Empat

1088 Words
Ketika sahabatnya muncul lagi keesokan harinya, Rosalie menemukan bahwa Irena terlihat sedikit berbeda dari hari-hari sebelum ini. Dia memang masih saja suka memakai setelan berwarna gelap, baik itu hitam, biru donker, sesuatu berwarna suram yang anehnya malah membuat Irena semakin menarik dibandingkan wanita-wanita lain yang lebih senang warna-warna ceria seperti peach, fuschia, pink bahkan salem.  Namun Rose tahu, sesekali Irena pernah memakai baju berwarna terang walau itu sebenarnya bukan pilihannya, melainkan pilihan Liz, sahabat mereka, sang sekretaris ibu direktur. Tapi anehnya, Irena tidak pernah protes. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia jarang menolak sesuatu kecuali terpaksa, atau jika itu berhubungan dengan Jullian.  Mereka tidak akan pernah akur, walau itu bukan kemauan Irena sama sekali. "Hai." Sapa Rose saat melihat Irena masuk. Bunyi denting lonceng setiap jam yang sama di pagi hari selalu menjadi penanda kehadiran gadis itu. "Rose, bunga yang biasa." Katanya sambil tersenyum. Rose mengangguk lalu bergegas mengambil bunga pesanan sahabatnya itu. "Ada yang membuat kamu bahagia sepertinya?" Tanyanya penasaran. Irena dengan cepat mengangguk.  "Yes. Mitsu Naoki akan datang hari ini." Rose berhenti di tempatnya. "Mitsu? Pacar gantengku itu?" Dengan cepat Irena mengangguk. "Yes lagi. Managernya mengontak Liz, mereka mengajak aku buat collab bareng." Sambil masih memegang bunga aster untuk Miranda, Rose menatap Irena dengan rasa kagum. "Aku iri." Katanya tanpa malu, apalagi saat melihat Irena tersenyum padanya penuh arti. "Jangan senyum kayak gitu, Ren. Tahu kamu bakal duet dengan Mitsu, aku bahagia sekaligus sedih."  Irena tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Satu pemandangan yang jarang sekali Rose temukan.  "Karena itu aku datang memberi tahu. Kalau konsernya digelar, kamu dan Mary bakal jadi tamu kehormatan." Rose terlonjak ditempatnya, lalu bertepuk tangan dengan girang persis anak kecil yang mendapat hadiah seperangkat mainan konsol terbaru. "Serius? Janji, loh. Aku bakal jadi orang yang antri nomer satu kalau ucapan kamu benar." Irena dengan cepat mengangguk. "Tapi jangan terlalu senang, nanti ada yang bakal cemburu." Irena tersenyum, membuat rona merah seketika terbit di pipi sahabatnya itu. "Jessee? Dia ngerti banget kesukaan aku. Nggak usah kamu pikirin." Kata Rose masih tersenyum, tidak menyangka impiannya jadi nyata. Irena tersenyum lalu berdiri di depan konter menunggu Rose menyelesaikan pengemasan tiga buket bunga pesanannya dan saat sahabatnya itu selesai ia mengangsurkan kartu debitnya. "Sampai kapan kamu mengunjungi mereka, Ren?" Tanya Rose sambil menekan angka yang terdapat pada mesin debit. Irena mengedikkan bahunya. "Belum tahu." Rose tahu, jika ia membahas lebih lanjut tentang kunjungan ke makam orang tuanya dan Miranda, Irena akan menjadi tidak nyaman dan berusaha pergi sebelum ia bicara lebih banyak lagi. Dia harus mencari topik lain. "Gimana bisa mereka tahu tentang kamu?" Rose mulai bicara lagi. Irena menggeleng. "Entah, Youtube mungkin. Darimana lagi orang-orang tahu tentang aku?" Giliran Rose berdecak. Ia menyerahkan mesin debit kepada Irena. Gadis itu akan menekan angka-angka kode PIN untuk kartunya. "Orang tidak perlu lihat Youtube untuk tahu siapa kamu. Jangan terlalu merendah." Irena hanya menggeleng. "Nggak tahu juga. Kalau bukan dari situ, darimana mereka tahu aku main biola?" Untuk yang satu itu, Rose kehabisan ide. Lagipula struk dari kartu debit tanda transaksi berhasil sudah keluar. Ia menyerahkan benda itu bersama dengan bunga pesanan Irena. "Thanks." Kata Irena. Rose mengangguk. "Anytime." Irena melambai pelan pada Rose lalu melangkah menuju pintu saat ia kemudian sadar tentang sesuatu.  Irena berbalik menatap Rose yang masih memandanginya. "Sore nanti, Mary dan Liz ngajak kumpul bareng. Kamu ikut?" Dengan cepat Rose mengangguk.  "Boleh. Sudah lama nggak ketemuan. Jam berapa?" Irena menatap langit-langit, berusaha mengira-ngira sesuatu. "Sekitar jam empat. Di kafe biasa." Rose mengangguk lagi. "Oke, jam segitu aku bisa." Katanya dengan penuh percaya diri hingga membuat Irena tersenyum entah untuk yang keberapa kalinya pagi itu. "Jangan lupa datang ya, Rose." Katanya lagi. Rose mengangguk. "Pasti."  Irena kemudian berbalik, tapi kepalanya masih menoleh pada Rose.  "Aku pergi dulu, makasih bunganya." Saat Rose hendak mengangguk, bunyi denting bel toko berbunyi nyaring, tepat saat Irena menoleh. Saat itulah ia nyaris jatuh, namun terselamatkan saat satu tangan menyelamatkannya. Bunganya jatuh tapi dia tidak. Jullian? Jantung Irena berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia panik mendapati seseorang yang tadi malam ditemuinya di pesta kakek Richard Rizaldi.  Pemuda itu masih tetap membencinya. Dengan cepat ia melepaskan tangan Irena dan berjalan menuju Rose yang terlihat cemas melihat adegan barusan. "Nggak apa-apa, kan?" Katanya berusaha mendekat. Irena yang masih gugup menggeleng sambil memunguti tiga buket bunga miliknya. "No, I'm okay." Katanya menenangkan Rose saat Irena berhasil memegang bunganya.  "Aku pergi, ya. Sampai jumpa sore nanti." Katanya, lalu Irena dengan terburu-buru membuka pintu dan keluar dengan langkah tergesa-gesa. Rose mendesah. "Aku belum sempat bilang 'dadah', dia sudah kabur."  Jullian yang sedang memperhatikan tumpukan lilin aromaterapi di dekat meja konter hanya melirik sekilas pada Rose, lalu berjalan dengan perlahan menuju ruang sebelah yang digunakan wanita itu sebagai tempat beristirahat dan juga dapur. "Aku bawa sarapan." Kata Jullian dengan suara ringan, seolah tidak peduli dengan apa yang barusan terjadi. Rose segera menyusulnya. "Jessee, kamu memang keterlaluan." Gerutunya. Jullian yang kini mengambil piring dari lemari kabinet kecil yang terdapat di bawah meja dapur menatap Rose heran. "Aku kenapa?" "Kamu nabrak Irena sampe hampir jatuh, dan respon kamu cuma 'aku kenapa'?" Jullian tidak menjawab, namun ia dengan perlahan berjalan menuju meja makan dan mulai menuang nasi uduk ke dalam piring yang di bawanya tadi. "Makan, Rose." Suruhnya seraya mengangsurkan piring yang sudah berisi nasi pada wanita itu. "Kamu itu...?" Jullian menghela napas sebelum bicara. "Aku kenapa?" Rose menggeleng. Ia lalu dengan gusar menarik salah satu kursi dan memandangi nasi uduknya dengan perasaan kesal. Selalu saja soal Irena dan Jullian membuatnya ingin marah dan memaki. Tapi dia bisa apa? "Semalam aku bisa tidur nyenyak." Suara Jullian yang sedang menyendok nasi membuat Rose menoleh padanya. "Tidur nyenyak? Nggak mimpi buruk lagi?" Tanya Rose berusaha memastikan. Sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya, Jullian mengangguk. "Ya. Pertama kali setelah bertahun-tahun. Mau tahu kenapa?"  Rose mengangguk. Dengan penuh percaya diri Jullian tersenyum. "Aku ketemu seorang cewek. Cantik dan luar biasa baik hati. Cuma lima atau sepuluh menit, tapi efeknya membuat aku bahagia sampai pagi." Rose merasa dadanya diremas-remas. Jullian mengatakan hal itu dengan enteng tanpa menyadari perasaannya. Bahkan ia terus saja bicara setelahnya. "Namanya Natasha." Katanya sambil tersenyum, mengenang kejadian tadi malam. "Tidak butuh obat tidur, dan aku bisa tidur nyenyak. Luar biasa, kan?" Rose tidak bisa menjawab. Nasi yang tadi tampak menggiurkan, kini malah membuatnya tidak bernafsu lagi. "Malam nanti aku mau cari dia lagi. Siapa tahu, kami bisa lebih akrab." Kata Jullian sambil tersenyum. "Kenapa bengong? Makan nasinya, nanti maag kamu kambuh." Katanya lagi. Membuat Rose yang masih menahan nyeri di dadanya mengangguk pelan. "Iya, aku makan." Kamu anggap apa aku ini, Jes? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD