Suara rintih kesakitan bagian 2

1015 Words
Ibu sudah memecat beberapa karyawanku dengan sangat tidak adil dan aku memilih diam, tapi kali ini aku harus melawan agar wolfy bisa tetap bersamaku. Wanita itu tak boleh menginjakku terus jadi aku harus melawan balik. Aku berdiri, menatapnya dengan sedikit mendongak. Tinggi badannya yang membuatku tampak seperti kurcaci, tak bisa mendominasiku. Dia harus tahu siapa pemilik kastil Madamoissale yang sesungguhnya. “Aku akan memeliharanya.” Aku mendongak, aku tidak peduli dengan apapun yang Ibu lakukan padaku asalkan wolfy tetap bersamaku. “Jadi begitu rupanya.” Sial, Ibu sepertinya lagi-lagi membaca pikiranku. Wanita itu jelmaan medusa tanpa ular di kepalanya atau mungkin ular itu berukuran rambut dan sedang tidur sehingga aku tidak tahu bahwa ia memang benar-benar medusa. “Terserah padamu. Tapi aku ingatkan, jangan pernah biarkan hewan itu berkeliaran di kastil dan jika kucingmu ini memakan ternakku, aku tidak akan segan-segan mengulitinya hidup-hidup.” Ucapan Ibu tidak membuatku kaget sama sekali tetapi Clara sepertinya terkejut. Mulut gadis itu masih menganga meski Ibu sudah pergi dari dapur ini. Aku memeluk wolfy, bersyukur karena kali ini Ibu dengan mudah menyetujui ideku. Hati Ibu pasti sedang dalam kondisi sangat baik. Clara mengawasiku sambil melangkah mundur, entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini tapi, siapa peduli? *** Hari baru dengan sahabat baru, memberi kebahagiaan baru bagiku. Hari pertama sekolah setelah libur panjang membuatku merasa lebih baik daripada mendekam di rumah bersama kenangan-kenangan serta perasaan campur aduk setiap berhadapan dengan Ibu. Wolfy berjalan di sebelahku. Aku tidak tahu jika ia bisa sembuh secepat ini. Lukanya mungkin belum terlalu kering tapi setidaknya ia sudah bisa berjalan dan mengikutiku hingga ke jalan raya dimana bis sekolah akan menjemputku. Mobil sedan yang dikemudikan Clara lewat begitu saja. Clara dan Bianca beruntung karena mendapatkan mobil di hari mereka sekolah di Westville padahal aku sendiri belum mendapatkannya dari Ayah dengan alasan aku masih terlalu muda untuk mengendarainya. Aku menarik napas panjang, rasanya hatiku sangat sakit jika membayangkan betapa Ayah sudah tidak berlaku adil kepadaku. Ibu sangat pandai memanipulasi Ayah sampai apapun bisa didapatkannya dengan mudah. Aku menghentikan langkah, menunduk, mengepalkan kedua tangan yang dibalut dengan kaos tangan berwarna abu-abu. Wolfy membenamkan kepalanya di perutku, seketika pikiranku teralihkan. Aku berjongkok, membiarkan lidah wolfy menjilati wajahku. Aku menyugar bulu-bulunya yang lembut. Wolfy menutup mata, menikmati apa yang aku lakukan kepadanya. Aku kembali melangkah diiringi wolfy yang setia di sisiku. Setidaknya kehadiran wolfy membuat hari-hariku lebih baik walau hanya sedikit. Aku kembali melangkah, menyusuri jalanan yang dipenuhi salju pada bagian kanan dan kirinya. Rasa kosong di hati masih saja ada. Perasaan kesepian ini juga belum pergi semua. Aku masih belum tahu apa yang akan kulakukan jika Ibu terus menekanku. Terus terang aku sudah tidak sanggup bertahan di kastil, tetapi janjiku kepada Ayah harus kutepati. Hanya aku yang bisa menjaga para pekerja dari kekejaman Ibu. Sesaat perhatianku berpindah kepada bis yang sudah mulai terlihat dari kejauhan. Aku jongkok di depan wolfy lalu kembali menyugar bulunya sebelum mencium moncong dan memeluknya. “Kembalilah ke kastil! Aku akan kembali nanti sore.” Wolfy menggosok kepalanya ke dadaku, ia menjilati leherku dan sedikit menggigitnya, memberi sensasi aneh tapi sangat memabukkan. Bis berhenti tepat di depanku, tanpa menunggu lagi aku segera masuk ke dalam dan segera duduk di bangku deretan ke lima sebelah kiri. Lima menit setelah bis berjalan, bis kembali berhenti tepat di depan jalan yang menuju ke rumah Mr. Maximiliano. Seorang cowok yang belum pernah kulihat, masuk ke dalam bis lalu mengambil kursi di belakangku. Bis kembali berjalan dan sesekali berhenti lalu satu persatu bangku di dalam bis terisi. Kastil Madamoissale letaknya paling jauh dari sekolah Westville sehingga aku selalu menjadi anak pertama yang duduk di bis. Bis menjadi ramai dengan kekonyolan beberapa cowok yang duduk di belakang. Seperti biasa, mereka menggoda cewek-cewek yang entah kenapa selalu duduk di depan mereka. Aku seperti biasa, duduk diam sambil menatap jalanan yang masih sangat lengang hingga akhirnya bis masuk ke dalam pelataran sekolah lalu berhenti di depan gedung. Sekolah bukan tempat menyenangkan bagiku, sejak dulu aku tidak terlalu banyak bergaul karena aku terlalu sibuk dengan kastil dan segala tuntutannya hingga saat Ayah menikah dengan Ibu, kebiasaan itu masih saja menempel kepadaku. Masuk ke dalam kelas, aku duduk di bangku nomer lima sebelah jendela. Tempat favorit yang tidak pernah ditempati anak-anak lain seolah tempat ini memang khusus dibuat untukku dan aku menyukainya. Di belakangku masih ada dua bangku yang biasanya ditempati cowok-cowok yang ingin tidur karena bangku itu hampir tidak terlihat dari meja guru. Aku duduk tepekur menatap jendela, kuhapus embun yang membuat kaca menjadi buram agar bisa melihat ke arah luar. Aku hanya harus duduk diam sambil menunggu jam istirahat untuk makan siang lalu kembali ke tempat ini, duduk diam sambil menunggu saatnya pulang. Kegiatan rutin yang kulakukan di sekolah kecuali saat harus ada di kelas IPA karena Mr. Rodwell akan selalu membuatku sibuk dengan berbagai macam praktikum. Mr. Duanne masuk bersama cowok yang tadi kulihat di depan jalan menuju rumah Mr. Maximiliano. Cewek-cewek menaruh minat kepada cowok yang memiliki perawakan sangat besar untuk ukuran cowok seumuran kami. Tingginya mungkin hampir dua meter dengan badan tegap, d**a bidang dan perutnya rata. Memakai kemeja kotak-kotak berwarna hijau yang ketat sehingga lengannya tercetak jelas. “Anak-anak, ada murid baru. Silahkan memperkenalkan diri!” Mr. Duanne duduk di kursinya sementara cowok itu membenarkan letak tas ransel sambil menatap kami semua. “Namaku Ethan Debrawski. Aku pindahan dari London. Senang berkenalan dengan kalian.” Cowok itu hanya berbicara seperlunya dan segera memandang Mr. Duanne. “Silahkan cari tempat kosong!” Mr. Duanne tidak membuang waktu, ia segera memulai pelajaran sementara Ethan berjalan mendekatiku dan sialnya ia menarik kursi di sebelahku yang selama ini kosong. “Hai.” Ethan meletakkan ransel di atas meja lalu mengambil sebuah buku. Ia menatapku lekat sambil memamerkan gigi-geliginya yang rapi dengan senyum indahnya. Sial, tapi senyum Ethan benar-benar indah sampai aku harus membuang muka untuk menutupi rasa panas di pipi yang tiba-tiba saja kurasakan. “Aku Ethan, siapa namamu?” Ethan membuatku kembali menoleh ke arahnya. Ia mengulurkan tangan besar dengan bulu-bulu halus keluar dari tiap pori-pori kulitnya. Aku menerima tangannya dan menjabatnya, Ethan menangkap tanganku dan menggenggamnya erat, membuatku sulit menarik tanganku sendiri. “Aku Ella,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah tangan kami. Ethan tertawa dan akhirnya tanganku lepas darinya. “Senang bertemu denganmu, Ella. Aku sudah lama menantikan hari ini.” Ethan kembali memamerkan senyum lebarnya, aku hanya geleng-geleng kemudian kembali memandang salju dari jendela.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD