8. Pulang Bareng

1222 Words
04 AGUSTUS 2011 DIANDRA LOVIA SARADIKA _______________________________ PESAN-ku untuk Bang Syail belum juga dibuka. Padahal sekarang sudah setengah jam berlalu. Takutnya, saat aku memilih pulang dengan bus atau angkutan umum, Bang Syail akan datang. Jadi, aku memilih menunggu saja di pinggir lapangan sendirian. Aku mendengar sayup-sayup suara orang yang sedang marah-marah di salah satu ruangan yang tidak jauh dari tempatku duduk. Kalau tidak salah, ruangan itu adalah ruangan yang khusus digunakan untuk BEM berkumpul. Setelah selesai OSPEK pada hari ini, mereka seperti sibuk menyindir Javar tentang perilakunya karena memintaku untuk masuk ke barisan lagi. Sebenarnya aku merasa tidak perlu untuk dibantu olehnya. Dia berusaha untuk membuatku kembali ke barisan lagi ketika Alea mengusirku. Hal itu terjadi karena aku menolak untuk menuliskan surat cinta. Memangnya kesenangan macam apa yang mereka dapatkan dengan adanya surat cinta. Toh, terkadang, Maba yang membuat surat itu, tidak benar-benar serius. Mereka hanya memenuhi kewajiban OSPEK atau takut terkena hukuman sepertiku. Bunda selalu bilang, cinta itu sangat sakral dan tidak baik mempermainkan kata cinta hanya untuk bersenang-senang. Lagipula, apa yang Javar lakukan? Mengapa dia membantuku di depan anak-anak BEM. Tentu saja mereka merasa dipermalukan, terlebih lagi Alea—yang katanya mantan pacar Javar sendiri. Katanya lagi, mereka putus karena Alea selingkuh. Ah, aku mendengarkan pembicaraan beberapa Maba yang duduk di depanku tadi. Sepertinya mereka adalah fans Javar dan senang ketika Javar masih berstatus jomblo. Setengah jam berlalu, aku masih betah duduk di sini. Bukan ke betah sih, tetapi karena terpaksa menunggu Bang Syail yang tidak kunjung datang dan tidak kunjung membalas pesan yang aku berikan. Memang sesibuk apa sih tugasnya, sampai-sampai tega mengabaikan pesan adiknya sendiri yang menunggunya? Apakah semua polisi sesibuk itu? Terdengar pintu dibuka, itu artinya breafing anak-anak BEM sudah selesai. Tidak lama terdengar derap sepatu yang keluar dari ruangan itu. Aku hanya menatap lurus ke depan tanpa ingin menoleh. Aku tidak mau bertatapan dengan siapapun atau menarik perhatian anak-anak BEM itu. Maka dari itu, aku memilih diam sambil memainkan ponselku. Meskipun kenyataannya hanya menekan menu-keluar, menu-keluar. "Javar..." "Apaan? Gue mau balik, nih." "Pulang sama siapa Lo? Sama Alea? Dia bilang mau bareng sama Lo," "Enggak! Ngarang dia. Gue mau kesana dulu, ya." Aku memejamkan mataku ketika melihat Javar sudah berdiri di depanku dengan tersenyum lebar. Laki-laki itu sudah tidak memakai almamater abu-abunya, yang tersisa hanyalah kaos hitam polos. Perlahan aku membuka mataku dan melihat dirinya yang mengambil posisi duduk disampingku. Walaupun jaraknya cukup jauh denganku. "Belum pulang?" Tanya Javar yang tidak pernah berhenti tersenyum. Apakah laki-laki sepertinya tidak akan pernah merasa marah atau kecewa kepada sesuatu? Aku menoleh ke arahnya sebentar lalu menggeleng, "belum, Kak." "Kenapa belum pulang? Lagi nunggu seseorang jemput?" Tanyanya sekali lagi. Ingin sekali aku menyuruhnya pergi, tetapi aku memilih untuk diam. Tidak menjawab pertanyaannya walaupun dia duduk disampingku. Javar tampak tidak terganggu, dia malah ikut diam namun tidak juga beranjak meninggalkanku. Sampai ada seorang perempuan yang berdiri di depannya. Siapa lagi jika bukan Alea, perempuan paling cantik yang selalu diidolakan semua laki-laki. Beberapa Maba laki-laki pun selalu memuji kecantikannya, aku berulang kali mendengarnya. Siapa juga yang tidak suka dengan perempuan cantik? Semua orang pasti menyukainya. Lihatlah, penampilan Alea begitu menarik kaum laki-laki. Dengan menggunakan cold shoulder warna hitam yang sempat tertutupi jas almamater abu-abu dan bawahan celana jeans warna biru. Alea juga sangat cantik dengan dandanannya yang elegan. Katanya, kampus ini memiliki kelas make up and fashion sebagai ekstrakurikuler karena Alea yang mengusulkannya. Ah, betapa berpengaruhnya Alea di kampus ini. Aku sempat melihat begitu banyak perhatian yang diberikan kepada Alea. Aku berpikir, betapa beruntungnya dirinya yang mendapatkan banyak perhatian karena penampilannya. Banyak laki-laki yang memujanya dan rela melakukan apapun untuk menarik perhatiannya. Mengapa aku berkata demikian? Karena beberapa Maba melakukan hal yang lucu hanya untuk menarik perhatian Alea. "Ganin..." Panggilnya dengan suara manja kepada Javar. Aku tidak mengerti mengapa Alea memanggil Javar dengan panggilan 'Ganin'. Padahal semua orang yang ada di BEM, memanggilnya dengan panggilan Javar, bukan Ganin. Lalu, mengapa Alea memanggilnya dengan panggilan yang berbeda? Apa itu semacam panggilan sayang? Ah, kenapa aku sangat penasaran? "Apa?" Suara Javar terdengar ketus sekali. Aku baru mendengar suara Javar yang terdengar tidak suka begitu. Aku pikir, Javar akan menggunakan kata-kata ramah nan lemah lembut seperti kepada-ku. Nyatanya, tidak begitu! "Kamu apaan sih ketus gitu. Enggak enak didengar sama Maba." Ucapnya yang melirik ke arahku. Aku hanya diam saja, tidak berniat untuk pergi namun tidak berniat untuk menguping juga. Apa pentingnya untukku? "Lo mendingan pulang sana. Gue mau nganterin Lovia pulang," Ucapan Javar itu sontak membuatku menoleh. Apa yang baru saja Javar katakan? Aku bisa melihat wajah kesal yang terlihat dari wajah Alea atas ucapan Javar itu. Karena aku tidak mau mendapatkan masalah lebih besar dari Javar, aku memilih untuk beranjak dari dudukku. Aku tidak peduli dengan jemputan Bang Syail, yang paling penting sekarang adalah kabur dari Javar. "Mau kemana?" Tanya Javar yang menghentikan langkahku. "Aku mau anterin kamu balik," sambungnya dengan berdiri di depanku. Entah mengapa dia bisa secepat itu beranjak dari duduknya. "Ganin, aku 'kan bilang mau kasih kamu kue buat Om sama Tante. Bareng dia 'kan kapan-kapan bisa," keukeuh Alea yang meminta Javar untuk tetap bersamanya. Apa-apaan sih mereka? Mengapa mereka melibatkanku dalam masalah mereka? Aku tidak tahu apa-apa dan Javar seenaknya saja melibatkanku dalam masalah. "Enggak!" Teriakku yang membuat keduanya menatap ke arahku. "Kita enggak pulang bareng, Kak Javar. Aku nunggu Kakakku. Kak Javar jangan mempersulit aku di sini dong, semua orang bisa salah paham." Sambungku dengan sedikit kesal. "Permisi!" Aku berjalan meninggalkan mereka berdua untuk menuju halte bus yang ada di depan kampus. Sebenarnya aku belum pernah naik bus, karena aku baru datang beberapa hari lalu. Tetapi karena kepepet, bagaimana lagi? "Lovia..." Aku menoleh sebentar dan menatap Javar yang mengikutiku. Tetapi aku tidak berhenti begitu saja, aku terus berjalan dan mengabaikannya. Dia selalu membuatku mendapatkan banyak masalah. Dari awal OSPEK sampai sekarang, dia yang harusnya bertanggung jawab karena aku tidak punya teman satupun. Ketika aku mulai mendekati teman-temanku, mereka akan menatapku dengan sinis. Seperti aku adalah orang asing yang sangat perlu untuk dihindari. Javar bahkan tidak menyerah, dia tetap mengikutiku sampai di halte sendirian. Untunglah halte sepi dan aku tidak perlu menghindar dari tatapan siapapun. Laki-laki ini memang keras kepala, apa maunya sih? "Kamu kenapa sih kabur gitu aja? Kamu enggak suka ya kalau aku bilang kaya gitu sama Alea?" Tanya Javar yang lagi-lagi sudah duduk disampingku. "Kamu kenapa diam terus sih, Lovia? Kamu enggak suka kalau aku di sini?" Sambungnya. Aku menoleh ke arahnya, "hm... Aku sedikit terganggu dengan Kak Javar. Karena Kakak, semua orang jadi enggak suka sama aku." Javar menaikkan sebelah alisnya bingung, "itu karena mereka yang enggak suka sama kamu atau karena kamu yang enggak mau mencoba untuk dekat?" Deg. Benar juga apa yang dikatakan Javar. Tetapi, mana mungkin aku berani mendekati mereka kalau nyatanya tatapan mereka kepada-ku saja sudah tajam. Aku kembali diam, tidak mau menjawab apapun yang Javar tanyakan. Lalu dengan tidak sopannya lagi, Javar mengambil salah satu earphone-ku dan memasangnya di telinganya. "Kak..." Bentakku kesal lalu menarik earphone milikku. "Enggak sopan, tahu enggak!" Kesalku kepadanya. Javar tersenyum lalu menggaruk tengkuknya sendiri, "maaf, maaf, aku cuma penasaran apa yang kamu dengerin. Ternyata lagunya Armada. Kenapa suka Armada?" Bus datang, aku buru-buru naik ke dalam bus dan mengabaikan semua pertanyaan Javar. Aku bisa melihat dirinya yang berdiri di halte sendiri sambil melambaikan tangannya ke arahku saat ini. Apa-apaan sih dia! Aneh! °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD