Malam itu, usai menghadiri undangan yang diberikan oleh kakek Irena, Jullian tidak langsung pulang. Segera setelah ia meninggalkan Irena dalam kekesalan yang luar biasa karena tidak kuasa menolak permintaan orang tua yang sangat ia hormati itu, Jullian langsung menuju rumah Rose yang berada tidak jauh dengan rumahnya. Sayang gadis itu masih berada di tokonya, dan dia terlalu tidak bersemangat untuk menyusulnya.
Jadi mampirlah Jullian di sebuah bar, sambil menikmati alunan musik menghentak dari arah panggung sambil menikmati sebotol bir dingin sendirian. Cukup bir, karena dia mengemudi malam ini.
A dance won't kill
Ia tidak percaya mengucapkannya didepan wanita itu. Bahkan ia nyaris tidak percaya mereka bertemu, hingga ia sadar kalau Irena adalah cucu Richard Rizaldi. Ia boleh benci kepada cucunya, tapi tidak untuk sang kakek yang pernah menjadi mentornya selama beberapa tahun.
Wanita dingin itu bahkan tetap terlihat kaku setelah sekian lama. Ia heran kenapa Rose bisa berteman dengannya selama bertahun-tahun.
Bukankah mereka berdua dulu juga pernah lebih dari sekedar teman?
Jullian memejamkan matanya. Aroma rokok bercampur dengan alkohol serta musik bising yang menguar di dalam bar membuatnya sedikit melayang. Ia tidak mabuk, tentu saja, tapi gadis yang berada dalam dekapannya tadi mengingatkannya akan sesuatu yang pernah terjadi diantara mereka berdua saat berada di koridor sekolah yang sepi, atau di sudut kelas yang ditinggal para pelajarnya.
Ia terkekeh.
Cinta monyet selalu terasa lebih manis dari apapun.
Jullian melirik jam tangannya, sudah jam setengah sebelas. Ia sebaiknya pulang dan memutuskan untuk beristirahat. Semakin lama berada di sini membuat kepalanya bertambah pusing.
Ia segera bangkit, melayangkan beberapa lembar uang tips kepada pramusaji lalu meninggalkan tempat itu.
Didepan bar yang musiknya masih terdengar sampai pelataran parkir, ia menjatuhkan kunci mobilnya. Jullian kemudian menunduk dan meraih kunci yang kini tergeletak di tanah, lalu tidak sadar pandangannya tertuju pada seseorang yang mendorong motor bututnya yang mogok dengan susah payah.
Dilihat dari bentuk tubuhnya, ia yakin sang pemilik adalah seorang perempuan.
Jullian tanpa ragu mendekatinya.
"Butuh bantuan?" Katanya.
Sang pemilik sepeda motor menoleh ke arahnya, lalu dengan raut wajah kebingungan ia menggeleng.
"Motornya mogok, kan? Saya bisa bantu."
Dia cantik, pikir Jullian ketika ia melihat bahwa si pemilik motor sesuai dengan tebakannya, wanita.
Wanita itu mencoba tersenyum, hidung mancung dan matanya yang dibingkai dengan kacamata mengingatkan Jullian pada seseorang, namun ia tidak tahu siapa.
Rambutnya berpotongan model bob, namun terlihat walau ditutupi oleh hoodie jaket yang ia kenakan malam itu.
"Tidak baik malam-malam begini berjalan dengan motor yang mogok. Bengkel banyak yang tutup." Kata Jullian sambil mulai memeriksa bagian motor yang dirasa menjadi penyebab mesin mati.
Wanita itu kemudian memindahkan beberapa bungkusan besar yang ia letakkan dimotornya agar Jullian leluasa untuk memeriksa motornya. Pria itu menoleh untuk melihat apa yang wanita itu lakukan, namun ia kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Ada masalah di busi." Katanya.
Wanita itu diam memperhatikan Jullian.
"Omong-omong, siapa namamu?" Tanyanya. Si wanita mendadak tergagap, namun kemudian ia menguasai dirinya, lalu menyebut namanya.
"Natasha."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya."
Natasha tidak menjawab, tapi Jullian tahu wanita itu tersenyum.
"Aku Jullian, kalau kamu ingin tahu namaku."
Natasha tidak menjawab, namun ia mengangguk ketika Jullian menoleh.
"Dari beli sesuatu?" Tanya Jullian lagi saat melihat ukuran bungkusan yang dibawa Natasha begitu besar. Ia menebak wanita ini mungkin belanja kebutuhan bulanan.
"Bisa dibilang begitu." Jawab Natasha.
"Oke, kita hidupkan dulu motornya." Kata Jullian setelah selesai dengan urusan busi. Ia mencoba mengengkol motor dan setelah tiga kali berusaha, motor itu akhirnya menyala lagi. Natasha menghela napas lega.
"Kalau mogok lagi, langsung bawa ke bengkel saja." Kata Jullian setelah ia selesai dengan urusan motor, dan menepuk kedua tangannya, berusaha membersihkan tangannya dari debu dan bekas oli yang menempel.
"Terima kasih." Natasha tersenyum.
"Tidak masalah." Balas Jullian.
Wanita itu kemudian meletakkan kembali bungkusan besar yang ia pegang tadi ke stang motornya, lalu ia menoleh kepada Jullian untuk yang terakhir kalinya.
"Dah." Katanya pendek. Lalu dengan perlahan motornya langsung melaju dari tempat itu.
Jullian mendesah. Wanita cantik seperti Natasha tidak akan sering terlihat sambil mendorong motor seperti ini. Harusnya wanita seperti dia berada di klub, menikmati hingar bingar musik, bersantai dari kerasnya hidup.
Tidak semua orang mempunyai pilihan seperti itu.
Kemudian ia kembali ke parkiran, masuk ke mobil dan menyalakan mesinnya. Belum genap jam sebelas, pertemuannya dengan Natasha tadi hanya berlangsung beberapa menit. Namun, ia merasa sesuatu terjadi di hatinya. Menyenangkan melihat wanita itu tersenyum.
Setelah menghabiskan waktu sekitar lima menit diparkiran, Jullian akhirnya mulai melajukan mobilnya untuk kembali ke rumah. Saat dirinya berada di persimpangan lampu merah, sosok Natasha terlihat sedang membagikan bungkusan yang ia ambil dari kantong besar yang ia bawa tadi kepada beberapa tunawisma.
Jullian tersenyum.
Entah kenapa, pada akhirnya ia memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di sebuah sisi trotoar tidak jauh dari lampu merah, dan berjalan santai menuju tempat natasha berada.
Wanita itu tidak menyadari saat Jullian mendekat. Ia masih saja sibuk berjalan kesana-kemari mengedarkan bungkusan, yang kemudian di sadari oleh pria itu adalah nasi bungkus, kepada beberapa orang yang tersisa, termasuk penjual asongan, pengamen dan tukang ojek.
Saat nasi didalam kantongnya habis, Natasha kembali ke motornya, dan mengambil satu buah bungkusan besar lainnya, ia langsung terperanjat menemukan sosok Jullian berdiri di samping motornya sambil tersenyum.
"Waw." Katanya kagum.
Natasha menundukkan kepalanyanya, namun Jullian yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini tidak bisa mengalihkan pandangannya pada wanita itu.
"Aku tidak tahu kalau kamu melakukan hal ini."
Natasha tidak tertarik untuk menanggapi. Ia mengambil satu bungkusan besar yang tersisa lalu mulai berjalan menjauh meninggalkan Jullian yang segera mengejarnya.
"Hei, kukira tadi aku baru menolongmu dengan motor mogok." Katanya sambil mensejajarkan langkah kakinya dengan Natasha yang mulai terlihat buru-buru. Wanita itu menghentikan langkahnya dan menatap Jullian seakan ia lupa berterima kasih padanya.
"Oke, terima kasih. Ada lagi?" Tanyanya, seraya kembali berjalan, lalu mulai membagikan bungkusan nasi kepada orang-orang yang nongkrong di pinggir jalan, yang seperti sebelumnya, kebanyakan tuna wisma.
"Makasih, neng." Kata seorang pria tua bergigi ompong dengan sarung kumal dan topi hansip yang lusuh.
"Sama-sama, bapak. Semoga kenyang." Natasha tersenyum. Ia lalu beranjak menuju dua orang anak kecil yang meringkuk di ujung ruko beralaskan kardus tipis.
"Dek, ada nasi. Dimakan, ya." Katanya. Membagikan seorang satu untuk mereka yang tentu saja diterima mereka dengan senang hati.
Natasha berjalan semakin cepat, tanpa memedulikan Jullian yang mengekorinya, namun sepertinya Jullian sadar, maka ia menunggunya selesai dengan urusannya. Toh pada akhirnya wanita itu akan kembali menuju motornya.
Tebakan Jullian tepat. Tak sampai lima menit Natasha sudah kembali dan tanpa basa-basi ia langsung menaiki motornya, tanpa memperdulikan Jullian yang berdiri di depan motornya.
"Kamu setiap hari melakukan hal ini?" Tanyanya. Natasha menggeleng.
"Kadang-kadang." Balasnya pendek. Jullian mengangguk-angguk tanda mengerti sebelum ia memutuskan untuk bicara lagi.
"Menurutmu, kita akan bertemu lagi?" Tanyanya.
Dengan mata indahnya yang tiba-tiba menyipit mendengar ucapan pria itu, Natasha hanya tersenyum getir sebelum ia membalas ucapan pria itu.
"Kuharap tidak." Katanya.
Lalu dengan cepat ia berlalu meninggalkan Jullian yang masih terpaku menatap sosoknya yang mulai menghilang di telan kegelapan malam.
"Natasha..." Gumamnya, sambil tersenyum mengingat saat-saat wanita itu menyebutkan namanya sendiri.
"Aku pastikan kita akan bertemu lagi."
***