Dia sudah menikah?
Gia tergugu, bisu di tempatnya berdiri. Baru sekitar dua bulan sejak surga semalamnya bersama Gazain. Entah Gia ditipu atau ... bagaimana? Gazain sudah menikah sebelum malam itu atau baru setelahnya? Jika Gazain memang sudah menikah, mengapa dia harus mengeluarkan seratus juta dan repot-repot menikahi Gia hanya untuk satu malam saja? Gia jelas mengingat, Gazain tidak mempertanyakan tentang perawan sama sekali malam itu, jika sekedar kenikmatan selaput dara yang dikejarnya. Lalu, apa?
“Nona?” panggil suara lembut perempuan cantik di depannya.
Gia mengerjap, “Ya?”
Seulas senyum tergambar di bibirnya, “Ini benar rumah Gazain. Apa keperluanmu?”
Gia menunduk, malu. Ia tak punya alasan lain untuk datang selain menagih janji Gazain malam itu. Gazain akan bertanggung jawab penuh atas dirinya dan calon bayi mereka, tapi ... bagaimana? Sementara kini ada istri lain yang Gazain miliki. Haruskah ia jadi pelakor? Perusak rumah tangga orang?! Tapi, status Gia memang istri Gazain juga. Setidaknya begitu dalam pandangan agama.
“Sepertinya kamu datang dari jauh,” kata pemilik rumah setelah melihat koper yang ikut bersama Gia. “Masuklah dulu.”
“Oh, tidak perlu.” Panik Gia. Ibunya dulu adalah perempuan kedua pula, sampai-sampai sang ayah akhirnya dicoret dari ahli waris keluarga. Gia tak mau sampai dirinya punya garis yang sama.
Perempuan itu menatapnya heran, “Kamu teman suamiku?”
Gia tak kenal Gazain, tapi tubuh mereka sudah saling bersapa satu sama lain. Bahkan, berbenih calon manusia di rahimnya. “Kira-kira kapan dia akan kembali?”
“Biasanya sore. Kamu tidak punya nomor ponselnya?”
Gia punya, di kartu alamat tertera. Hanya saja ia khawatir lelaki itu pasti berpikir Gia ingin memeras saja jika menghubungi lewat panggilan semata. Bisa jadi Gazain akan membawanya periksa lebih dulu sebelum membentangkan tanggung jawabnya atas Gia dan calon bayi mereka.
“Kamu terlihat bingung,” sapanya lagi. “Atau, kuminta saja suamiku pulang dan tunggulah sebentar di dalam. Siapa namamu?”
Gia meremang. Jika masuk, maka sudah pasti ia akan membuat kekacauan. Namun, harus ke mana lagi dirinya jika bukan di tempat ini?
Perempuan itu membuka lebar pintu rumahnya, “Aku Medina.”
Gia akhirnya dengan berat hati melangkah masuk, “Namaku Gia. Maaf mengganggu waktumu.”
“Tak apa. Sudah lumayan lama kami tidak kedatangan tamu.” Medina tersenyum lagi, “Sesungguhnya ketika singgah tamu pada suatu kaum, maka singgah pula bersama tamu itu rezeki. Dan ketika pergi tamu, maka ia pergi dengan membawa dosa-dosa penghuni rumah yang ditinggalkan. Bukan maksudnya kamu akan membawa pulang dosa kami, tapi ... sepertinya aku terlalu banyak bicara. Duduklah, aku ambilkan minum dan cemilan sebentar," ujar Medina cepat-cepat berlalu.
Selagi Medina masuk rumah, Gia mendaratkan diri di sofa. Sesaat diedarkannya pandangan ke sekeliling ruang tamu itu, tak ada potret pernikahan sama sekali di dinding, pajangan-pajangan pun tak ada.
“Silakan,” kata Medina menyajikan secangkir teh dan kue kering.
“T---terima kasih,” ucap Gia sungkan.
Gia sebenarnya heran mengapa sikap istri Gazain itu baik sekali kepadanya. Padahal ia jelas orang asing yang baru pertama kali saling bertemu. Gia masih menjaga jarak meski mereka bertukar informasi tentang pulau yang sebelumnya Gia singgahi. Namun, Gia menutup rapat mulut saat ditanya tentang dirinya dan Gazain. Sedapatnya Gia bertahan sampai bertemu mata dulu ia dengan lelaki yang telah menghamilinya itu.
Medina menunggu, sebagaimana Gia menunggu kedatangan Gazain. Mereka sudah kehabisan bahan obrolan, tapi Gia tidak mau menjawab tanya penting yang Medina ingin ketahui sama sekali. Mungkin saja Gia adalah calon pembantu di rumah mereka?
Hanya itu gambaran yang Medina punya tentang tamunya. Namun, mana bisa ia ungkapkan sekaligus tanya itu, takut menyinggung tamunya. Pagi tadi Medina mengeluh tentang lelahnya mengerjakan keperluan rumah, barangkali Gazain menghadiahkan Gia untuk meringankan pekerjaannya?
Sejak menikah hanya bahagia yang hadir di rumah mereka. Medina punya harapan sejauh ini karena Gazain itu memang tipe yang bergerak mewujudkan, apa yang Medina sebutkan, seringnya tiba-tiba datang kemudian. Pernah mereka melewati taman dan melihat bunga-bunga bermekaran. Di taman itu Medina bercerita tentang bunga yang didapatnya dulu saat wisuda, kemudian esok harinya datang kurir mengantarkan sebuket bunga dari suaminya untuk Medina, berikut surat yang isinya pengakuan rasa cemburu Gazain. Medina bahkan masih menyimpan bunga dan kalimat itu, juga mengingatnya dengan jelas.
Dear istriku tercinta,
Aku cemburu!
Katakan bahwa bungaku ini lebih baik daripada pemberian ‘teman wisudamu’ itu.
Kemudian akan aku katakan, kamu bunga terindah dalam hidupku.
Gazain.
Banyak hal manis berupa kejutan yang Medina dapatkan dari suaminya selama pernikahan mereka. Jadi, wajar saja jika angan Medina terbang jauh atas kedatangan Gia. “Kamu suka memasak?”
Gia mengangguk, “Aku punya warung makan sebelumnya.”
“Masyaallah!” Medina makin banyak mencintai suaminya. Yang dijawab Gia juga menjurus ke arah angannya. “Lalu, sekarang masih buka?”
Gia menggeleng pelan. Hampir ingin menangis ia jika mengingat lagi bagaimana berantakannya eks-warung yang dulu miliknya. “Tapi aku berencana akan memulainya lagi nanti,” ungkapnya kembali bersemangat.
“Semoga Allah mudahkan.”
Gia mengangguk. Diterima dengan baik doa Medina untuknya. Dan, Gia makin takut dengan kenyataan pahit kedatangannya atas hidup mereka. Medina tampak saleha, sebagaimana ingatan Gia tentang Gazain pula. Mereka jelas lebih serasi sebagai pasangan daripada Gazain dengan Gia. Namun, hak calon manusia dalam rahimnya juga patut didapatkan.
Sekitar lima belas menit kemudian badai datang. Muncul di ambang pintu sosok Gazain. Mata tajamnya serasa mengiris Gia lewat pisau tak kasat wujudnya.
"Selamat datang, Suamiku."