Tersesat

1227 Words
“Caleb!” teriakku sambil memutar badan dan memandang ke sekitar. “CALEB!” Kali ini suaraku sangat keras hingga membangunkan beberapa hewan yang ada di tempat ini. Beberapa kali aku memanggil anak itu namun tetap tak ada jawaban. Aku berjalan terus sambil berharap bisa menemukan anak itu tapi Caleb seakan hilang ditelan bumi. Aku berjalan melewati pohon-pohon yang tadi sudah kulewati, namun tetap saja tak bisa kembali masuk desa. “Tak mungkin,” gumamku sambil menggeleng. Aku berputar, memadang ke sekelilingku. Hanya ada pohon-pohon dan tanaman merambat. Tak ada Caleb, tak ada orang-orang Desa Harria bahkan tak ada Ethan. Aku terus berjalan namun selalu kembali ke tempat pertama saat aku menyadari Caleb menghilang. Ini seperti hutan sihir. Aku tak yakin bisa cepat kembali kecuali bila mengeluarkan kekuatan sihirku. “Halo, Ella.” Suara yang sangat kukenal itu membuatku memutar badan. Seketika mataku membulat saat tiba-tiba wanita itu muncul di depanku dengan wajahnya yang angkuh dan penuh kesombongan. Dua anaknya pun ada di belakangnya. Sedang tersenyum dan tertawa seperti sedang mengejekku. “Bagaimana kau bisa disini?” Sangat aneh kalau ibu bisa sampai sini. Bagaimana ia bisa tahu tempat ini dan bagaimana ia bisa sampai sini. Apapun caranya yang pasti aku harus bersiap melakukan perlawanan jika memang itu diperlukan. “Hai Ella, lama tidak bertemu adik kecil.” Clara tertawa aneh seakan begitu senang melihat kedatanganku. Clara tak seburuk Bianca tapi ia tak pernah sekalipun menegurku. Aku lebih seperti orang yang tak terlihat baginya. Aneh kalau tiba-tiba ia menyapaku dengan seriang ini, seakan senang bisa berjumpa dengan saudara yang lama tidak bertemu. “Halo Ella,” kata Bianca. Ia tampak lebih alami ketimbang sikap Clara. Bianca memandangku dengan tatapan mengejek, seperti yang biasa ia lakukan. “Nona Ella.” Suara Dolores terdengar di belakangku. Aku sangat merindukan suara itu. Sekaligus terkejut karena ia sudah meninggal jadi bagaimana ia bisa muncul kembali. “Kau.” Esperanza mengangkat telunjuknya dan diarahkan kepada Dolores. Aku segera memutar badan, menghadap ke Dolores yang seperti sedang menarik sesuatu dari lehernya. Tubuhnya perlahan terangkat, kedua kakinya bergerak cepat dengan wajah yang memucat dan mulai membiru. “HENTIKAN!” Aku kembali memutar badan dan memandang Esperanza. Aku sudah pernah menghadapi masalah ini dan masih ingat bagaimana kepala Dolores menggelinding seperti bola. Mungkin ini adalah kesempatan kedua. Aku berharap bila bisa menyelamatkan Dolores, ia bisa kembali bersamaku. Aku segera mengeluarkan sihir untuk memutus sihirnya dari Dolores. Menunjuk ke Esperanza sambil mengeluarkan tenaga untuk melawannya. Tiba-tiba sebuah cahaya putih kecil memercik di telunjuknya. Esperanza pun menurunkan tangannya. “Berani sekali kamu!” ucapnya dengan satu alis terangkat. Dolores jatuh di atas tanah sambil terbatuk-batuk. Napasnya terengah-engah hingga bahunya bergerak mengikuti irama napasnya yang tidak teratur. Tiba-tiba tubuh Dolores berdiri seperti ada sesuatu yang tak tampak, menarik punggungnya hingga berdiri. Wajahnya pucat, sorot matanya menggambarkan ketakutan yang sangat besar. “Dolores.” Aku berlari mendekatinya dan memeluknya erat. “Nona, kenapa kau membiarkannya membunuhku?” ucapnya dengan nada sinis. Caranya bicara yang tak seperti Dolores yang kukenal, membuatku segera melepas pelukan dan menatapnya. “Seharusnya kau menghentikannnya dengan sihirmu.” Ia menatapku dengan mata membulat, suaranya lantang dan tegas. “Dolores, maafkan aku!” Aku segera memutar tubuh, memandang wanita yang telah menghabisi orang-orang yang kukasihi. Tubuh wanita itu bergerak mendekat dengan kaki terdiam, tidak melangkah selayaknya manusia pada umumnya. Ia seperti hantu di siang hari. Wajahnya yang kaku dan sinis, menambah buruk penampilannya. “Dolores,” lirihku sambil memandangnya lekat. Satu langkah maju membuatku mundur selangkah. Tatapannya yang tajam membuat bulu kudukku berdiri. Aku tak pernah mempercayai hantu itu ada, tapi sekarang aku yakin sedang melihat hantu Dolores. “Aku sangat kecewa padamu, Ella. Seharusnya kau bisa melindungiku dari wanita itu,” ucapnya. Andai saja saat itu aku tahu kalau aku penyihir, tentu saja aku pasti menolongnya meskipun harus bertaruh nyawa. “Maafkan aku Dolores, aku hanya…,” ucapanku tertahan saat tiba-tiba ia menyerangku dengan sebuah cakaran yang sangat menyakitkan. Aku jatuh tersungkur, menyentuh pipi yang terluka setelah terkena cakaran darinya. Cairan hangat menetes dari pipiku yang terkena cakaran. Rasa nyeri membuatku menahan napas. “Dolores.” Aku mengerti mengapa ia menyalahkanku dan itu jauh lebih menyakitkan daripada cakarannya. “Bagus, Dolores. Dia memang pantas disalahkan,” ucap Esperanza. Ia mendekati Dolores dan membelai pipinya. Dolores tersenyum kepada Esperanza, sesuatu yang sangat mengejutkan padahal saat hidup ia sangat membencinya. “Terimakasih, Nyonya.” Dolores memberi hormat kepada Esperanza. Aku berdiri sambil menyentuh pipi yang terluka. Hatiku juga terluka dan jauh lebih sakit daripada melihat orang yang kusayangi kini tersenyum kepada orang yang sangat kubenci. “Mama, kita apakan dia?” Tiba-tiba Clara dan Bianca ada di sebelahku. Menahan kedua tanganku dengan erat. Esperanza mengalihkan perhatiannya kepadaku, berjalan perlahan mendekatiku. Ia mengangkat daguku dengan ujung telunjuknya, ekpresi wajahnya menunjukkan kalau sedang menilaiku, meskipun aku tak tahu seperti apa penilaiannya. Ia mengerucutkan bibir, aku tak tahu untuk apa ia melakukannya tapi aku mengikuti gerakannya lalu meniupkan udara. Ajaib, sebuah asap berwarna hijau keluar dari mulutku. Asap itu mengenai wajahnya, membuatnya menjerit sambil menutup mata dengan kedua tangan. “Kau.” Ia menyerangku dengan cekikan yang menyakitkan dan mendorongku mundur dengan tangan mencekikku semakin erat hingga punggungku menubruk batang pohon yang besar. Aku memejamkan mata dan fokus mengeluarkan kekuatan di tanganku. Meskipun aku tak melihatnya, tapi aku bisa merasakan ada kekuatan yang terbentuk di telapak tanganku. Aku segera melemparkannya ke wajah Esperanza dan tiba-tiba ia menghilang, membuatku jatuh ke tanah sambil terbatuk-batuk. Aku menghirup udara dengan rakus, memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya. Dadaku bergemuruh dan berdebar-debar kencang. Butuh waktu beberapa saat untuk bisa menjadi kembali tenang. “Kau takkan bisa melawanku.” Wanita itu muncul di sebelahku. Sebuah kekuatan besar menghantamku dan membuatku terpental hingga tubuhku mendarat di batang pohon yang keras sebelum akhirnya mendarat di tanah. Aku ingin menganggapnya sebagai sebuah halusinasi, tapi ini terlalu menyakitkan. Aku tak pernah merasakan rasa sesakit ini sebelumnya. Aku bingung dengan keadaan yang sedang terjadi tapi tak ada waktu untuk berpikir apapun kecuali menghadapinya. Esperanza adalah sumber masalah bahkan telah kuketahui sebelumnya. Tapi baru sekarang ia terlalu berterus terang dan kasar. Ia tak pernah menyakitiku secara fisik saat kami tinggal di kastil. Sebuah kejutan yang sangat luar biasa. “Apa yang kau inginkan?” tanyaku dengan nada sinis. Esperanza sedikit menelengkan kepalanya, satu sudut bibirnya terangkat. Ia tak menjawab pertanyaanku, sebaliknya ia malah mengangkat tangan kanannya. Aku tahu ia akan menyerangku jadi aku segera bangkit dan menghindar. Benar saja, sebuah ledakan keras mengenai batang pohon hingga menyisakan lubang hitam dan mengeluarkan asap. Seperti baru saja dilempari bom kecil namun pasti akan berdampak besar bila sampai mengenaiku. Aku terus berlari untuk menghindari serangan dari telunjuknya yang mengeluarkan bola merah transparan yang meledak tiap mengenai sesuatu. Aku tak bisa terus menghindar, jadi aku mengeluarkan kekuatanku dan kupusatkan pada telunjukku. Aku tak pernah belajar menyihir tapi karena Esperanza adalah penyihir, tak ada salahnya kalau aku mengikuti caranya. Aku menunjuknya, sebuah sinar tiba-tiba melesat dari telunjukku dan mengenainya. Wanita itu terdorong hingga beberapa langkah, namun tak sampai membuatnya jatuh. Hanya limbung tapi ia bisa menguasai dirinya dengan cepat. Esperanza tertawa terbahak-bahak, suaranya sangat kencang dan membuat bulu kudukku meremang. Ia menyatukan dua telapak tangannya lalu terdiam sejenak sambil memejamkan mata. Aku tahu ia sedang membuat sesuatu yang lebih besar dan lebih bahaya dari serangan-serangan sebelumnya. Seperti yang tadi kulakukan. Aku pun berdiri, menyatukan kedua tangan dan memejamkan mata. Aku yakin ia sedang memusatkan kekuatan yang besar di tangannya, jadi aku juga melakukan hal yang sama. Ia berteriak dengan sangat keras dan melengking, membuat telingaku sakit. Aku membuka mata dan seketika mataku membulat saat sebuah sinar yang sangat besar mendekatiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD