satu

845 Words
“Lin, gimana soal rencana kita ke Turki dua bulan lagi? Tinggal lo doang nih yang belum setor uangnya, kata lo mau bayar minggu ini. Kan biar bisa cepet diurus.”   “Sabar dong Nat, gue masih bujukin bokap nih buat minta uangnya. TAPI lo tenang aja, gue pasti ikut kokkk!”   “Lo emang belum ada buat bayar setengahnya aja dulu? Nanti sisanya gue talangin deh sementara, yang penting lo bayar dulu aja separuhnya. Si Vera udah bawel banget nanyain terus lo beneran mau ikut apa enggak, dia kan panikan anaknya.”   “Duh Nat, kalau memang gue punya uang pasti gue udah bayar dari kemarin. Masalahnya duit gue beneran abis banget buat bayar tas kemarin.”   “Astaga Alinnn, lo beli apaan lagi sih nyet? Udah tau mau jalan-jalan kok lo masih aja jajan boros gitu?”   “Sumpah Nat, itu chanel yang gue mau belum ada di Indonesia terus kebetulan banget kemarin ada yang jastipin. Itu aja gue berebutan sama empat orang!”   “Yaudah lah, lo nggak usah ikut aja.”   “Ih Naaat! Udah deh lo tenang aja pokoknya gue bakalan ikut. Ikut!”   Panggilan antara Alinka dan Renata—sahabatnya—tertutup. Lebih tepatnya Alinka yang menutupnya karena kesal dengan fakta kalau dirinya saat ini sedang dilanda krisis. Sebuah krisis yang bisa membuat Alinka uring-uringan dan stres berat. Iya, krisis ekonomi!   Ada satu hal yang paling Alinka cintai di dunia, melebihi kecintaannya pada Park Seo Joon, Lee Min Ho bahkan Hyun Bin. Hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah uang.   Ada satu prinsip yang selalu Alinka pegang. Jika menjadi orang kaya saja belum tentu bahagia, apalagi miskin. Alinka tidak merendahkan apalagi menghina orang miskin, jelas kemiskinan bukan sesuatu yang orang inginkan tetapi juga faktor nasib. Meski dalam kasus Alinka, ia selalu berusaha keras untuk tidak pernah merasakan hal tersebut.   Meski tidak harus kaya raya seperti keluarga si pemilik perusahaan jamu, Hartadi. Atau sekaya keluarga para old money lainnya, minimal Alinka tidak boleh merasakan saldo atmnya berada di bawah angka dua juta.   Alinka Naresha Rusnandi tidak tahu sejak kapan jiwa matrealistisnya mulai tumbuh. Usianya saat ini baru menginjak dua puluh dua tahun. Dua bulan lalu, Alinka baru melepas secara resmi statusnya sebagai mahasiswa dengan menjadi seorang sarjana ekonomi lulusan salah satu universitas swasta di Jakarta.   Alinka lahir dan tumbuh di keluarga yang memang cukup berada meski juga tidak bisa dikategorikan milarder. Setidaknya sejak kecil, Alinka nyaris tidak pernah merasakan hidup susah.   Memasuki dunia perkuliahan, Alinka mulai menyukai mengoleksi make up dan beberapa tas branded serta pergi traveling. Uang saku dari orang tuanya semakin gampang habis sebelum waktunya. Keborosan Alinka karena sifat foya-foya gadis itu pun terbawa hingga akhirnya Alinka lulus kuliah.   Melihat tidak ada perubahan dari anak perempuannya, Rudi—Papa Alinka—mengeluarkan mandat bahwa sejak perempuan itu lulus kuliah, ia tidak akan lagi memberikan gadis itu uang saku. Untuk kebutuhan rumah tangga, semua harus diminta melalui bendahara di rumah mereka yang tidak lain dan tidak bukan adalah sang Mama, Desi.   “Pap! Tapi Alin sama temen-temen Alin yang lain sudah planning soal liburan ini dari sebelum kita sidang! Kan Alin udah berhasil nyelesain kuliah Alin tepat waktu, Pap, bahkan IPK Alin pun tinggi! Masa Papa nggak mau sih kasih reward?” Alinka merengek sambil mengekori Papanya yang kini sedang berjalan dari ruang makan ke ruang kerja di lantai dua.   “Nggak, Alin, sekali nggak ya nggak,” ucap Rudi final. “Kan Papa udah bilang, kalau kamu nggak akan Papa kasih uang saku lagi. Kalau kamu perlu uang, ya kerja. Kamu nih sudah besar!”   “Pap!” Alinka berseru tidak terima, “Alin kan udah bilang Alin bakalan cari kerja, tapi Alin mau liburan dulu buat rayain kelulusan bareng temen-temen Alin, Pap, ya please?”   “Ya pakai uang kamu, jangan minta Papa. Itu kan liburan rencana kamu sendiri, bukan acara keluarga kita.”   “Alin mana punya uang, Pap!”   “Karena kamu boros!” Rudi menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan kelakuan putrinya tersebut. “Ke mana perginya  semua uang kamu, coba? THR lebaran dari Papa dan Mama, belum lagi dari om-om dan tante kamu. Lalu jangan lupa uang saku kamu padahal mulai semester tujuh kamu sudah tidak ada matkul dan nggak harus ke kampus.”   “Ih Pap, uang itu kan kepake buat biaya skripsian.”   “Memangnya Papa nggak tahu kalau uang skripsian kamu itu minta lagi ke Mama, hah?”   Alinka langsung merapatkan mulutnya. Percuma saja berbohong dengan papa, kepala keluarga Rusnandi itu tidak akan bisa ditipu. Dan semua yang dikatakan Rudi benar adanya, Alinka memang boros. Semua uang itu habis untuk bersenang-senang atau belanja make up dan tas. Saat ini rekeningnya benar-benar nyaris nol.   “Pap, aku pinjem uang aja deh! Aku janji pulang dari Turki nanti aku cari kerja dan ganti uang Papa, gimana?” Alinka melayangkan tawaran terakhirnya, berharap sang Papa akan luluh. “Please, Pap…”   “Papa akan pinjamin kamu uang, tapi kamu harus keterima kerja dulu.”   “Ya nggak gitu dong, Pap!” Alinka berseru protes. “Kalau Alin udah dapat kerja ngapain Alin pinjam uang ke Papa.”   “Memangnya kamu pikir kalau kamu keterima kerja kamu bakalan digaji di muka? Kan harus sebulan kerja dulu sedangkan kamu butuh uangnya minggu depan, kan?”   Alinka masih memasang wajah cemberutnya. “Ya terus?”   “Kamu apply lamaran kerja. Minimal kamu harus sampai lolos tahap interview, buktiin ke Papa kamu betulan serius mencari kerja. Nanti Papa pinjami uang.”   “SERIUS?”   Alinka bersorak kegirangan. Menganggap remeh tantangan sang Papa tanpa tahu jika mencari pekerjaan itu tidaklah semudah orang berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD