Perlawanan Gloudes

1069 Words
Aku merangkak mundur untuk menjauh darinya. Gloudes yang sangat tinggi dan besar itu melayang mendekatiku, tongkat panjang dengan ujung sabit yang tajam siap diayunkan. Aku yakin kepalaku putus hanya sekali tebas. Saat ia mengayunkan tongkat sabitnya aku segera membuat gelembung pelindung. Gloudes terpental namun tak terlalu jauh. Aku segera berdiri dan menyerangnya dengan sinar putih. Namun seranganku terlalu lemah, tak ada kerusakan yang berarti bagi monster berjubah dan bertudung hitam itu. Pasti ada sesuatu yang bisa membuatnya kalah, tapi aku belum tahu kekuatan seperti apa yang harus kubuat untuk mengalahkannya. Aku bahkan belum tahu seberapa banyak kekuatan yang kumililki. Ia kembali terbang mendekatiku, aku membuat sinar putih yang sangat besar dan menembakkannya ke Gloudes. Aku juga membuat gelembung pelindung dan melemparkan benda itu setelah menyerangnya dengan sinar putih. Sinar putih meledak saat terkena Gloudes lalu terpental hingga beberapa meter. Kupikir ia mati karena seranganku karena ia tak bergerak. Namun aku salah, perlahan ia bangkit. Jubahnya terbakar dan berlubang di bagian d**a serta kakinya. Di bagian itu terlihat tulang manusia. Aku harus menghancurkan jubahnya, mungkin jubah itu yang melindunginya dari serangan yang kulakukan. Aku segera mengeluarkan sinar putih untuk menghancurkan jubahnya hingga terbakar habis. Kini ia hanyalah tulang hidup dengan mata yang terbuat dari bola api. Aku kembali menyerangnya dengan sinar putih karena aku yakin tulang itu akan jadi abu kalau terbakar. Tapi kenyataannya tidak demikian. Api tidak membuatnya terbakar kecuali jubah yang ia kenakan. Ia mendekat dengan berjalan, jubah itu pasti yang memberikan kekuatan sehingga ia bisa terbang. Sinar putih yang kulempar hanya melewatinya saja. Aku segera membuat gelembung pelindung dan melemparkannya. Ia mengayunkan tongkat untuk meletuskan gelembung. Ini takkan berhasil. Aku belum tahu bagaimana cara mengalahkannya jadi aku memilih untuk berlari menghindarinya sambil berpikir. Melewati pepohonan dan menginjak ranting-ranting serta bebatuan yang berserakan. Saat berlari, satu ide muncul begitu saja. Aku segera mengambil batu lalu berhenti untuk melemparkan batu itu kepada Gloudes. Batu seukuran genggamanku itu mematahkan satu tulang rusuknya. Aku hanya perlu mematahkan semua tulangnya dengan alat dan bukan sihir. Tapi aku takkan bisa menang kalau melawannya dalam sebuah pertarungan. Jadi satu-satunya cara adalah melemparinya dengan batu. Jarak Gloudes semakin dekat, ia mengayunkan tongkat sabitnya ke arahku. Aku membuat gelembung pelindung dan itu membuat sabit terpental. Aku tahu takkan bisa bertahan selamanya kecuali aku melawannya. Saat aku melihat sebatang kayu yang ukurannya cukup besar, aku segera mengambilnya. Batang kayu itu terlalu berat untuk kuayunkan kepadanya. Aku segera menggunakan sihir untuk mengangkat lalu melemparkannya ke Gloudes. Batang kayu itu mengenai tangan yang menggenggam tongkat sabit. Satu tangannya lepas dan jatuh di atas tanah. Ia jadi kesulitan membawa tongkat sabitnya. Ia membuang tongkat itu sambil berjalan cepat mendekatiku. Aku melemparinya dengan batu menggunakan sihirku. Serangan yang membabi buta itu membuat tulangnya patah satu-persatu. Lengan kirinya jatuh ke tanah, ia seakan tak peduli dengan tulangnya sendiri. Ia memilih tetap mengejarku meskipun dengan satu lengan yang telah kehilangan lima jarinya. Lemparanku yang lain mengenai empat rusuk kanan dan kirinya. Satu lemparan mengenai kepalanya hingga patah dan jatuh. Meskipun hanya tersisa tulang leher, tulang punggung, tulang bahu, tulang pinggul dan kaki saja. Aku kembali menemukan sebatang kayu, kali ini ukurannya sangat pas untuk kugenggam. Aku segera