Misteri kematian

1230 Words
Bisa memenangkan adu mulut dengan ibu seperti memenangkan lotre. Sangat menyenangkan. Tak henti-hentinya aku tersenyum puas. Aku melompat kegirangan di atas ranjang untuk merayakan kebahagiaan kecil yang sedang kurasakan. Mengingat bagaimana ibu menatapku terkejut adalah sebuah kepuasan. Wolfy duduk di sebelah ranjang, menatapku dengan kepala meneleng. “Wolfy, gabunglah bersamaku!” Aku turun dari ranjang. Kutepuk badannya dan kembali naik ranjang untuk melompat-lompat. Tetapi kali ini wolfy tidak menurut, sebaliknya ia justru keluar kamar. “Dasar wolfy. Aah, senang rasanya.” Aku turun dari ranjang. Melepas kaos karena aku sekarang butuh mandi. Aku memandang diriku di cermin. Di pundakku terdapat dua titik yang meradang dimana tadi Ethan menggigitku. Bukti kami pergi bersama. Rasanya sangat menyenangkan. Pintu tiba-tiba terbuka, wolfy memandangku sebentar lalu ia berjalan mendekati bath tub. “Apa kau mau mandi?” tanyaku. Aku tersenyum, memandang sahabatku yang suka sekali dengan acara mandi bersama. Rasanya seperti mandi dengan seorang sahabat, walau dalam hal ini hanya seekor serigala. Tapi itu bukan masalah besar untukku. Setelah memandikan wolfy, aku menikmati berendam air hangat dengan busa beraroma lavender. Aku menggosok badan lalu kembali menatap bekas gigitan Ethan. Mengingat bagaimana ia mencium lalu tiba-tiba menggigit, rasanya luar biasa. Aku menyentuh bibir sambil terus membayangkan bagaimana kami berciuman sampai tiba-tiba wolfy menjilati wajahku. “Wolfy.” Seperti biasa, aku membiarkan wolfy menjilati wajahku sampai ia puas. Meski terdengar gila, tapi ak suka wolfy menjilatiku. Rasanya hampir sama seperti saat Ethan menciumku. Mungkin itulah mengapa aku suka memeluk wolfy karena aku merasa nyaman dan aku menikmatinya. Aku mengenakan baju tidur dan segera melompat ke atas ranjang. Wolfy membaringkan badannya di sebelahku, seolah ia manusia yang tidur dengan kepala menempel di bantal. Aku menatapnya sambil tersenyum, sejak wolfy datang kemudian Ethan. Segalanya terasa sangat mudah. “Wolfy.” Aku memeluknya, mencium aromanya yang begitu enak. Bersama wolfy, aku selalu bisa tidur nyenyak dalam pelukannya. Aku sangat menyayangi wolfy, sedalam aku mencintai Ethan. Jika harus memilih diantara keduanya, aku tidak akan bisa. *** Hari ini akhirnya aku mengajak Bibi Dorothy kembali ke kastil. Meski aku tahu ibu sangat kesal, tetapi ia tidak bisa berbuat apapun setelah perlawananku kemarin. Sesungguhnya aku sangat menyesal karena selama ini aku selalu tunduk dan takluk di bawah kendalinya. Maksudku, sekalipun aku tahu ibu salah, tetapi aku tetap saja tidak bisa menolak perintahnya. Namun sekarang lain, aku harus melindungi semua yang ada di kastil ini termasuk para pekerja. Ibu sudah semena-mena sejak … sejak ia datang ke tempat ini. Ayah tunduk padanya, tapi aku tidak. Semua yang ada di tempat ini harus kembali. Setelah Bibi Dorothy, aku berencana akan mencari mencari Diego dan Samanta. Aku merangkul Bibi Dorothy dan memapahnya. Dolores membawa tas besar berisi semua pakaian Bibi Dorothy. Redrick tersenyum, ia berdiri di sebelah ibu dan dua putrinya yang berdiri sambil memandang kedatangan kami. Ibu dan dua putrinya terlihat jelas tidak suka dengan ideku. “Kamu membuat masalah, Ella.” Gerutuan ibu terdengar jelas, tetapi aku tidak peduli sama sekali. Sesaat aku melirik ibu, satu sudut bibirnya berkedut. Tatapannya seolah hendak memakanku hidup-hidup. Tapi siapa peduli. Semua pekerja berkumpul di sayap kiri, di kamar Bibi Dorothy yang juga merupakan kamar Dolores. Wanita itu terlihat sangat bahagia sekalipun tubuhnya masih terlihat sangat lemah. Berbaring di ranjang kecil yang berada di tepi jendela. Wanita itu tak henti-hentinya tersenyum saat satu persatu pekerja kastil mengucapkan rasa suka cita karena ia kembali bersama kami. Dolores bahkan menitikkan air mata haru, tentu saja karena aku yakin dia lega setelah Bibi Dorothy berada di dekatnya. Aku mendekatinya dan segera memeluknya. Isak tangis menyambut pelukanku. Aku bisa mengerti perasaan Dolores. Selama ini ia pasti sedih karena harus meninggalkan Bibi Dorothy sendirian di rumah itu. Senang rasanya akhirnya aku bisa kembali menjadi Nona Madamoissale. Aku adalah pemilik kastil ini. Siapapun tidak berhak mengambilnya, apalagi ibu. Duduk di balkon kamarku, aku memandang hutan Darkforest yang berselimut salju. Senyumku merekah, segala kekusutan yang membelengguku. Perlahan mulai terurai. Kebodohanku kemarin sangat aku sesalkan, tetapi itu adalah sebuah pecutan bagiku untuk menjadi pemilik kastil, penguasa seluruh aset Madamoissale yang baik. “Wolfy, aku senang.” Aku menunduk, memandang wolfy yang mulai menyurukkan kepalanya di tanganku. Aku memandang langit berhias mendung, salju mungkin akan segera turun. Angin berembus pelan tapi embusannya membuatku kedinginan, tapi aku masih enggan masuk. Aku merentangkan kedua tangan, angin silahkan menikmatiku. Rasanya seperti ada sesuatu yang lepas dariku, entahlah. Aku sendiri tidak tahu alasannya, tetapi rasanya seperti ada sel yang membelah diri di otakku. Apapun itu telah membuatku tersadar akan sebuah hal. Aku harus melindungi semua yang ada di Madamoissale, sesuai dengan wasiat ayah. Aku harus kuat, demi mereka yang telah mengabdikan hidupnya untuk keluargaku. Rasanya ingin berteriak aku bebas, tapi tentu saja tidak kulakukan. Sebagai gantinya, aku tertawa lalu menghirup udara dalam-dalam. Sepertinya hari baru telah datang. Aku seperti terlahir kembali dan aku siap melakukan apapun. Apapun. “Ayo.” Aku menepuk kepala wolfy. Mengajaknya untuk masuk ke kamar dan melompat ke atas ranjang. Berbaring dengan dua tangan direntangkan, kutatap langit-langit kamar. Wolfy merebahkan dirinya, kepalanya berada di atas lenganku. “Aku ingin tidur sampai besok. Wolfy, apakah aku bisa tidur sampai besok?” Aku memeluk wolfy erat. Rasanya tak sabar menunggu hari esok dan melakukan banyak hal. Salju turun lebat, butiran-butirannya menumpuk semakin lama semakin tebal. Udara semakin dingin, tetapi tubuhku hangat, dihangatkan oleh salju. *** “TIDAK…” Sebuah teriakan terdengar begitu histeris. Aku sangat terkejut sampai terbangun dan langsung melompat turun dari ranjang. Wolfy berlari keluar kamar, aku berlari di belakangnya. Melewati lorong dengan pintu-pintu kamar tertutup, kulihat ibu dan dua putrinya baru saja berhenti di dekat tangga. Ketiganya hanya melihat ke lorong dimana sumber suara berada, tanpa ada niat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. “Ella, suruh pelayanmu berhenti teriak! Mengganggu orang tidur.” Bianca melipat kedua tangannya. Ia masih memandang ke arah kamar Dolores yang mulai dikerubungi para pelayan. Sesaat aku berhenti untuk memandang Bianca dengan tatapan kesal, tetapi kemudian aku memilih untuk segera ke kamar Dolores. Aku ingin tahu mengapa Dolores berteriak keras sepagi ini. Melewati kerumunan pelayan yang segera membuka jalan untukku. Dari depan pintu, kulihat Dolores memeluk tubuh Bibi Dorothy yang telah membiru. Aku terkejut, kedua mataku terbelalak dan aku menutup mulut dengan dua tangan. Tak percaya dengan apa yang kini sedang kulihat. Perlahan aku melangkah masuk. Dolores masih histeris sambil memeluk Bibi Dorothy yang terbujur kaku. Redrick menarikku dan memelukku, ia berusaha untuk menjauhkanku dari pemandangan yang paling menyedihkan setelah kejadian ayah beberapa minggu lalu. “Redrick, kenapa dengan Bibi Dorothy?” Aku melepas pelukan Redrick. Kembali memandang Bibi Dorothy dan Dolores, wajahku kembali dipenuhi air mata. Aku mendekati Dolores lalu duduk di sebelahnya. Kusentuh pundaknya, membuat Dolores bangkit untuk memelukku sambil berderai air mata. “Nona, ibuku.” Isak tangis Dolores kembali pecah. Sambil memeluknya, aku memandang Bibi Dorothy yang terpejam dengan mulut terkatup rapat. Bibirnya menghitam sementara kulitnya semakin membiru. “Ini pasti sihir. Seperti yang terjadi kepada Tuan dulu,” celetuk Nizma, salah satu pelayanku. Wanita itu berdiri di ujung ranjang. Ia memandang Bibi Dorothy dengan sepasang mata berkaca-kaca. “Jaga ucapanmu, Nizma!” Redrick melotot, ia tentu saja tidak menyukai pembicaraan yang hanya berdasarkan dugaan tanpa bukti. “Apakah….” Bibi Dorothy meninggal? Aku tidak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Sekalipun tubuhnya sudah jelas menjadi sekaku kayu, tetapi aku masih berharap Bibi Dorothy masih sesehat kemarin saat aku membawanya kemari.  Saat Redrick menjawabku dengan sebuah anggukan dalam, tubuhku serasa kehilangan tulang hingga aku ambruk di atas lantai. Ini salahku Tidak seharusnya aku membawa Bibi Dorothy kemari. Tidak seharusnya aku memaksakan diri untuk kembali mengumpulkan seluruh pelayan kastil yang telah kuanggap sebagai keluarga. Ini salahku “Maafkan aku.” Aku terisak, tak sanggup menahan diri untuk tidak menangis. Rasanya hatiku kembali dipotong setelah kematian ayah dan kini kematian Bibi Dorothy. “Apakah ini sihir?” kasak-kusuk pelayan yang masih berkumpul disini membuatku mengusap mata. Pertanyaan itu kini menari-nari di kepalaku. Kematian ini sangat mendadak. Jadi, apakah ini sihir?        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD