6. Gudang Dan Gadis Malang
Bangun kesiangan membuat Risa dan kedua temannya terlambat datang ke sekolah, mau tidak mau mereka harus menerima hukuman sesuai kesalahannya. Namun, bukan mereka namanya jika menyerahkan diri begitu saja. Mereka mencari jalan lain, dan memilih pintu belakang untuk memasuki area sekolah.
Pintu belakang SMA HARAPAN dihubungkan langsung dengan gudang yang sudah tidak terpakai. Keadaannya yang sedikit gelap ditambah lagi dengan gossip yang beredar tentang gudang itu yang katanya berpenghuni, membuat mereka sedikit takut melewatinya.
Perlahan, ketiganya melangkahkan kaki. Mereka harus hati-hati, sedikit bersuara saja mereka akan ketahuan oleh guru yang sedang berjaga. Di tengah-tengah langkahnya, mereka sedikit dibuat tegang ketika mendengar suara isak tangis yang berasal dari gudang itu. Sedikit takut. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi mereka sekarang.
"Suara apa, ya?" ujar Irene pelan. Ghea hanya mengangkat bahunya, sedangkan Risa menggeleng pelan.
"Kok, gue agak takut?" lanjut Irene.
"Mental lo mental tahu, lembek!" ejek Ghea sinis.
"Gue penasaran," ucap Risa pelan.
"Kepo lo nggak usah muncul dulu, deh, gue takut beneran, sumpah." Irene mengernyit seraya menggeleng pelan.
Ghea menggeleng heran kemudian merangkul bahu Risa. "Yuk, Ris! Gue juga penasaran." Ghea menuntun Risa menuju pintu gudang tersebut. Hal itu membuat Irene mau tak mau harus ikut juga.
Mereka sudah berdiri di depan pintu gudang itu. Dengan sedikit ragu, Risa memberanikan diri untuk membukanya. Cewek itu melangkah masuk, diikuti oleh kedua temannya.
Sedikit terkejut, Risa melihat sosok perempuan yang tengah terduduk seraya menunduk di pojok gudang itu. "Permisi ... lo kenapa?"
Perempuan itu tidak menjawab, mereka hanya melihat bahunya yang bergetar saja. "Aduh, Ris, balik, yuk." rengek Irene.
"Lo bisa diem, nggak?" desis Ghea.
Merasa semakin penasaran, Risa melangkah mendekati gadis itu. Gadis yang berseragam sama dengannya. Gadis yang penampilannya sudah tidak ada rupanya. Seragam yang sudah kusut dengan rambut yang sudah tak tertata lagi. Bisa ia pastikan kalau gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
"Hei, lo sadar, kan?" Risa menyentuh bahu gadis itu. Ia sedikit tersentak ketika melihat gadis yang tadi menunduk itu kini mendonnggakkan kepalanya. "Metta?! Lo ngapain di sini?"
Gadis yang bernama Metta itu menggeleng dengan air mata yang mengalir dari matanya. Sungguh, keadaannya sangat memprihatinkan.
"Lo kenal, Ris?" tanya Ghea yang berdiri di samping Risa.
"Iya, dia Metta. Anak IPA 2." Risa menatap Metta dengan tatapan tak percaya. "Lo kenapa? Kenapa bisa kayak gini?"
Gadis yang bernama Metta itu menggeleng pelan. "Nggak. G-gue boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa?"
"Anterin gue pulang."
Risa mengangguk kemudian menatap kedua temannya. "Kita anterin Metta. Ghe, lo liat keadaan di luar. Ren, lo bantu gue bawa Metta."
-o0o-
Risa dan kedua temannya sudah sampai di rumah Metta. Rumah kecil sederhana yang letaknya lumayan dekat dengan sekolah. Mereka tengah duduk di kursi kayu yang ada di sana, menunggu Metta yang tengah pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Maaf, cuma ada ini." Metta meletakan teko yang sudah berisikan air beserta dengan gelasnya.
Risa menatap Metta, keadaan cewek itu sudah tak semenyedihkan tadi. Meskipun beda kelas, Risa mengenalnya. Dulu cewek itu pernah menolongnya ketika ia berada dalam bahaya. "Nggak usah repot-repot."
Metta ikut mendudukkan tubuhnya di samping Risa. "Sorry, ya, gue udah ngerepotin."
"Nggak apa-apa kali, sans ae."
"Lo ngapain di gudang tadi?" tanya Ghea.
"Iya. Keliatannya lo lagi ancur banget," sambung Irene.
Metta menunduk. Bagaimana? Apa sebaiknya ia bercerita? Dengan masih penuh keraguan, Metta mendongakkan kepalanya menatap Risa dan kedua temannya. "Gue semalaman di gudang."
"Ngapain?" tanya Irene heran.
"Lo bener, gue lagi hancur banget." Metta kembali menunduk, bersamaan dengan itu air matanya kembali terurai.
Risa menatap kedua temannya kemudian menyentuh bahu Metta. Tidak lupa ia memberi sapuan halus di sana. "Kalo lo mau, lo boleh cerita ke kita. Siapa tau kita bisa bantu."
"Iya. Ceritain aja," sambung Ghea.
Metta menggelengkan kepalanya dengan bahu yang bergetar. Apakah pantas kalau ia bercerita kepada mereka? Tapi, ia merasa takut. Bagaimana kalau mereka memberitahu masalahnya kepada orang-orang? Tidak, Metta harus ingat kalau Risa bukan orang sekejam itu. Ia sedikit mengenalnya.
"Nggak apa-apa kalo lo belum siap," ucap Risa dengan tangan yang masih mengusap bahu Metta.
Metta kembali mendongak dan memberanikan diri untuk menatap ketiganya. "G-gue ... gue hamil. Gue takut banget. Tolong ... kalian jangan kasih tau siapa-siapa."
To Be Continue...