Malam yang Sepi
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, berkabut tipis oleh asap kota yang tak pernah benar-benar lenyap. Di sebuah apartemen kecil di bilangan Kuningan, Lila berdiri di dapur, menatap meja makan yang telah disusun rapi. Lilin beraroma lavender menyala lembut, memantulkan cahaya hangat pada dua piring makan malam yang sudah dingin. Daging rendang dan sayur kolplay yang dia masak dengan penuh harap kini tampak menyedihkan di bawah lampu gantung yang sedikit redup.
Lila melirik jam dinding. Pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Raka seharusnya sudah pulang dua jam lalu. Dia menghela napas, mencoba menahan rasa sesak yang perlahan merayap di dadanya. “Mungkin lembur lagi,” gumamnya, meski suaranya sendiri terdengar tak yakin. Telepon genggamnya tergeletak di samping piring, layarnya kosong tanpa pesan atau panggilan dari Raka.
Dia mengambil ponsel itu, jari-jarinya ragu sejenak sebelum mengetik pesan singkat: “Ka, kamu di mana? Makan malam sudah siap.” Pesan itu terkirim, tapi tanda centang biru tak kunjung muncul. Lila meletakkan ponsel dengan hati-hati, seolah tak ingin merusak harapan kecil yang masih tersisa.
Di luar, suara klakson dan deru kendaraan memecah keheningan malam. Lila berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang-bintang yang terlalu jauh untuk disentuh. Dia teringat malam-malam awal pernikahan mereka, tiga tahun lalu, ketika Raka akan pulang dengan senyum lelah tapi penuh cinta, memeluknya dari belakang sambil menggoda, “Wah, chef Lila masak apa lagi ini?” Kini, pelukan itu terasa seperti kenangan dari kehidupan lain.
Bunyi kunci di pintu depan membuat jantung Lila melonjak. Dia buru-buru kembali ke meja makan, menyibukkan diri dengan merapikan serbet yang sudah rapi. Pintu terbuka, dan Raka masuk, dasinya sedikit longgar, rambutnya agak acak-acakan. Wajahnya lelah, tapi matanya menghindari tatapan Lila.
“Maaf, La, tadi meeting panjang. Proyek baru lagi,” katanya sambil meletakkan tas kerjanya di sofa. Suaranya datar, seperti seseorang yang membaca naskah.
Lila tersenyum kecil, meski dadanya terasa berat. “Gak apa-apa. Aku buat rendang, masih hangat kalau mau makan sekarang.”
Raka melirik meja makan, lalu menggeleng pelan. “Aku udah makan di kantor, La. Tadi tim pesan pizza. Aku cuma mau mandi, terus istirahat. Capek banget hari ini.”
Senyum Lila memudar, tapi dia mengangguk. “Oh, oke. Aku simpan di kulkas ya, buat besok.”
Raka tidak menjawab, sudah berjalan menuju kamar mandi. Bunyi pintu yang tertutup terasa seperti palu kecil yang memukul hati Lila. Dia menatap lilin yang kini meleleh, meninggalkan tetesan lilin di atas meja. Dengan gerakan pelan, dia memadamkan nyala api itu, membiarkan ruangan tenggelam dalam kegelapan yang dingin.
Di dalam hati Lila, ada suara kecil yang berbisik, “Apa aku kehilangan dia?” Tapi dia menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. “Dia cuma sibuk,” katanya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan. Tapi di sudut hatinya, ada bayang-bayang ketakutan yang mulai terbentuk, bayang-bayang yang belum memiliki nama.