mengambilnya lalu berlari mendekatinya. Satu ayunan yang kuat, mematahkan tulang punggungnya, satu pukulan lagi memisahkan tulang pinggul dengan dua kakinya. Tulang Gloudes pun akhirnya terpisah. Aku memukul tulang kakinya hanya untuk melepaskan emosi. Memukulnya berkali-kali tapi tiba-tiba tulang-tulang itu kembali menyatu. “Oh My God.” Tulang Gloudes kembali utuh dan kini berdiri tepat di depanku. Satu tangannya mencekikku, terasa sangat sakit karena tangannya hanya tulang yang keras. Aku memandang dua matanya yang terbuat dari bola api. Di saat terdesak itu, aku tahu aku harus mematikan api itu. Aku terbatuk-batuk karena kesulitan bernapas. Anehnya, setiap kali batuk aku mengeluarkan air putih yang tidak berlendir. Aku mengeluarkan semua kekuatanku untuk batuk agar bisa mengeluarkan air yang lebih banyak. Air muncul dari mulutku dan kuarahkan ke kedua matanya. Bola api itu pun akhirnya padam. Seketika tulang-tulangnya patah secara bersamaan lalu berubah menjadi abu dan terbang tertiup angin. Aku merosot ke tanah, merasa lega karena bisa mengalahkannya. Sinar pagi masuk melalui cela-cela dedaunan, sorotnya yang indah menyorotiku selayaknya seorang artis di sebuah panggung hiburan. Sesaat aku menikmati pemandangan pagi yang begitu indah, hangat dan sejuk. Seekor kelinci melompat dari semak-semak menuju semak-semak yang lain. Seekor kancil berjalan pelan keluar dari balik pohon. Seekor kupu-kupu terbang di dekatku seakan memamerkan sayapnya yang indah. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna yang indah. Seekor kura-kura merayap perlahan melewatiku tanpa rasa takut. Aku jongkok untuk melihatnya lebih dekat. Kura-kura itu seakan tak terganggu olehku. Seekor katak melompat melintas di depan kura-kura. Katak itu sesaat berhenti untuk melihatku, tapi ia pun tak terganggu olehku. Biasanya hewan-hewan akan bersembunyi kalau melihat manusia. Tapi hal itu tidak terjadi disini, seakan aku adalah bagian dari mereka. Aku berjalan sambil menikmati suasana yang ada. Aku tak ingin merusak pagi indah ini dengan mencari jalan untuk keluar dari hutan. Seekor burung hantu baru saja hinggap di sebuah ranting pohon di sebelah kananku, tak lama kemudian ia memejamkan mata. Dua ekor burung kecil terbang mengelilingiku, sungguh ini pemandangan yang sangat luar biasa. Aku menyentuh perutku yang tiba-tiba lapar, aku makan ikan bakar bersama Ethan kemarin siang setelah itu aku tak makan sampai sekarang. Buah apel tiba-tiba jatuh di depanku, membuatku mendongak dan ternyata ada pohon apel di sebelahku. Pohonnya cukup tinggi dengan apel merah yang menghiasinya. Aku mengulurkan tangan lalu buah apel terbang mendekatiku. Satu gigitan apel membuatku merasa semakin bahagia. Rasanya manis dan segar. Aku melahapnya dengan cepat lalu mengulurkan tangan dan sebuah apel kembali memenuhi tanganku. Setelah menikmati dua apel aku kembali melangkah. Dari kejauhan nampak sebuah sungai diantara bebatuan. Aku mendekatinya dengan langkah lebar. Sungai kecil dengan air yang jernih mengalir melewati bebatuan dan kerikil. Tanpa ragu aku segera menangkup air dan meminumnya. Airnya cukup dingin dan menyegarkan. Aku rela hidup sederhana bersama Ethan di tempat ini. Aku harus cepat kembali karena aku yakin Ethan pasti sangat mengkhawatirkanku. Aku memandang sungai yang mengalir sampai jauh. Aku mendesah dan menjatuhkan pantatku di atas bebatuan. Bagaimana caraku bisa keluar dari tempat ini. Ethan, apakah kau bisa mendengarku? “Ella.” Suara wanita yang begitu lembut berasal dari seberang sungai. Seorang wanita yang sangat cantik bersama seorang lelaki yang sangat kurindukan berdiri disana. Aku segera bangkit, mataku kembali basah namun kali ini untuk alasan yang berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD