BAB 9

1782 Words
   Pada sisi kiri tangannya seorang gadis kecil sedang menutup mata, begitu pula di tangan kanannya gadis kecil lainnya juga menutup matanya. Sedangkan pada bagian belakang, Lizzy juga sedang berada di gendongan Cancri.    Langkah kaki pria itu dipacu secepat mungkin, ia menatap anak tangga dan terus melangkah. Hampir saja ia tergelincir pada lantai yang licin, namun dengan cepat Cancri menyeimbangkan tubuhnya.    “Dad … Rania lelah! Pulang!” suara anaknya terdengar begitu pelan, merengek ingin pulang dan berada di kamar hangat mereka.    “Rania, jangan ganggu konsentrasi Daddy!” suara Lizzy terdengar pelan, ia memperingatkan anaknya.    Tak peduli, Cancri terus melangkah. Menaiki anak tangga. Ia hanya memikirkan tubuh adiknya dan ingin segera mengakhiri permainan gila ini. Pria itu menendang pintu di lantai tujuh, lalu masuk dan kembali menaiki anak tangga. Ia menarik napas gusar, rasa lelah menguasainya dan membuat ia hampir terjatuh.    “Su-amiku.” suara Lizzy kembali terdengar.    “Jangan meminta turun! Asal kau tahu, di setiap lantai telah dipasang bom, waktuku hanya dua jam dan itu akan segera berakhir. Maka dari itu, jangan pernah meminta aku berhenti atau mengambil resiko dengan meninggalkan kalian!” tegas Cancri.    Lizzy kembali bungkam, ia tidak berani melawan perintah suaminya. Sedangkan si kembar hanya diam, mereka jelas melihat jika iris mata sang ayah mulai berubah dan itu dapat dipastikan sebagai sebuah kemarahan besar.    Cancri kembali memacu langkah kakinya lebih cepat, ia kini berada di lantai delapan dan harus dikejutkan dengan kumpulan ular. Pria itu menatap dalam diam, ia segera berlari ke tangga lantai sembilan dan menendang pintu dengan kaki panjangnya. Lagi, hanya ada kumpulan kalajengking, Cancri cukup yakin jika orang gila yang mengajaknya bermain sudah mengatur semuanya. Cancri tak peduli, ia segera menaiki anak tangga dan menendang pintu di lantai sepuluh.    “Terkunci!” pria itu kembali menendang dengan kasar, ia tak ingin menurunkan anak serta istrinya dari gendongan.    “Biarkan aku turun.” suara Lizzy membelah sepi, namun, dengan cepat Cancri menatap istrinya dari ekor mata tajamnya.    Lizzy kembali diam, sedangkan kedua anak mereka hanya menelan ludah mereka kasar.    Beberapa kali Cancri menendang pintu itu, beberapa kali juga ia gagal. Dengan sekuat tenaga, ia menendang pintu itu hingga hancur.    Pemandangan pertama yang Cancri adalah Luzia, adiknya saat ini sedang dalam keadaan terikat. Luzia memiliki luka di sekujur tubuhnya, bahkan ada bekas darah yang keluar dari hidungnya. Segera saja, Cancri menurunkan anak dan istrinya. Ia segera bergegas, membawa kunci dan ingin melepaskan pasungan pada kaki dan tangan sang adik. Cancri menatap tiap-tiap kunci, ia menggunakan semuanya namun tidak ada satupun yang cocok.    Perlahan, besi itu menarik tubuh Luzia dari arah yang berlawanan, “Kakak!” teriakan Luzia terdengar.    Cancri berusaha menggunakan kunci-kunci itu lagi, namun, masih tidak bisa. Ia begitu gusar, apalagi saat waktunya tersisa lima belas menit. Pria itu menatap ke segala arah, ia tidak menemukan apapun saat ini.    “Hiks … Kakak!” Luzia kembali menangis, suaranya parau dan terdengar begitu keras.    “Tolong aku! Kakak!” lagi, suara itu terdengar penuh keputusasaan.    “Luzia, bertahanlah!” Cancri berlari ke setiap sudut, ia berharap menemukan sekumpulan kunci dan bisa membebaskan Luzia. Namun, tidak ada yang bisa ia temukan. Lantai sepuluh begitu kosong, tidak ada satupun alat yang bisa digunakan.     “Aunty!Daddy, selamatkan Aunty!” Rania dan Tania serentak berteriak, mereka menatap tubuh Luzia yang semakin ditarik ke arah berlawanan.   Cancri terlihat panik, pria itu berlari dan berusaha menarik besi yang berada di bagian atas tubuh adiknya. Namun, ia tidak punya cukup kekuatan saat ini. Darah menyembur, tubuh Luzia terbagi menjadi dua. Cancri mundur, darah mengotori tubuhnya, yang tersisa hanya suara tangisan Lizzy dan kedua anaknya.    Pria itu bungkam, matanya masih terpaku pada tubuh Luzia. Ia merasa kehancuran pada dirinya, ia merasa kakinya tidak lagi berpijak pada permukaan lantai.    “Arkkk!!!” Cancri berteriak, ia begitu merasa tidak berguna, ia merasa dirinya gagal dalam segala hal. Pria itu menangis, ia tak peduli saat Lizzy dan kedua anaknya menghampirinya dan memeluknya sambil menangis.    Tak berapa lama, Cancri kembali sadar, ia segera bangkit, memerintahkan Lizzy menaiki punggungnya dan segera menggendong Rania dan Tania. Pria itu segera berlari, ia mengabaikan semua teriakan yang Lizzy suarakan. Ia harus cepat membawa anak serta istrinya turun dan pergi dari gedung itu.     Hanya tersisa lima menit, dan ia harus berhasil. Ia baru bisa mengingat kumpulan bom yang telah lama terpasang.    Kaki Cancri kini berpijak di lantai sembilan, suara ledakan dari lantai sepuluh terdengar, menghancurkan segalanya. Ia memburu waktu, segera saja menuju anak tangga dan turun ke lantai delapan. Pria itu menuruni dua anak tangga sekaligus, ia begitu panik dan berlari cepat.    Baru saja kakinya berpijak pada lantai delapan. Suara tembakan menggema, senjata yang sudah terpasang di sana memuntahkan peluru. Mengenai kaki Cancri dan beberapa mengenai tubuh anak serta istrinya. Pria itu meringis sakit, ia harus segera keluar, Cancri menuju tangga lalu menuruninya lagi.    Kini Cancri berada di lantai tujuh, darah berceceran bahkan Lizzy ikut menangis, Rania dan Tania juga sama paniknya. Beruntung kedua anaknya hanya tergores oleh peluru-peluru itu. Suara ledakan terdengar, lantai delapan meledak, dan Cancri cepat menuruni anak tangga. Ia menuju lantai enam dan sekarang lantai tujuh yang meledak. Pria itu terus berlari, sampai pada lantai dua, tak ada waktu lagi. Cancri menatap jendela kaca, lalu melompat, bersamaan dengan itu gedung yang tadi menjadi tempat permainan runtuh. Pondasi ledakan terbesar berada di ruang bawah tanah.    Cancri mendarat dengan sempurna, walau kakinya gemetar dan darah banyak yang terbuang namun pria itu tetap menahannya. Ia segera berlari menendang pagar dengan kakinya, beberapa kali dan akhirnya berhasil.    “Sa-kit!” Cancri menghela napasnya kasar, ia mendengar Lizzy yang mati-matian menahan sakit pada tubuhnya dan tubuh istrinya bergetar.    “Kita akan pulang,” ujar pria itu. Ia menghampiri mobilnya, “Terbuka!” titahnya pada mobil itu. Dengan sekali perintah, pintu mobil terbuka, Cancri memasukan Rania dan Tania pada kursi penumpang. Tak lupa, ia juga memasukan Lizzy di sana dan menutup pintu.    Setelah anak dan istrinya aman, Cancri masuk ke dalam mobil. Pria itu menekan beberapa tombol lalu mobil itu berputar dengan cepat.    Menghela napas dengan terburu, Cancri bersandar pada kursi kemudi. Ia memejamkan matanya dan memerintah sistem kerja mobil itu dengan otaknya. Mobil Cancri melesat cepat, lalu terbang dengan kekuatan penuh menuju mansion keluarga Snake. …    Mansion keluarga Snake terlihat begitu ramai, Cancri beserta anak dan istrinya baru saja tiba. Para robot yang bekerja di mansion itu berlalu lalang dan menolong Cancri. Mereka membawa Cancri ke ruang bawah tanah, tepatnya ke ruang perawatan yang ada di bawah sana.    “Cepat! Panggil Mommy!” titah seorang wanita, ia adalah Rebecca, wanita itu terlihat panik apalagi saat tubuh Rania dan Tania mendingin. Ia dengan cepat melakukan tugasnya, walau dengan tangisan ia tetap melakukan pekerjaannya.    “Rebecca, bekerjalah dengan cepat! Mommy akan menangani Lizzy.” suara Chaeri memenuhi ruangan sedangkan di belakangnya, White juga maju dan menjamah semua peralatan medis. Pria itu diam, matanya menatap Tania yang kini menutup mata. Dengan cepat, ia juga mengobati cucunya.    “Dad! Rania, detak jantungnya semakin melemah!” lapor Rebecca.    White tanpa bicara, ia menolong cucunya dan Rebecca menangani Tania. Mereka semua sibuk, tidak ada satupun yang bersuara saat sedang mengobati.     Di sudut ruangan, Cancri menatap anak dan istrinya, pria itu termenung dan tak peduli pada luka di tubuhnya. Ingatannya masih melayang pada keadaan Luzia yang meninggal di tempat itu. Rasa sesak menjalar di hatinya, ia memaki dan mengutuk dirinya. Ia bukan kakak yang berguna.    Perlahan, air mata pria itu kembali tumpah, ia menatap anak dan istrinya dengan pandangan kosong. Yang ia ingat hanya teriakan Luzia, adik malangnya yang tidak bisa ia selamatkan. Ingatan Cancri melayang saat Luzia sering menggodanya. Ia ingat saat Luzia sering merengek bahkan kabur dan membuat panik seluruh mansion.    Pria itu berdiri, ia menatap pria yang tak lain ayahnya, ia tidak memedulikan keadaannya saat ini. Ditariknya White, ia mendorong pria itu menjauh dari anaknya yang baru saja di tangani.    “Daddy! Apa kau yang melakukan semua ini! Kau kembali memburu nyawa keluargamu sendiri! Apa yang kau inginkan!” Cancri berteriak kencang, ia menatap ayahnya yang hanya diam, pria itu menatap tepat pada matanya dan itu membuat Cancri jengah.    “Jawab!” titah Cancri.    “Bukan aku yang melakukannya!” White membalas ucapan anaknya. Namun, ia hanya mendapat kekehan dari anak sulungnya. Ia melihat Cancri menangis dan White kembali bungkam.    “Kau membunuh adikku! Kau menjadikan nyawa anak dan istriku sebagai permainan!” teriak Cancri, “Apa aku harus berlutut dan mencium kakimu?” tanya Cancri. Pria itu bersimpuh di hadapan White, ia membungkuk dan mencium kaki ayahnya.    “Adikku meninggal! Adikku tidak ada lagi! Anak istriku hampir mati! Daddy berhentilah mengujiku! Daddy, berhentilah! Aku mohon!” Cancri menangis di bawah kaki White. Pria itu hanya ingin keluarganya dalam ketenangan, sudah cukup dirinya yang menanggung segalanya.    “Aku tidak melakukannya!” jawab White tagas.    “Pembohong!” teriak Cancri.    “Hentikan, Cancri!” Chaeri menarik tangan anaknya, ia memeluk Cancri yang segera menangis histeris di pelukan ibunya. Wanita itu membelai rambut anaknya, memberi kasih sayang pada pria yang ia lahirkan dengan susah payah.    “Mom! Luzia! Apa yang harus kukatakan pada Lauye! Apa yang harus ku katakan pada Mommy Lica bahkan Daddy Nero! Aku kakak yang gagal!”    “Hentikan, jangan menangis!” Chaeri menenggelamkan Cancri dalam pelukannya.    “Cancri,” ujar White. Pria itu berjongkok dan memegang kepala anaknya, “Kali ini Daddy memang tidak melakukan apapun.” White menatap Chaeri yang balas menatapnya, “Aku jujur, aku tidak melakukan apapun, Istriku.” lanjut White.    Chaeri meneteskan air matanya, wanita itu merasakan penderitaan. Anak yang dilahirkannya kini sudah pergi, ia merasakan sesak.    Suara tangis Cancri begitu miris, Rebecca menghampiri saudara dan kedua orangtuanya. Wanita itu memeluk Cancri dari arah belakang, lalu melepaskannya.    White masih terpaku, ia baru saja melihat putra sulungnya hancur. Ditariknya Cancri, lalu ia memegang pundak putranya, “Daddy benar-benar tidak melakukan apapun.”    “Luzia akan membenciku, Luzia tak akan memaafkanku.” Cancri masih menangis.    Chaeri berdiri, wanita itu mengambil suntikan lalu menyuntikannya pada Cancri. Perlahan, Cancri tenang, ia bahkan menutup mata dan tak sadarkan diri.    “Benar bukan kau yang melakukan ini?” tanya Chaeri pada suaminya.    “Aku tidak melakukannya.” jawab White. Kali ini ia memang tidak melakukan apapun.    “Aku tak tahu apa yang akan terjadi, kau juga tahu jika Cancri dan Lauye begitu menyayangi Luzia.  Bahkan, Nero dan Felica pasti akan sangat kaget saat mendengar kematian Luzia.”    “Aku akan membicarakan masalah ini pada Felica.”    “Bisa kita rahasiakan ini dari keluarga besar? Kau tahu, aku akan berusaha menenangkan semuanya terlebih dahulu.”    “Kau akan melakukannya lagi?”    “Mom, Dad, aku menunggu di ruangan lain.” Rebecca berlalu pergi, ia cukup tahu kedua orang tuanya memerlukan ruang untuk saling bicara.    Setelah kepergian Rebecca, Chaeri mengangguk. Wanita itu mengangkat tubuh Cancri, dan membaringkannya di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD