Suara rintih kesakitan

1021 Words
Bab 8 Aku memandikan kuda-kuda dengan air yang hampir sama dinginnya dengan salju. Cuaca sangat dingin tapi Ibu memaksaku untuk memandikan semua kuda disini. Aku menyikat kulit perut lexi, kuda jantan berwarna coklat pekat dengan air dan sabun. Tanganku sudah berkerut tapi aku masih harus memandikan rianca, kuda betina berwarna putih milikku. Istal bersebelahan langsung dengan deretan pohon maple yang kini tinggal batangnya saja sementara daun-daunnya telah hilang berganti kristal-kristal es di setiap rantingnya.  Aku mendengar suara berisik beserta suara lengkingan hewan yang terdengar kesakitan, suaranya terlalu sendu hingga aku tidak bisa menghiraukannya begitu saja. Penasaran, aku mencari sumber suara dengan menyipitkan mata, mengedarkan pandangan ke arah hutan. Tetapi saat suara lengkingan itu menghilang, aku kembali memandikan lexi. Mungkin aku salah dengar. Suara lengkingan itu kembali terdengar dan kini semakin terasa sangat menyakitkan, rasanya seperti aku ikut merasa kesakitan. Aku tidak bisa berdiam diri terlalu lama, aku yakin hewan itu tidak jauh dari istal dan maple karena suaranya terdengar meski tidak terlalu jelas. Aku mendekati arah suara, menghalau rimbunan ranting-ranting pohon hingga kurasa aku melihat seekor anjing berwarna hitam pekat. Hewan itu terluka parah, kulitnya seperti habis dicakar hewan lain dengan bentuk goresan memanjang sekitar tiga puluh centi di bagian perut dengan darah mengotori bulu putihnya. Perlahan aku mendekatinya, menyentuhnya dan sesaat ia menatapku lekat. "Tenanglah! ... Aku akan menolongmu," ucapku dan ajaibnya, aku merasa ia mematuhiku. Setelah jarak kami sangat dekat, barulah aku sadar bahwa binatang ini bukan anjing, melainkan seekor serigala namun dengan postur lebih besar sehingga aku salah saat mengenalinya dari kejauhan tadi. Aku menatapnya beberapa lama kemudian aku tersadar jika ternyata serigala itu juga menatapku dengan mata seolah berkata ia sedang sangat kesakitan. Perlahan aku mengulurkan tangan. Pada awalnya aku merasa takut jika ia malah menggigitku, tetapi nyatanya semakin tanganku dekat, ia justru menutup kedua mata. Mengijinkanku untuk menyentuhnya, membelai kepalanya. “Aku akan menolongmu.” Karena itu yang harus aku lakukan kepadanya. Namaku wolfy.Suara itu membuatku terkejut, aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu memutar badan. Kupikir seseorang berbicara di dekat sini, tapi siapa lagi yang nekat masuk hutan ini kecuali aku? Wolfy adalah namaku. Suara itu kembali kudengar seolah seperti suara bisikan yang sangat lembut. Mungkin itu suara hatiku sendiri yang menginginkan serigala sakit ini harus memiliki nama panggilan. Kurasa wolfy bukan nama yang buruk. “Wolfy, aku akan mengangkatmu. Kamu jangan melakukan apapun kepadaku seperti mencakar atau menggigitku. Ehm, meskipun pada prosesnya nanti, kamu mungkin akan kesakitan.” Aku tertawa geli, membayangkan bagaimana wolfy bisa mengerti dengan apa yang aku katakan namun saat ia mengangguk dan merebahkan kepala, bersiap menerima tanganku. Sebetulnya, aku merasa ia memang mengerti apa yang aku katakan. Aku memeluknya dari belakang, menggunakan dua kakinya sebagai penyangga agar badannya tidak merosot saat kutarik. Aku berusaha menggendongnya tapi ia terlalu berat. Wolfy melengking kesakitan namun ia berusaha tidak bergerak seolah ia mematuhi perintahku tadi. Dua kali aku mencobanya tapi tetap saja aku tidak berhasil jadi aku harus mencari cara lain untuk membawa wolfy. "Tunggulah sebentar! Aku akan kembali." Tanpa menunggu lagi, aku segera kembali ke istal, mencari-cari sesuatu yang bisa kugunakan untuk menarik seekor serigala raksasa. Mengingat akan wolfy tak ayal membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Bukan niatku untuk menertawai lukanya, hanya saja aku bisa berdekatan dengan serigala liar adalah hal yang seharusnya mustahil. Bagaimana bisa aku dengan mudah percaya dengan hewan buas yang sedang terluka itu? Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana wolfy sangat menikmati daging domba dengan gigi-giginya yang runcing. Aku menggeleng, membuang pikiran aneh yang baru saja datang. Wolfy harus diselamatkan dan aku harus merawatnya, memberinya makan, memeliharanya dan menjadikannya sebagai ... sahabatku. *** Meletakkan karung di dekat wolfy lalu menyeret tubuh besarnya ke atas karung, butuh kekuatan penuh untuk bisa melakukannya. Beruntung wolfy sama sekali tidak melakukan perlawanan, ia hanya merintih tapi itupun tidak terlalu terdengar. Kuseret karung dengan wolfy di atasnya. Perlahan, menembus semak-semak yang rimbun bukanlah hal yang mudah namun toh tetap berhasil kulakukan. Melewati padang rumput yang gersang hingga akhirnya berakhir di depan pintu dapur. Aku menarik karung hingga ke depan perapian di dapur. Sesaat aku merenggangkan tubuhku yang pegal lalu aku mengambil obat untuk mengobati lukanya, memberinya semangkok s**u dan membuatkannya tempat tidur beralaskan pakaian lusuh. "Mulai sekarang, tinggallah bersamaku! Aku adalah sahabatmu," ucapku. “Nona, apa tidak apa-apa membawa seekor ... astaga. Itu ... serigala!” pekik Dolores, ia menutup mulut menggunakan dua tangannya. Ia memandang wolfy seolah wolfy adalah seekor monster yang harus diwaspadai. “Dia wolfy. Kamu memang benar dia serigala tetapi kurasa dia baik.” Setidaknya itu yang kurasakan. “Siapa yang akan percaya? Nona, dia berbahaya.” Dolores mundur beberapa langkah, ia masih terlihat takut dengan wolfy meskipun wolfy menunjukkan tatapan ramah dan meminta tolong. “Kurasa kamu benar. Tapi aku sudah menghadapi seseorang yang lebih buas bahkan lebih buas dari wolfy. Lalu apa yang kutakutkan?” Ibu seribu kali lebih menakutkan daripada wolfy. Dolores memandangku beberapa lama, ia mengangguk setelah mengernyitkan dahi. Kurasa ia sependapat denganku. “Anda benar, Nona.” Dolores memilih menghindar namun tidak lagi berkata apapun. Aku duduk di sebelah wolfy, menggunakan kedua pahaku untuk menjadi bantalan kepalanya sementara aku sibuk menyuapinya makan dengan menggunakan sendok untuk memasukkan daging giling. Rasanya senang sekali memiliki seekor hewan peliharaan seperti wolfy. “Mulai sekarang, kamu bersamaku. Selamanya.” Kucium puncak kepala wolfy, baunya membuatku nyaman dan merasa memiliki keterikatan khusus dengannya  hingga aku senang menghirupnya dalam-dalam. Clara datang ke dapur dengan membawa sebuah gelas, ia memandangku dan wolfy dengan tatapan jijik, seolah wolfy atau lebih tepatnya kami adalah sampah yang baru saja dipungut. “Ella. Buang anjingmu karena Ibu tidak akan menyukainya.” Entah apa yang sedang Clara lakukan di dapur kecuali sedang berkacak pinggang sambil memandangku dan wolfy. “Aku tidak peduli.” “Seharusnya kamu peduli karena jika Ibu marah, apapun bisa terjadi.” Gadis itu memandang jijik ke arah wolfy, seperti ia juga jijik saat memandangku. Aku tidak tahu kenapa Clara dan Bianca begitu sangat tidak menyukaiku setelah semua ia dapatkan dari keluargaku. “Terima kasih atas saranmu tapi aku tidak takut dengan Ibu.” “Apa yang sedang kalian bicarakan? ... wow, kejutan.” Ibu datang di saat yang sangat tepat. Berdiri sambil berkacak pinggang, menatap wolfy dengan tatapan sama seperti yang anaknya lakukan. “Sebaiknya singkirkan itu!” Ibu menggosok jemarinya seolah sedang membersihkan jemarinya dari kuman. Aku memandang Wolfy yang tiba-tiba berusaha berdiri sambil merintih kesakitan, seakan ia ingin sekali melindungiku. Bagaimana bisa aku tak langsung suka padanya, kalau sikapnya sudah semanis ini sejak pertama kali berjumpa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD