1. Nyebelin Tapi Sayang
Sepulang sekolah tadi, Risa hanya merebahkan tubuhnya di kasur kamar. Hari ini ia sangat lelah, apalagi jika mengingat permasalahannya dengan Arka yang semakin hari semakin rumit menurutnya. Bolehkah Risa merasa bosan? Sikap Arka benar-benar sangat keterlaluan. Cowok itu sepertinya tidak pernah memperdulikan keberadaannya. Kalau saja ia tidak mengingat perjuangannya untuk mendapatkan cowok itu, mungkin sudah lama ia akhiri saja hubungannya.
Beberapa kali menghela napas kesal, cewek yang mengenakan baju santai itu meraih ponselnya ketika ia mendengar suara notifikasi di sana.
Arka : P
Ris
Hey.
Kemana?
Udh pulang belum?
Larisa.
Maaf.
Gue emang kayak gini, maaf kalo belum bisa kayak gitu.
Sayang....
Risa mengernyit heran. Yang barusan mengirimkan pesan itu beneran Arka? Bukan tanpa alasan ia tidak percaya seperti itu, pasalnya, cowok yang selalu membuatnya kesal bukan main itu tidak pernah mengirimkan pesan sebanyak itu sebelumnya. Apalagi melihat kata terakhir dari pesan itu. Benar-benar sulit dipercaya.
Antara senang dan masih kesal dengan perihal di sekolah tadi, ia bingung harus menanggapi seperti apa pesan itu. Dengan penuh keraguan, akhirnya Risa memilih untuk membalasnya dengan kata-kata singkat saja. Tidak apa-apa, sekali-kali Arka harus merasakan bagaimana rasanya dicuekin oleh pacarnya sendiri.
Risa : Apa?
Arka : Nggak ada apa-apa.
Risa : Ish!
Arka : Kenapa?
Risa hanya membacanya, tidak berniat untuk membalasnya lagi. Memutuskan untuk menjadi bagian dari Arka itu memang membuatnya harus punya rasa sabar yang besar. Dulu, ia memang tidak memusingkan sikap Arka yang selalu cuek kepadanya, tetapi seiring berjalannya waktu, ia merasa lelah. Bagaimanapun, seorang perempuan tetap tidak akan kuat jika selalu diperlakukan seperti ini oleh pasangannya.
Arka : Kok, cuma di read?
Ngambek?
Kok, marah mulu sih?
Kata mama kalo sering marah nanti cepat tua, lo mau?
Risa semakin dibuat tidak mengerti dengan Arka. Bukannya membaik, cowok itu malah semakin membuat mood-nya memburuk.
Risa : Apaan, sih? Nggak jelas banget.
Arka : Dih, beneran cepat tua nanti.
Risa : Terserah.
Arka : Lo masih marah?
Risa : Enggak.
Arka : Ya, terus kenapa?
Risa : Nggak ada apa-apa.
Arka : Cewek emang gini, ya? Ribet banget perasaan.
Risa : Kalo udah tau cewek ribet, ngapain mau pacaran sama cewe?
Arka : Ya, sayang, lah, apa lagi coba?
Percaya atau tidak, Risa tersenyum membacanya.
Risa : Nggak tau.
Arka : Jangan marah lagi. Mau jalan, nggak?
Risa : Kemana?
Arka : Apanya yang kemana?
Risa : Tadi katanya ngajak jalan.
Arka : Pede banget ternyata. Siapa yang ngajak jalan, sih? Gue cuma nanya mau atau enggak, bukan ngajak jalan.
Risa : Oh.
Arka : Oh, doang?
Risa : Maunya gimana?
Arka : Bebas, yang penting ada kata sayangnya.
Risa : Nih, sebenarnya Arka atau siapa, sih? Beda banget perasaan.
Arka : Kenapa? makin romantis, ya?
Risa : Makin nyebelin, tau, nggak?!
Arka : Dih, baper. Ya, udah, cepat ke depan, gue udah pegel, nih.
Benarkah? Risa bingung harus percaya atau tidak. Dengan masih penuh keraguan, akhirnya ia beranjak dari tempat tidur kemudian segera berjalan untuk menuju pintu depan.
Namun, apa yang ia lihat? Tidak ada siapa-siapa di sana. Arka telah membodohinya. Menghela napas. Risa melangkah untuk kembali ke kamarnya. Sudahlah, terlalu berharap dengan Arka hanya akan menyakitinya saja.
Risa kembali melihat ponselnya ketika ada pesan baru yang masuk.
Arka : Percaya banget sama gue, sampe langsung turun ke bawah.
Ya, udah, ke kamar lagi. Kan, gue nya nggak ada.
Demi apapun Risa tidak akan membalas pesan dari Arka lagi. Cowok itu benar-benar menyebalkan, tingkat kekesalannya sudah benar-benar berada ditingkat paling atas sekarang.
Sampai di kamarnya, Risa kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Menutup wajahnya dan berkali-kali menghela napas kesal. Kenapa ia harus dipertemukan dengan makhluk menyebalkan seperti Arka?
Risa mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara ketukan di pintu balkon kamarnya. Merasa penasaran, ia beranjak kemudian berjalan untuk melihat siapa yang sudah mengetuk pintu itu.
"Arka," gumamnya ketika melihat cowok yang sudah membuat emosinya naik turun itu berdiri tepat di hadapannya.
Arka mengangkat salah satu alisnya. "Udah keselnya?"
"Ngapain?"
Arka menghela napas kemudian berjalan menuju kursi yang ada di balkon kamar Risa. "Nggak ngapa-ngapain."
"Gimana caranya ada di sini?" tanya Risa seraya mengikuti Arka dari belakang.
"Nggak usah banyak ngomong. Nih, cepetan makan." Arka menyodorkan kantung plastik kepada Risa. Setelahnya, ia mendudukkan bokongnya di kursi yang ada di sana.
Risa meraih plastik itu. "Duduk di mana?"
"Di sini, mau, nggak?" ucap Arka seraya menepuk pahanya.
Risa menahan senyumnya. "Nggak mau, gue berat."
"Seberat apa, sih?"
"Nggak tau. Kok, tumben lo ke sini?"
"Ngapelin pacar emang salah, ya?"
Risa mengerutkan dahinya bingung. "Kok, lo aneh banget, sih?"
Arka berdecak seraya memutar bola matanya malas. "Biarin, sih, jadi aneh demi pacar seneng nggak masalah, kan?"
"Kok, lo makin aneh, sih? Gue jadi takut lo bukan Arka."
"Gue emang bukan Arka."
"Terus siapa?"
"Tukang kebunnya tetangga. Puas?"
Risa menghela napas pelan, kemudian gadis itu memilih untuk duduk di lantai saja. "Tukang kebun mana ada ganteng kayak lo."
"Emang gue ganteng?"
Risa mengangguk pelan. "Iya, kan, cowok."
"Oh." Arka beranjak kemudian ikut duduk di sebelah Risa. "Gue cowok ganteng pertama yang berprofesi sebagai tukang kebun."
Risa tersenyum menanggapi perkataan Arka. "Kalo gitu, gue jadi ART-nya, deh."
Arka mengangguk kecil. "Bagus, emang cocok, sih."
To Be Continue...