Kematian ayah bagian 2

1072 Words
"Ella bangun!" Seseorang berteriak tepat di telingaku. Aku membuka mata tapi saat tidak lama kemudian pandanganku hanya melihat kamar yang berputar, aku memilih kembali memejamkan mata. "Bangun anak pemalas!" Kali ini bukan hanya teriakan, seseorang menarik kakiku hingga aku terjatuh ke lantai yang untungnya beralaskan bulu domba yang empuk. Ibu berdiri di dekat ranjang, dengan dua tangan dilipat. Bianca dan Clara ada di sebelahnya sedang cekikikan tidak jelas. "Maaf Ibu. Aku...." "Periksa ayam, sapi, kuda dan domba! Beri makan mereka! Para pekerja sedang libur." Ibu memotong ucapanku dengan perintah-perintah tidak masuk akal seolah aku salah satu dari pekerja. Bahkan jika itu pekerja, aku tidak akan menyuruhnya melakukan semua hal itu dalam satu hari. "Tapi itu pekerjaan pelayan. Lagipula aku sakit sekarang. Clara dan Bianca bisa melakukannya kan."Kurasa Ibu salah menganggapku. Aku memang suka membantu, tetapi bukan berarti aku mau diperintah olehnya. "AKU!" pekik Clara dan Bianca bersamaan. Keduanya menunjuk diri mereka sendiri, tidak percaya aku meminta mereka melakukannya. "Kerjakan sekarang atau aku tidak memberimu makan. Jangan malas-malasan. Cepat lakukan!" Suara keras Ibu membuatku tersentak. Baru kali ini aku mendengar suaranya yang terdengar begitu sangat mengerikan. Aku bergeming, kuharap apa yang kudengar tadi hanya bagian halusinasi karena aku terlalu sakit dan aku yakin aku sedang demam. Suhu tinggi terkadang membuat orang menjadi linglung dan mengigau kan. Kuharap itulah yang terjadi padaku. Tapi sayangnya, aku tidak sesakit itu karena sudah jelas saat Ibu menarik tanganku, aku benar-benar berdiri di hadapannya. Matanya yang berbentuk bulan sabit menatapku tajam, seolah jika aku tidak melaksanakan tugas darinya maka akan ada konsekuensi yang akan aku terima. “Lakukan sekarang, Ella!” Sudah jelas Ibu tidak main-main dengan perintahnya tetapi kenapa harus aku saja sementara ada Bianca dan Clara? Ah, tentu saja karena keduanya anak kandung sementara aku hanyalah ... anak tiri. *** Tubuh lemahku benar-benar terkuras setelah selesai memberi makan ayam, kini yang tersisa dariku hanya lelah dan lapar. Sangat lapar. Di luar kandang ayam, aku duduk sambil menyelonjorkan kaki dan menyandarkan badan pada dinding untuk melepas lelah sambil memejamkan kedua mata. Hari yang sangat melelahkan tapi justru sesaat membuatku lupa akan kepergian Ayah. "Nona Ella. Nyonya memanggilmu." Suara Dolores membuatku membuka mata. Kupikir semua pelayan benar-benar sedang diliburkan tetapi saat aku melihat Dolores, aku merasa bersyukur karena masih ada pelayan lain di rumah ini. “Kupikir....” Semua diliburkan Ibu dengan alasan masa berkabung. “Semua memang sedang libur, Nona. Tetapi saya memaksa tetap disini karena saya yakin anda membutuhkan saya.” Ucapan Dolores membuatku benar-benar bersyukur memiliki Dolores di rumah ini. Aku tersenyum, masih dengan mendongak demi menatap langsung ke wajah Dolores. Aku mengernyitkan dahi setelah melihat dua alis Dolores bertaut, ia ingin mengatakan sesuatu namun dua tangannya dipilin sejak kedatangannya, tanda ia sedang sangat gugup. "Katakan padaku! Sebenarnya ada apa?” Aku ingin segera tahu pangkal masalah yang membuatnya terlihat sangat-sangat gugup. "Sebenarnya Mr. Dexter datang untuk membacakan wasiat. Semua keluarga harus hadir katanya." Dolores mengembuskan napas penuh syukur namun kemudian kedua matanya menerawang, sesuatu sedang menaungi pikirannya. "Nyonya sungguh tidak berperasaan. Disaat Nona berkabung, ia malah memaksa Nona untuk bekerja. Semoga Tuan di surga menghukum kejahatannya," umpat Dolores. Aku tersenyum, senang mendengar wanita itu mengumpat Ibu karena aku tidak terlalu pandai mengumpat orang jadi mendengarnya membuatku merasa seperti menemukan buah cherry di musim dingin. *** Duduk di ruang keluarga, di dekat perapian yang menyala. Bersama Ibu, Clara dan Bianca serta Mr. Dexter yang merupakan pengacara keluarga Madamoissale, Redrick yang sedang duduk di sebelahku. Aku menunggu wasiat yang kini tengah dibuka oleh Mr. Dexter. Sejujurnya aku tidak terlalu suka gagasan membaca surat wasiat padahal Ayah baru saja dimakamkan tapi ini memang sedang terjadi. Aku hanya bisa menunggu sampai surat wasiat itu dibacakan. "Sudah berkumpul semuanya?" Meski terkesan bertanya tetapi ekspresi mukanya justru menjawab bahwa sebenarnya semua orang yang berhubungan dengan surat wasiat itu sudah ada di dalam ruangan ini. "Bacakan sekarang Dexter!" perintah Ibu dengan tidak sabar. Melihat wanita itu, aku merasa ia seperti makhluk asing yang turun ke bumi. Bagaimana bisa seorang istri yang baru kemarin ditinggal mati suaminya masih terlihat tenang dan jelas pakaian berwarna hitam, dengan belahan d**a rendah yang ia beli dari butik terkenal, bukanlah pilihan yang pantas untuk dikenakan oleh wanita yang baru saja ditinggal suaminya. Meski warna pakaian itu hitam tapi tidak mencerminkan rasa bela sungkawa sama sekali. Aku justru merasa ia sedang menunjukkan dirinya bahwa ia adalah seorang wanita kaya dengan pakaian bermerk ternama. Sepasang anting berlian begitu mengkilap membingkai kedua telinganya. Leher jenjang dihiasi untaian mutiara yang indah dan pergelangan tangannya juga dihiasi gelang senada dengan kalungnya. Secara keseluruhan, Ibu tampak sangat mewah dan berkelas. Ibu menaikkan satu alisnya, membangunkanku dari kekaguman negatif dari sosoknya. Wanita yang sulit untuk kuketahui hatinya kecuali bahwa wanita ini memiliki sebuah rencana besar. "Baiklah. Akan kubacakan sekarang," kata Mr. Dexter. Pria itu memakai kacamata kecil yang digunakan saat ia membaca atau melihat ke jarak dekat. "Cepatlah! Kami menunggu." Clara pun tidak sabar dengan Mr. Dexter. Gadis itu mengenakan dress berwarna hijau elektrik, sungguh sangat tidak sopan padahal ayah tirinya baru saja dikebumikan tapi gadis itu justru memakai pakaian layaknya akan pergi ke pesta. Mr. Dexter mulai membaca wasiat Ayah, dengan suara lantang hingga aku yang sedang melawan rasa tidak enak badan pun dapat mendengarnya. Bahwa semua yang ada pada Madamoissale harus tetap ada termasuk para pelayan dan pekerja, tidak boleh ada yang keluar dari kastil Madamoissale kecuali mereka yang meminta. "Redrick, aku berikan paviliun Madamoissale untukmu, Dexter akan mengurus surat-surat yang kau perlukan. Tetaplah melayani keluarga Madamoissale meskipun aku telah tiada dan jaga putriku dengan baik!" Redrick berdiri, ia membungkuk di depan Mr. Dexter yang masih memegang surat wasiat seolah Redrick sedang menghormat kepada mendiang ayah. “Istriku Esperanza, kuberikan dirimu tanah seluas lima hektar serta butik yang telah kita dirikan di kota Sommerset ... Putriku Clara dan Bianca. Kalian akan mendapat uang saku sebesar seribu crown (senilai seribu dolar) perbulan, pendidikan hingga sarjana dan dapat bekerja di perusahaan Madamoissale sesuai kemampuan kalian." "Aku yakin surat itu palsu," geram Ibu. Matanya melotot kepada MR. Dexter. Tetapi sepertinya Mr. Dexter tak peduli. "Maaf Nyonya. Saya harus melanjutkan surat wasiat atau kita hentikan pembacaan wasiat ini.” Ucapan Mr. Dexter membuat Ibu diam namun aku tahu ia sangat marah. "Rachella Clarrise Madamoissale. Putriku tersayang. Ayah menyerahkan seluruh aset keluarga Madamoissale. Satu-satunya penerus keluarga Madamoissale. Ayah percayakan semuanya kepadamu namun sementara sampai kau berusia dua puluh satu tahun, semua peninggalanku akan dikelola oleh Ibumu Esperanza, walimu yang sah...." "Tidak bisa! Aku lebih berhak daripada dia." Ibu menatapku geram, rahangnya mengeras dan giginya bergemelutuk. “Aku hanya membacakan surat wasiat.” Mr. Dexter melirik Ibu dengan sudut matanya yang terlihat sangat runcing. Ibu melipat kedua tangan, menatapku seakan-akan tidak percaya jika akulah yang akan menjadi penerus keluarga Madamoissale. *** Bagaimana pendapat kalian? Aku butuh krisannya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD