05 AGUSTUS 2011
ALJAVAR GANINDRA ADHINATA
___________________________________
SETELAH mandi dan bersiap-siap, aku bergegas untuk menuju meja makan. Sepertinya, Mama sudah membuatkan sarapan yang enak—makanan khas Jogja resep warisan dari Eyang putri. Sebelum duduk di meja makan, aku sudah menyapa Mama di dapur lalu menciumnya, tidak lupa menyapa Budhe Juminah—yang merupakan ART di rumah kami tapi sudah dianggap keluarga sendiri. Budhe Juminah ini sudah bekerja di rumah kami sejak lima belas tahun yang lalu. Rumahnya sangat dekat dengan rumah kami. Jika pagi, Budhe akan datang dan sore pukul lima sudah pulang.
Kembali lagi ke rutinitas sarapan yang sudah terbiasa dengan makanan berat. Setiap pagi, aku selalu makan nasi, bukan makan roti dan s**u seperti orang-orang pada umumnya. Papa apalagi, sudah terbiasa untuk sarapan dengan nasi, lauk, dan sayur. Jadi, Mama harus siap memasak pagi-pagi sekali. Seperti yang sering terjadi di daerah pedesaan di mana ibu-ibunya sudah bangun pagi sekali untuk melakukan pekerjaan rumah. Maka tidak heran jika Mama mampu melakukan banyak tugas dalam sekali jalan karena terbiasa.
"Pagi, Pa." Sapaku pada Papa setelah dari dapur dengan ceria seperti biasanya.
"Pagi." Jawab Papa yang baru saja menyeruput kopi pahitnya. "Masih OSPEK, Nin?" Tanya Papa lagi.
Aku mengangguk, "masih Pa, tinggal hari ini aja kok."
"Ganin, kamu kemarin disuruh bawa kue buat Papa dan Mama yang minta Alea, 'kan? Kenapa enggak dibawain pulang sendiri? Kemarin Alea sampai nyuruh sopirnya untuk anter kesini lho," gerutu Mama kepada-ku.
Alea pasti sudah mengadu kepada Mama yang tidak-tidak, "dia ngomong apaan sih, Ma? Biarin aja lah! Lagian Ganin enggak peduli-peduli banget sama dia sekarang. Kita udah putus, Ma. Ganin mau membuka lembaran baru, udah males bahas-bahas dia terus. Alea itu sifatnya jelek banget, udah tahu putus, masih aja merasa memiliki."
Mama dan Papa saling bertatapan lalu akhirnya tertawa cukup keras. Apa yang sedang mereka tertawakan sekarang? Aku hanya bisa menatap kedua orang tuaku lalu menghela napas panjang. Sebenarnya, mereka dipihak siapa? Aku atau Alea? Atau mereka termasuk ke dalam golongan yang tidak memihak siapapun. Ah, aku bicara apa! Benar-benar sudah gila.
"Kamu ini, enggak bisa bersikap baik sedikit aja sama mantan sendiri!" Ledek Papa dengan menekankan kepada kata mantan.
Aku yang baru memasukkan nasi ke dalam mulutku hanya menggeleng pelan, "sudah dibaikin tapi suka ngelunjak, Pa. Nanti dikira Ganin yang memberikan harapan palsu, padahal cuma mau jadi anak baik. Halah, ribet!"
"Palingan wes ono sing anyar, Pa. Makane ngono kui." Sindir Mama dalam bahasa Jawa yang artinya : palingan sudah ada yang baru, Pa. Makanya gitu.
Aku melihat Papa tertawa lalu melirikku, "beneran, ada yang baru? Katanya Maba itu, tenan ora?"
Apa-apaan Papa dan Mama ini, mereka tahu dari mana? Oh iya, tenan ora itu artinya benar enggak, gitu. Jadi, setelah mendengarkan beberapa bukti ucapan Papa dan Mama, maka aku memutuskan untuk suudzon dengan Alea. Pasti perempuan gila itu sudah cerita macam-macam. Padahal Papa dan Mama adalah orang yang santai—mereka tidak pernah memaksakan aku untuk ini dan itu. Mereka sangat membebaskanku.
Lalu setelah selesai sarapan, aku langsung berpamitan dan bergegas untuk berangkat ke kampus. Rasanya tidak sabar bertemu dengan Lovia di sana. Sebenarnya apa yang sedang aku rasakan sekarang? Tetapi aku begitu yakin untuk melakukannya. Tidak lama kemudian, aku sampai di kampus dan beberapa anak BEM sudah datang—aku melihat mereka sudah berada di ruangan kami.
Aku melepas jaketku dan berganti dengan jas almamater abu-abu kebanggaan kami. Setelah itu, aku baru turun dari mobil dengan menenteng tas-ku. Dari kejauhan, aku melihat Lovia yang seperti biasanya, duduk sendirian sambil mencoret-coret kertasnya. Aku tidak mengerti mengapa dia selalu menyendiri. Apakah dia seorang introvert?
Setelah sampai di ruangan BEM, aku juga melihat Alea yang tampak kesal kepada-ku. Sayangnya, aku lebih suka dia marah daripada harus menempel terus dengan-ku. Percayalah kalian para perempuan, kami para laki-laki juga akan risi jika kalian tempeli terus-menerus. Jadi tolong, jangan terlalu over. Kami tidak akan lari jika kalian bersikap wajar.
Tidak lama kemudian, OSPEK hari terakhir dimulai. Serangkaian acara akan dilaksanakan nanti. Puncaknya adalah malam inagurasi yang akan mengundang artis-artis terkenal. Sebenarnya acara ini tidak terlalu penting-penting amat. Ini hanyalah sekedar hiburan pelepas penat setelah OSPEK berat beberapa hari ini.
Aku tidak pernah melepaskan pandangan mataku dari Lovia sedikitpun. Aku merasa dunia-ku tertarik dan hanya terfokus kepadanya. Dia terlalu menarik, berbeda dengan perempuan lainnya yang seringkali mendekatiku. Lovia seperti alergi berada di dekatku. Mungkin itulah alasannya mengapa aku suka padanya. Setidaknya ada satu perempuan di dunia yang bisa membuatku sedikit berjuang keras untuk mendapatkannya.
"Terima kasih kepada kalian semua karena sudah mengikuti kegiatan OSPEK di kampus kita tercinta ini dengan baik selama kurang lebih seminggu plus persiapan. Semoga dengan adanya kegiatan ini, kita bisa saling mengenal dan bisa menjalin pertemanan. Saya selaku ketua pelaksana OSPEK di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik meminta maaf apabila ada banyak kekurangan selama pelaksanaan OSPEK tahun ini. Lalu, selepas acara ini selesai, diharapkan kalian sudah mengenal dengan baik kampus yang akan kalian gunakan untuk menempuh pendidikan selama kurang lebih empat tahun ke depan. Semoga sukses dan semoga betah kuliah di sini. Terima kasih!"
Aku menurunkan toa yang tadi sempat aku gunakan untuk bicara, menutup kegiatan OSPEK sebelum malam inagurasi nanti malam. Setelah itu dilanjutkan dengan anak BEM yang lainnya untuk memberikan informasi kepada Maba-Maba di depan kami. Pandanganku masih sama, menatap Lovia yang masih memasang wajah malasnya. Entah mengapa, wajah malasnya itu seperti hiburan untukku.
Tepat ketika semua acara telah selesai dan semua Maba hampir bubar—aku berjalan mendekati Lovia. Seperti tidak pernah merasa terganggu dengan sikapnya yang dingin kepada-ku. Aku merasa percaya diri saja, dia akan jatuh cinta padaku suatu saat nanti. Aku juga yakin jika pesonaku tidak akan semudah itu diabaikan oleh perempuan, meskipun itu Lovia. Aku tahu, beberapa anak BEM menatapku, tetapi aku tidak peduli itu. Aku juga tidak mau tahu tentang masih banyaknya orang di lapangan saat ini.
"Lovia... I love you!" Ucapku dengan susah payah.
Sekarang, tidak hanya Lovia yang menatapku. Tetapi, hampir semua orang yang berada di sana langsung mengalihkan pandangan mereka ke arahku dan Lovia yang saat ini tepat berada di tengah lapangan. Saat ini Lovia sedang menenteng tasnya, dia diam saja—tidak membalasku juga. Perempuan itu bahkan tidak menunjukkan ekspresi yang kaget seperti perempuan kebanyakan. Ah, apa aku salah waktu?
"Aku suka sama kamu," ulangku kembali. Kali ini membuat keributan dan menimbulkan bisik-bisik dari beberapa orang yang berada di sini. Setengahnya lagi hanya diam sambil terus menyaksikan.
Lovia menghela napasnya kasar lalu menggeleng pelan, "aku enggak suka Kak Javar! Enggak akan suka!"
Mampus! Apa aku tidak salah dengar? Apa Lovia benar-benar mengatakan sebuah penolakan di depan umum seperti ini? Ah, mana mungkin aku ditolak. Tidak mungkin! Dia pasti sedang gugup, 'kan? Aku berusaha untuk mencari kebenaran di kedua matanya, menunggunya untuk meralat ucapannya tentang tidak suka padaku. Sayangnya, kata yang aku tunggu tidak kunjung keluar. Lovia meninggalkan lapangan tanpa dosa.
"Lovia..." Panggilku seperti orang bodoh.
Lovia menoleh kembali, "aku udah bilang, aku enggak suka Kak Javar. Mendingan Kak Javar cari orang lain aja yang bisa diajak pacaran selain aku!"
Hening. Aku hanya diam ketika Lovia memutuskan untuk meninggalkan lapangan. Aku melihat ketiga orang yang mengaku sebagai sahabatku itu sedang menahan tawa. Mereka pura-pura tidak melihatku karena mengejek. Memangnya apa yang salah dariku? Mengapa Lovia tidak mau mencoba membuka hatinya untukku? Apa dia punya pacar? Apa dia sudah suka dengan seseorang?
"Sabar ya, ditolak itu sakit. Apalagi bagi kaum yang belum pernah ditolak betina..." Ucap Arman mengejekku yang disauti oleh beberapa anak BEM lainnya.
"Udah-udah, move on aja, Jav. Biasanya juga begitu!" Sahut Farhan menepuk bahuku pelan.
"Masih ada Alea yang cantik..." Lagi-lagi disangkutkan dengan Alea kembali. Rian memang kurang ajar!
Nasib, nasib, kenapa bisa ditolak sih?
°°°