“Tidak langsung mandi?”
Gazain yang berselubung handuk dari kamar mandi tertegun karena sapaan istrinya. Medina terlihat mengeluarkan pakaian gantinya dari lemari sementara perempuan indah itu sendiri masih belum berbusana lengkap selepas gulat percintaan mereka.
“Bukankah kamu harus mengantarnya ke kontrakan?”
Gazain belum menjawab, tapi melanjutkan langkah ke pembaringan dan melemaskan punggungnya di sana. “Aku bisa mandi nanti. Sementara berwudu saja.”
Senyum Medina melengkung manis, “Belum selesaikah?”
Gazain mengerling nakal, “Bisa jadi begitu.”
Bukan sekali mereka seperti ini. Gazain kadang menunda mandi junubnya supaya bisa menyentuh Medina lagi. Sunahnya, boleh saja menunda, boleh pula ronde ke dua dengan selingan wudu saja. Kadang kala Gazain sengaja menunggu Medina mandi dulu untuk menyentuhnya kedua kali. Jahil sekali kadang Gazain terhadap istrinya yang tak suka mandi itu.
Medina menggeleng tak berkata-kata kecuali senyuman saja, tapi mendadak senyumnya berubah pahit terlihat. Gazain langsung peka, terlebih saat istrinya membuang tatapan ke arah berlawanan. “Nona ...!”
“Hm?”
“Apa yang tiba-tiba membuatmu berubah?” tanya Gazain serius.
“Aku tidak ---“
“Aku tahu. Jangan berusaha berbohong di depanku.” Gazain menelisik dari jauh gerak-gerik sang istri yang tertangkap basah. “Gia lagi sebabnya?”
Medina diam sebentar.
“Nona, sudahlah.”
“Aku hanya punya kekhawatiran, Gazain. Meski sudah diyakinkan berkali-kali, bisikan syaitan datang memengaruhi prasangkaku terhadap kalian. Ini ujianku. Aku tahu. Aku tidak menyalahkanmu.”
Gazain mengembuskan napasnya. “Sekali lagi, maafkan aku, Nona.”
Medina mengangguk-angguk. Perlahan jatuh air mata meski bibirnya melengkungkan senyuman pasrah. “Memang ujian itu beratnya di awal. Perlahan aku akan terbiasa. Lama kelamaan aku akan menganggap masalah ini sepele, seperti saat tidak ada lelaki yang mau menerima rahimku yang tak bisa mengandung. Lalu Allah datangkan kamu dan cinta kita. Indah sekali tadir-Nya. Allah juga datangkan Gia dan calon anak yang bisa jadi pelengkap hidupku dan hidupmu. Jangan sampai aku lupa kalau Allah ingin yang terbaik untukku.”
Gazain tahu kerasnya usaha Medina untuk tetap berprasangka baik atas takdir mereka. Lelaki itu bangkit lalu memeluk istrinya, “Mandilah.”
“Hm.” Madina pilih memakai pakaiannya. Sama seperti Gazain yang menunda mandi, Medina bisa melakukannya nanti setelah Gia pergi dari rumahnya. “Aku harus menjaga hubungan baik dengannya. Dia datang aku sambut, dia pamit aku harus melepasnya baik-baik pula. Mungkin dia tidur juga?”
“Bisa jadi.”
Gazain juga memakai lengkap pakaiannya kemudian ikut keluar. Mereka berdua di depan pintu kamar tempat Gia istirahat. Medina menoleh, “Kamu lebih berhak melihat auratnya daripada aku. Kamu saja.”
Gazain tahu perkataan Medina adalah faktanya. Sesama perempuan pun masih ada batas aurat, tapi lain kisah jika suami istri. Kemudian ia mengetuk pintu. “Gia!”
Beberapa saat tak ada jawaban. “Masuk saja,” bisik Medina.
“Mungkin kita tunggu dia bangun dulu,” balas Gazain ragu.
“Lalu kapan lagi dia bisa berberes kontrakan yang baru? Atau izinkan dia menginap di sini?”
Gazain pikir lebih baik Gia di hotel daripada bermalam seatap dengan Medina. “Aku akan masuk, tapi Nona jangan berpikir ... jauh.”
Medina menepuk tangan suaminya yang cemas. “Jangan khawatirkan aku.”
Gazain kemudian masuk dan membiarkan pintu terbuka. Namun, Medina di luar dugaan malah hendak menutup pintunya, “Aku tunggu di depan, ya,” bisiknya tegar.
Gazain akhirnya hanya mengangguk pasrah. Setelah Medina menutup rapat celah Gazain berbalik menemukan Gia yang tertidur. Kulitnya berkilauan karena keringat. Pakaiannya yang hanya dalaman saja benar-benar kembali mengingatkan Gazain akan surga semalam mereka. Satu syukurnya, nafsu Gazain sudah dipadamkan Medina, jika tidak, mungkin saat ini Gia hanya akan berakhir jadi pelampiasannya.
Gazain mendekat, tak mau Medina lebih lama memikirkan hal buruk tentang berduanya dengan Gia dalam ruangan tertutup itu. Tangan Gazain mendorong Gia perlahan, sementara matanya menjalar ke sisi atas rumah, mengjindar dari godaan tubuh Gia yang tampak mulus merayunya. “Gia! Bangun!”
“Gia, bangun!”
Gazain menelan ludah saat perempuan itu beringsut. Kemudian wajah kesalnya muncul, “Bangunlah, Gia! Bukan tempatmu untuk merasa nyaman di sini!”
Gia perlahan membuka mata dan terkejut mendapati dekatnya Gazain. Refleks bergerak Gia mundur, “M—mengapa kamu di sini?!”
Malas Gazain menjawab, tapi ia pun perlu menyadarkan Gia dari khayal indahnya. “Ini rumahku.”
Gia mencebik, “Berarti ini rumahku juga. Istri harusnya ikut suami.”
Helaan napas Gazain panjang sekali. Lelahnya begitu nyata terasa. “Aku tahu hidupmu menyedihkan, tapi aku tak mau peduli. Hadapi takdirmu sendiri. Seperti yang kubilang, aku akan bertanggungjawab, ayo, kuantar ke tempat tinggalmu.”
Mata Gia siaga, “Kamu sudah dapat kontrakan untukku?”
“Ya,” jawab Gazain bosan. “Pakai pakaianmu, aku tunggu di luar.”
Gia baru menyadari kondisi dirinya dan mengerut malu. Udara panas tadi telah menyuruhnya melepas pakaian.
Gazain jadi berdecak karena jengah pula, “Aku sudah melihat lebih dari ini dari dirimu, Gia. Cepatlah!”
“Bukankah malam itu kamu menikmatinya sama sepertiku juga?” tanya Gia menghentikan langkah lelaki yang hendak meninggalkannya itu.
“Ya,” jawab Gazain singkat membawa lagi kakinya ke pintu.
Gia tersenyum di belakang sana. Bicara dengan Gazain memang tak bertele-tele. Tidak munafik dia, tak seperti kebanyakan lelaki lainnya.
Gazain menemukan Medina di ruang tamu, terlihat seolah bukan dia permaisuri di rumah ini. Itu menyayat hati Gazain sekali lagi. Gila singgah lagi di kepala Gazain, mungkin harus dicumbunya Medina di ruang tamu mereka? Tepat di depan mata Gia. Biar Medina tahu betapa butuh Gazain akan cintanya, dan supaya Gia tak akan macam-macam meski ada calon bayi mereka dalam tubuhnya. Jika dibelah daddanya bisa membuat tenang Medina, ingin Gazain buktikan, tapi bodoh jika setelah itu Medina akan ditinggal Gazain selamanya.
“Sudah bangun?” sapa Medina menyambutnya dengan berdiri.
“Duduklah, Nona. Rasanya aku tak pantas mendapat baktimu lagi setelah hari ini.”
“Jangan bilang begitu. Kamu tetap suamiku.”
Gazain duduk di samping istrinya. “Aku ingin sekali membayar orang untuk membantunya berkemas, tapi ... kita harus berhemat, bukan? Dua kali lipat pengeluaran mulai hari ini. Bolehkah aku membantunya berberes rumah baru itu sampai nyaman untuk di tempati malam ini?”
“Ingin kubantu?”
Gazain menatap mata tulus istrinya. “Aku tahu kamu baik, Nona. Dan aku akan selalu jatuh cinta padamu karenanya. Namun, aku sungguh harus membantunya, kan?”
“Ya. Aku pun menawarkan diri bukan karena cemburu,” sahut Medina dengan senyuman gelinya.
Gazain mengusap kepala istrinya, “Kamu sudah cukup lelah mengurus rumah satu ini, Nona. Ditambah pula istirahatmu tadi diganggu olehku dan dia.”
“Ini hanya satu hari yang berbeda dari hari lainnya. Tidak akan sering begini, kan?”
Gazain tersenyum juga. Ada keyakinan bahwa Medina akan baik-baik saja dengan menuruti keinginannya itu. “Mandilah dulu jika mau ikut.”
“Baiklah. Tunggu aku.”
Medina menjauh dengan wajah gembiranya. Sementara Gazain tetap di sana hingga Gia keluar juga dengan pakaian siapnya. “Bisa tunggu sebentar lagi? Aku gerah sekali dan butuh mandi.”
“Harusnya lakukan itu sebelum membangunkan aku, Gazain. Sengaja membuatku tak betah, ya?”
Gazain menuding telunjuknya. Mudah sekali Gia menaikkan rasa kesal Gazain, hanya lewat kata-kata. “Aku tak suka semuanya dari dirimu, jadi jangan bersikap makin menyebalkan di depanku!”
“Aku begini supaya kamu tidak jatuh cinta padaku.”
Senyum miring Gazain mencuat. “Kamu pikir itu akan terjadi? Aku mungkin bertanggung jawab padamu, berbuat baik dan sebagainya, tapi tidak akan pernah mencintaimu. Hatiku sudah penuh dengan Medina, hanya dia, satu-satunya. Mulai sekarang bersikap baik, karena itu tidak akan berpengaruh juga untukku, tapi itu akan baik untuk dirimu sendiri.”