alaric. Saskia mendongak, jemarinya yang berkuku merah merambat perlahan ke d**a bidang Alaric, mencoba merasakan detak jantung di balik kemeja putih mahal itu. ​"Kamu terlalu tegang, Alaric. Kamu butuh seseorang untuk membantumu ... rileks," Saskia berbisik, suaranya sengaja dibuat serak. Ia memajukan tubuhnya, membiarkan dadanya yang terekspos oleh potongan kerah rendah menyentuh lengan Alaric. "Aku tahu tempat baru di Senopati. Atau, jika kamu mau, aku bisa memesankan catering dan kita bisa makan di penthouse-mu. Hanya kita berdua." ​Alaric menatap tangan Saskia yang bergerak di dadanya. Ia tidak merasa b*******h. Ia justru merasa jijik. Baginya, setiap gerak-gerik Saskia terasa seperti transaksi yang murah. Ia tahu apa yang wanita ini inginkan: kekuasaan Valerius Group dan posisi di sampingnya. ​Dengan gerakan yang sangat tenang namun penuh otoritas, Alaric mencengkeram pergelangan tangan Saskia. Kekuatan tangannya membuat Saskia sedikit meringis. Alaric menjauhkan tangan wanita itu dari tubuhnya seolah-olah tangan itu adalah kotoran yang menempel di jasnya. ​"Saskia, dengarkan aku baik-baik," Alaric memajukan wajahnya, memberikan tekanan psikologis yang membuat Saskia terpojok. "Kamu di sini karena mendiang suamimu memiliki saham minoritas di proyekku yang sekarang. Hanya itu. Jangan pernah berpikir bahwa kau memiliki hak untuk menyentuhku atau mengatur jadwalku." ​"Tapi Alaric, aku hanya ingin—" ​"Kamu ingin tempat di ranjangku?" potong Alaric dengan senyum sinis yang tidak sampai ke mata. "Aku bisa mendapatkan seribu wanita sepertimu hanya dengan menjentikkan jari. Dan mereka tidak akan seberisik dirimu. Jika kamu ingin tetap menjadi bagian dari proyek ini, pulanglah. Pakai gaun yang lebih sopan, dan temui asistenku besok pagi jam delapan." ​Wajah Saskia memucat, lalu berubah menjadi merah padam karena malu. Penolakan Alaric begitu jujur dan kasar, menghancurkan harga dirinya sebagai sosialita yang paling dikejar di Jakarta. ​"Kamu pria yang tidak punya hati, Alaric!" teriak Saskia, suaranya pecah. "Kamu akan mati sendirian di gedung tinggi ini!" ​"Setidaknya aku mati dalam kekayaan dan ketenangan, tanpa perlu mendengar ocehanmu," sahut Alaric dingin sambil kembali berjalan ke arah meja kerjanya. ​Saskia menyambar tas tangannya dan keluar dari ruangan dengan hentakan kaki yang mengguncang keheningan lantai lima puluh lima. Pintu tertutup dengan dentuman keras. ​Alaric kembali duduk di kursi kulitnya yang besar. Ia mengambil sebatang cerutu, memotong ujungnya dengan rapi, dan membakarnya. Asap abu-abu mulai menari-nari di udara. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa penat yang mulai menyerang sarafnya. ​Di kepalanya, ia membayangkan kehidupan yang ideal: sunyi, terkendali, dan tanpa wanita. Ia merasa sudah memenangkan segalanya. Ia merasa temboknya sudah tidak bisa ditembus. ​Namun, di tengah keheningan itu, ponsel pribadinya bergetar di atas meja jati. Hanya ada segelintir orang yang memiliki nomor ini. Alaric melirik layar. ​Bramantyo Dirgantara Calling ... ​Alaric mengernyit. Bramantyo adalah satu-satunya sahabat yang ia miliki selama dua puluh tahun terakhir. Pria yang tahu semua rahasianya, pria yang membantunya bangkit saat Bianca menghancurkannya. Namun, Alaric tidak tahu bahwa panggilan telepon ini adalah awal dari keruntuhan seluruh prinsip hidupnya. ​Ia tidak tahu bahwa malam ini, badai besar sedang bersiap menerjang Jakarta, membawa serta demam yang akan membakar kewarasannya, dan seorang gadis yang akan membuatnya berlutut memohon ampunan. ​Alaric menggeser tombol hijau. "Ya, Bram? Ada apa menelepon jam begini?" ​Suara di seberang sana terdengar cemas, dan itu membuat Alaric mendadak waspada. Sesuatu yang besar akan segera terjadi, dan Alaric Valerius tidak akan pernah siap menghadapinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
315.0K
bc

Too Late for Regret

read
319.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
145.1K
bc

The Lost Pack

read
438.5K
bc

Revenge, served in a black dress

read
153.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook