Serangan Esperanza

1068 Words
Sinar besar yang ukurannya lebih besar dari diriku mendekat dengan sangat cepat hingga aku tak punya kesempatan untuk mengeluarkan kekuatanku. Meskipun aku tak yakin kalau kekuatan itu benar-benar bisa kukeluarkan. Saat sinar itu semakin dekat, hal pertama yang kulakukan secara reflek adalah menyatukan kedua lenganku sambil berharap kalau sinar itu tak mengenaiku. Setelah beberapa lama menunggu dan tak terjadi apapun, aku membuka mata. Sebuah bola transparan melindungiku dari serangannya. Aku melepas napas lega karena aku yakin bisa hangus dan dagingku menjadi kepingan-kepingan kecil tak berbentuk kalau sampai sinar itu mengenaiku. “Jangan senang dulu, Ella.” Ia kembali menyerangku dengan sinar-sinar yang ia bentuk hanya dengan menunjukku. Serangan yang bertubi-tubi itu terpental setiap kali mengenai gelembung yang melindungiku. Aku tak bisa terus bertahan, jadi aku menunjuknya dan berharap bisa menembakinya dengan sinar sebesar bola basket. Tetapi yang keluar hanya bola sebesar kelereng yang bahkan tak bisa merusak pakaiannya. Esperanza tertawa terbahak-bahak seakan sedang menertawai lelucon badut yang lucu. “Apa hanya itu kekuatanmu, Penyihir kecil.” Lagi-lagi ia tertawa terbahak-bahak, tawa yang sangat buruk dan satu-satunya yang kuharapkan adalah membuat mulutnya terkunci dan tak bisa membuka. Sekali lagi aku menunjuknya, seketika mulutnya menutup rapat seperti ada lem super kuat yang membuatnya tak bisa membuka mulut. Puas dengan apa yang kulakuan, walaupun itu hanya sebuah hal kecil tapi sudah bisa membuatku tersenyum. Gelembung yang kubuat perlahan memudar dan menghilang layaknya gelembung sabun yang tak bisa bertahan lama. Esperanza mengangkat kedua tangannya, aku tak ingin kehilangan start jadi aku mengikuti gerakannya. Sebuah sinar berwarna putih muncul di hadapanku, sama seperti sinar merah yang muncul di hadapannya. Ia mengayunkan tangan, seketika sinar itu melesat mendekatiku. Aku melakukan hal yang sama, sinar putih yang kubuat pun melesat maju. Kedua sinar itu bertemu di tengah dan membuat ledakan yang sangat besar. Aku kembali menyilangkan tangan, sebuah gelembung besar kembali dan melindungiku dari efek ledakan yang pasti bisa membuatku menjadi daging manusia panggang. Wanita itu tersenyum dengan jenis senyum yang sangat menjengkelkan. Jauh lebih buruk dari senyumnya waktu pertama kali berjumpa. Saat itu aku sudah menduga kalau kehidupanku takkan baik. Kenyataannya jauh lebih buruk dari itu. Seandainya aku tahu kalau kehadirannya hanya membuatku kehilangan semua orang yang kusayangi di kastil Madamoissale, pasti aku takkan bersedia menerimanya sebagai ibu tiri. Aku segera membuat sinar lagi, kali ini harus sangat besar dan sangat kuat. Yang kuinginkan adalah kematiannya. Dia harus mati agar tidak lagi menyakiti orang-orang kastil yang tersisa. Sinar putih terbentuk seukuran kelereng yang semakin lama semakin membesar . Bahkan ukurannya lebih tinggi dari badanku. Aku segera melakukan gerakan seakan sedang mendorongnya dengan sekuat tenaga. Sinar itu melesat ke arah Esperanza, wanita itu menutup wajah dengan lengannya seakan lengannya bisa menahan seranganku. Sebuah ledakan terjadi, asap pekat seketika terbentuk saat sinar putih mengenai Esperanza. Aku membayangkan seperti apa tubuhnya setelah asap ini menghilang. Jika memang benar bahwa wanita itu Esperanza yang sesungguhnya, karena bisa jadi dia sebenarnya hanya ilusiku saja. Aku pasti sangat senang karena bisa membalaskan dendam orang-orang yang telah menjadi korbannya. Asap pekat perlahan menghilang, kupikir wanita itu tergelepar saat asap menghilang atau bahkan tak lagi bergerak akibat ledakan itu, tapi nyatanya ia seakan hilang ditelan bumi. Tak ada tubuhnya, tak ada mayat bahkan bayangannya pun tak ada. Aku berlari mendekati bekas ledakan, tak ada apapun yang tersisa. Tak ada serpihan daging bahkan sehelai rambutnya pun tak ada. “Bagaimana mungkin.” Aku menautkan kedua alis. Sangat sulit mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Kemunculan Dolores padahal dia sudah meninggal, Clara, Bianca dan tentu saja Esperanza semua adalah kenyataan bukan mimpi karena aku tidak sedang tertidur. Aku menggeleng keras, kembali memandang hutan yang semakin menggelap. Sebentar lagi malam namun aku masih belum menemukan jalan pulang. “Ethan.” Kenapa dia tidak datang untuk menjemputku padahal biasanya ia bisa membaca pikiranku. Kini hutan benar-benar berubah gelap. Aku duduk di bawah pohon akasia, menekuk lutut sambil bermain dengan sihir kecil. Membuat bola kuning kemerahan menyala seperti lampu bohlam. Sinar itu muncul dan menghilang. Setiap kali sinar itu muncul, bayangan-bayangan masa lalu datang lalu menghilang setiap kali sinar padam. Aku membuat sinar kecil lagi dan kembali mengenang masa lalu. Berada di tengah hutan dan sendirian tidak membuatku takut, kecuali kalau hewan-hewan buas tiba-tiba keluar dan menyerangku. Bahkan suara-suara binatang malam yang saling bersahutan justru membuatku nyaman. Memandang ke sekeliling hutan pada malam hari tanpa bantuan penerangan adalah sebuah hal yang mustahil. Hutan ini lebat dengan pohon-pohon raksasa, daun-daunnya menutup sinar matahari bahkan saat siang pun hanya sedikit sinar yang bisa masuk. Aku mengembuskan napas berat. Duduk sambil menekuk kedua kaki dan memeluknya erat. Aku membuat gelembung pelindung dengan sangat mudah sejak aku melawan Esperanza tadi. Aku juga membuat beberapa sinar putih yang bersinar di dalam gelembung dan itu sangat menyenangkan. Tempat ini sangat sunyi, begitu tenang dan sepi. Bahkan suara Ethan pun tak bisa kudengar padahal biasanya ia mengisi kepalaku dengan suaranya. Werewolf bisa bertelepati kepada matenya dan aku terbiasa mendengar suaranya saat ia jauh dariku. Terkadang ia hanya mengatakan hal yang tak penting tapi menyenangkan, seperti rencana kencan malam minggu atau baju apa yang harus kupakai saat ia pulang dan menemuiku. Tapi sejak di hutan ini suara itu tak ada. Hilang, lenyap seperti terputus dari dunia luar. “Ethan, kalau kau mendengarku. Aku baik-baik saja. Kau jangan mengkhawatirkanku,” desahku sambil berharap Ethan bisa mendengarnya. Aku menengadah, memandang sinar-sinar putih yang semakin mengecil. Aku hanya menunjuk dan sinar putih kecil yang lain muncul saat sinar putih yang pertama kubuat meredup dan akhirnya menghilang. Dari kejauhan aku melihat dua sinar merah tampak dari kejauhan. Aku tertarik dengan dua sinar yang semakin lama terlihat semakin mendekat. Aku menjentikkan tangan dan seketika sinar putih menghilang. Aku berdiri lalu melirik gelembung dan seketika gelembung itu pecah. Aku mendekati dua sinar merah itu sambil memikirkan benda apa yang bisa menyala dalam gelap. Namun saat dua sinar menyala yang ternyata adalah api yang ada di tengah lubang mata Gloudes, seketika aku berlari menjauh. Aku menyesal karena terlalu penasaran dan tidak berpikir kalau dua sinar merah itu adalah mata Gloudes. Kupikir Esperanza sudah mati setelah terkena seranganku tadi, tapi sepertinya ia hanya mundur dan memilih mengirim monster itu untuk menyerangku. Aku terus berlari sambil membuat sinar putih sebagai penerangan sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan jarak kami. Saat aku menoleh ke belakang, tiba-tiba aku menabrak sesuatu dan membuatku jatuh terjengkang di atas tanah. Gloudes ada di depanku dan sedang bersiap mengayunkan tongkatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD