Kematian ayah bagian 1

1182 Words
Semakin lama kondisi Ayah semakin memburuk. Setiap kali aku ingin membantu Ayah, Ibu selalu menghalang-halangi. Buruknya lagi, Ayah selalu menyetujui semua yang Ibu katakan dan selalu aku yang harus mengalah. Hanya Tuhan yang tahu penderitaanku dan juga pohon maple yang kini menjadi pelipur laraku. Aku merasa menjadi seorang anak yang sama sekali tidak berguna baginya. Setiap kali melihat Ayah tersiksa oleh penyakitnya, aku hanya bisa masuk ke kamar lalu menangis atau jika saat aku benar-benar terlalu sedih, aku lebih memilih berada di bawah pohon maple, di tepi hutan Darkforest untuk menangis histeris. "Ayah sangat menyayangimu, Ella," ucap Ayah dengan begitu lemah. Rasanya sulit percaya pria itu kini terbaring di ranjang dengan bantal yang ditumpuk untuk dijadikan sandaran. Tubuhnya sangat ringkih dan sangat memprihatinkan. Tubuh Ayah hanya berupa tulang dibalut kulit dan saat ia mengangkat tangan, getarannya sekencang mesin pemotong rumput. Sangat jauh berbeda dengan saat Ayah menjadi duda, saat ia belum bertemu Ibu. Tubuh demamnya begitu menghangatkan, bahkan kehangatannya terasa meski kulit Ayah tidak benar-benar menyentuh kulitku. Napasnya berbau khas orang sakit, begitu tidak sedap dan panas. "Ella sayang Ayah. Sangat menyayangi Ayah.” Aku menyentuh dahi Ayah, mengusapnya dengan lembut. Ia menutup kedua matanya, menikmati sentuhan kasih sayang dariku. "Maafkan Ayah. Ayah menyesal," katanya dengan nada begitu lemah dan hampir tidak terdengar. Sorot matanya jelas menunjukkan penyesalan itu. "Tidak ada yang salah, Ayah. Samanta dan Diego sedang mencari bantuan. Ayah pasti sembuh," ucapku dengan suara bergetar. Aku sangat berharap dua orang itu berhasil menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan Ayah. Secepatnya. "Rachella Clarrise Madamoissale. Jaga keluarga Madamoissale! Ayah mengandalkanmu." Ayah meneteskan airmata membuatku tidak mampu menahan kesedihan. Aku mendongak, meski aku menjaga untuk tidak menangis di hadapan Ayah, tetapi tetap saja airmata itu luruh. Dengan cepat aku menghapusnya, aku tidak ingin terlalu lama menangis di depan Ayah. "Ayah. Kita akan menjaga keluarga kita bersama." Kuraih kedua tangannya lalu mengecupnya. "Kamu yang akan menjaga keluarga kita. Ayah yakin kamu bisa. Sekali lagi maafkan Ayah. Ayah menyesal," lirihnya. Entah mengapa aku merasakan ada firasat buruk dari setiap ucapan Ayah. Aku menggeleng, membuyarkan pikiran buruk itu menuntunku, aku yakin itu hanya perasaan semu. Bukan firasat bahwa hal buruk akan terjadi kepada Ayah. "Ella. Jaga dirimu baik-baik!" Ayah membelai wajahku, senyumnya kembali merekah tapi kemudian, tangannya jatuh bersama kedua mata yang tertutup rapat. Sesaat dunia seolah berhenti. Hanya ada aku dan Ayah. Tubuh lemah itu bukan hanya terdiam tapi juga membeku, kulitnya yang panas perlahan berubah dingin lalu kulitnya semakin lama semakin memucat. Tidak-tidak, ini semua tidak terjadi. Baru beberapa detik yang lalu aku merasakan firasat buruk akan terjadi kepada Ayah tapi itu bukan firasat buruk bagi Ayah. Firasat buruk itu untukku. Aku tidak mau Ayah meninggal dengan cara ini, tidak seharusnya Ayah pergi secepat ini. Aku mengguncang bahu Ayah, berusaha membangunkannya tapi Ayah tetap diam. Tubuh hangatnya kini sedingin es yang membeku. Dadaku berdesir, ini bukan yang seharusnya terjadi. Aku kembali mengguncang bahu Ayah, berusaha membangunkannya. "Ayah tidak boleh meninggalkanku. Ayah harus bersamaku." Aku terus mengguncangnya keras, begitu keras hingga ranjang ikut berguncang. Pintu kamar terbuka, Redrick masuk membawa nampan berisi makanan. Melihat Ayah diam bersama tangisku, nampan yang ada di genggaman tangan Redrick terjatuh. Suara piring dan gelas pecah terdengar. Tapi siapa yang memedulikannya jika orang yang kau sayangi sedang berusaha pergi. Redrick segera mendekati Ayah, memeriksa lubang hidung dengan telunjuknya lalu memeriksa nadi yang ada di leher Ayah. Kami bersitatap sebelum kemudian ia menggeleng lemah. "Maafkan saya Nona...." Ini adalah petir terhebat setelah sekali aku merasakannya. Dahulu saat Ibu meninggal dengan cara yang sama. Sakit dengan penyakit yang tidak jelas. “Periksa sekali lagi, Redrick!” Kuharap Redrick salah. Sekalipun sangat lemah, sekalipun napasnya berjeda lama. Kuharap Ayah memiliki kesempatan hidup, kuharap ada keajaiban dan bisa membawa Ayah kembali. *** Berdiri di depan sebuah lubang yang kini terisi peti mati bersama tubuh Ayah di dalamnya. Aku hanya bisa menatapnya nanar. Kulemparkan bunga krisan putih lalu para penggali kubur mulai menimbun peti mati hingga tertutup tanah dan satu-persatu para pelayat pergi meninggalkan pemakaman, meninggalkanku bersama Redrick yang selalu ada di sampingku. "Apakah ini nyata?" Aku masih tidak percaya Ayah pergi meninggalkanku. "Benarkah di dalam sana Ayahku bersemayam?" Jika ini mimpi, aku ingin segera bangun dan aku berjanji jika aku sudah bangun, aku akan berlari menemui Ayah untuk memeluknya dan memintanya berpisah dari Ibu. Tetapi kenyataannya, ini bukan mimpi. Aku tidak perlu membuktikannya dengan mencubit kulit karena aku sadar ini bukan mimpi. Rasanya sakit sekali, dadaku sesak dan mukaku serasa terbakar. Aku mengepalkan kedua tangan, menyantukannya ke depan d**a. Airmata untuk ke sekian kalinya luruh. "Redrick. Aku sendirian," lirihku. Kenyataan itu yang paling mengguncangku, kini aku benar-benar sendirian. Aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan tanpa Ayah. Redrick memelukku, ia mengusap punggungku lembut. Kucengkeram punggungnya, kutumpahkan kesedihan, kubiarkan airmata mengalir dan Redrick hanya diam, kedua matanya terpaku pada gundukan tanah berhias nisan besar bernama Marcus Madamoissale. *** Memakai gaun hitam polos dengan lengan panjang dan rok selutut, aku berjalan gontai menuju kamarku. Ibu dan dua putrinya hanya menatapku, membiarkanku sendiri bersama rasa perih kehilangan pria yang sangat kusayangi. Menyusuri setiap jengkal kastil, aku tahu para pelayan sama terpukulnya denganku. Beberapa diantaranya menghadang langkahku, memelukku dan memberiku kalimat bela sungkawa tapi aku tidak terlalu mendengarkan. Hanya mendengarkan jeritan hati karena kehilangan. Kututup pintu kamar, tubuhku merosot sambil menangis untuk kesekian kalinya, meratapi kepergian Ayah yang terlalu mendadak. Penyakitnya tiba-tiba datang padahal selama ini Ayah hampir tidak pernah sakit. Ayah pria yang bisa menjaga kesehatannya, ia tidak merokok dan tidak terlalu suka minum minuman keras, ia juga rajin olahraga dan tidurnya cukup teratur. Tidak mungkin Ayah terserang penyakit sementara Ayah adalah pria yang rajin memeriksakan kesehatannya ke dokter kecuali akhir-akhir ini saat ia justru sebenarnya sangat membutuhkan bantuan dokter. Meringkuk masih di depan pintu, kupeluk tubuhku sendiri, melingkar seperti seekor ular, membiarkan rambut panjangku menutupi seluruh wajah. Isak tangis masih sesekali keluar tapi siapa yang akan mencegah? Tidak ada lagi siapapun yang akan menjagaku. Aku sendirian dan aku merasa sangat lemah. Aku tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun kecuali tetap diam seperti ini entah untuk berapa lama. Aku tidak memiliki keinginan apapun bahkan untuk menggeser badan sekalipun atau duduk. Serasa tulang-belulangku tidak mampu menyangga tubuh, seolah tenagaku tersedot oleh sesuatu. Saat ini aku hanya ingin seperti ini. Hingga malam merenggut semua cahaya, merubah kamarku segelap jelaga. Tidak ada sesuatu yang bisa kulihat karena lampu kubiarkan padam, aku pun tidak memiliki keinginan untuk menyalakannya. Air mataku telah kering, untuk pertama kalinya setelah berjam-jam dalam posisi terbaring miring dan meringkuk. Aku telentang, aku lelah sekali tetapi jika aku memejamkan mata maka semua kejadian yang kualami berputar seperti sebuah film. Aku merasa sulit bernapas setiap kali mengingat Ayah, pernikahannya yang begitu membahagiakan, sakitnya dan kepergiannya. Rasanya sakit dan menyesakkan. Aku ingin keluar untuk menghirup udara segar jadi kuputuskan untuk bangkit dan keluar kamar meski harus dengan cara meraba-raba, aku terlalu enggan membuat kamarku tersentuh cahaya. Hanya untuk malam ini atau mungkin beberapa malam selanjutnya, biarkan saja kamar ini seperti ini. Duduk di dekat pembatas balkon, kupeluk tubuh yang menggigil kedinginan. Musim dingin yang dulu sangat kusukai, waktu yang menyenangkan untuk sekedar melakukan ski bersama Ayah kini musim dingin merenggutnya. Membiarkanku kedinginan bersama kesepian. Bulir-bulir salju jatuh, memberi rasa dingin saat ia menyentuh kulitku. Kupeluk diriku sendiri meski sebenarnya tidak terlalu membantu. Setidaknya dingin membuatku merasa lebih nyaman dan pikiranku tidak terbuai oleh ingatan tentang semua ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD