Sihir

1196 Words
Apapun alasannya, satu hal yang jelas adalah aku yang membunuh Bibi Dorothy. Akulah yang membawanya ke hadapan maut. Kepergian Bibi Dorothy tidak hanya menghancurkan hidup Dolores, tapi juga aku. Berdiri di tepi liang lahat dimana Bibi Dorothy berbaring di dalam peti mati dengan ukiran khas sulur membentuk huruf M yang merupakan simbol keluarga Madamoissale, aku hanya bisa menatap nanar. Teriakan sihir, sihir, sihir terus berputar di kepalaku, seperti sebuah mantra. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi masalah ini. Seperti saat ayah meninggal, aku tidak berdaya. Aku sangat membenci keadaan ini. Satu persatu pelayat meninggalkan makam. Hanya tinggal aku dan Dolores serta wolfy yang seolah mengerti duka kembali dirasakan keluarga Madamoissale. Bibi Dorothy, Redrick dan semua pelayan adalah bagian dari keluargaku. Aku tidak akan bisa kehilangan lagi. Tidak akan pernah bisa. Mendung kembali menggelap. Butiran-butiran salju kembali turun. Pemakaman seperti padang salju dengan nisan-nisan terhampar. Sunyi dan senyap. Hanya suara isak tangis Dolores yang memecah keheningan. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu, memeluk nisan Dolores seperti sedang memeluk raga ibunya. Wolfy menjilati tanganku yang terbungkus sarung tangan dari wol berwarna putih. Aku menunduk, bersitatap dengannya. Wolfy mengajakku pulang, itulah yang bisa kutangkap dari caranya menatapku. Tetapi aku tidak bisa membiarkan Dolores sendirian. Aku juga tidak tahu caranya mengajak Dolores pulang. Aku tidak tahu. “Mengapa Nona membawa Ibuku kembali?” Suara Dolores bercampur isak tangis, namun aku masih bisa menangkap ucapannya. Ia masih memeluk nisan berbentuk salib namun kepalanya menoleh ke arahku. “Seharusnya Nona, membiarkan Ibuku di sana. Di gubuknya,” lanjutnya. Aku terdiam cukup lama. Alasanku membawa Bibi Dorothy pulang, agar ia mendapat perawatan yang baik di sini. Tapi kenyataannya, aku salah. Aku justru mendekatkannya pada kematian. “Maafkan aku,” lirihku. “Seandainya Ibuku masih di sana. Kejadian ini pasti tidak akan terjadi.” Dolores bangkit, ia mendekatiku dengan wajah memerah. Matanya yang bengkak pun terlihat memerah. Bulir-bulir air mata menetes, namun dengan cepat dihapusnya. Dolores menarik ujung jaketku, mencengkeramnya kuat-kuat hingga otot-otot tangannya mencuat. Rahangnya mengeras, gigi-giginya bergemelutuk namun sejenak kemudian ia melepasku dengan sedikit dorongan hingga aku harus menyeimbangkan tubuh. “Aku membencimu, Nona. Aku membencimu.” Dolores berjalan tertatih. Seluruh tubuhnya bergetar, langkahnya cepat. Meninggalkanku sendirian dengan perasaan bersalah yang semakin membesar. Sunyi dan senyap, rasa ini kembali kurasakan. Sihir, sihir, sihir. Satu kata itu terus meraung-raung di kepala. Apa yang harus aku lakukan? Kepalaku penuh dengan pemikiran-pemikiran yang sekusut wol yang baru dipanen. Dinginnya salju seolah membekukan kepalaku, tetapi sesungguhnya kebekuan ini terjadi karena aku sendiri. Aku harus mencari tahu. Dari awal. Setelah ayah meninggal, segalanya terlupakan begitu saja. Tetapi sekarang, tidak lagi. Aku harus menyelamatkan Madamoissale. Aku harus mengurai benang kusut ini satu persatu. Aku harus bisa menyelamatkan kehidupan Madamoissale dari kehancuran. Dengan dorongan kuat dan menggebu-gebu itu, aku kembali ke Kastil. Tidak ada sihir sebelum ibu datang. Tidak ada kejadian aneh sebelum ibu hadir. Aku yakin semua berawal dari ibu. Dari sanalah aku harus mencari tahu. Melewati gerbang depan, para pelayan yang masih mengenakan pakaian berkabung sedang berkumpul di depan pintu. Mereka serentak menatapku saat aku menjejakkan kaki di pelataran kastil. Tatapan mereka seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu. Wajah-wajah mereka terlihat khawatir. Beberapa diantaranya sedang mengepalkan kedua tangan. Redrick menunduk sambil memejamkan matanya. Semakin dekat dengan pintu, kudengar Dolores sedang berteriak histeris. Aku segera berlari masuk dan hal pertama yang kulihat adalah ibu sedang mendorong Dolores hingga gadis itu jatuh terpelanting. “Ibu.” Aku membantu Dolores bangkit, namun ia justru menepisku. Tatapannya tajam, membuat hatiku mencelos. Baru kali ini aku melihat Dolores seperti ini. “Ella, usir dia! Aku tidak mau tingkahnya menulari pelayan yang lain.” Ibu dengan tatapan khasnya, berdiri dengan dua tangan terlipat. “Tidak ada yang boleh keluar dari sini. Semua pelayan adalah keluarga Madamoissale. Mereka harus tetap tinggal.” “Oh, kau sedang membantah Ibumu, Gadis muda.” Ibu menaikkan satu sudut bibirnya. Ia seperti seekor singa betina yang sedang berburu mangsa, tetapi aku tidak takut sama sekali. “Terserah Ibu berkata apa. Aku pemilik kastil ini. Aku yang berhak memasukkan atau mengeluarkan siapapun dari sini. Dolores akan tetap tinggal.” Ibu mendekatiku, tingginya yang sekitar seratus delapan puluh centi meter membuatku harus mendongak saat ia hanya selangkah di depanku. “Kau tidak tahu berhadapan dengan siapa? Kau akan menyesal.” “Aku sudah menyesal, Ibu. Aku tidak akan menyesal untuk kedua kalinya.” “Kau harus tahu siapa lawanmu.” Ibu memutar badan setelah mengatakannya. Aku tahu siapa lawanku, tentu saja. Tetapi seberat apapun lawanku, aku harus tetap teguh pada pendirian atau aku harus bersiap kehilangan segalanya. Kekayaan keluarga Madamoissale, kastil, bahkan pelayan dan semua pekerja. Aku tidak akan pernah mau kehilangan lagi. Tetapi tak dapat kupungkiri jika kini seluruh tubuhku gemetar. Ibu dengan sikapnya memang sangat menakutkan. Ini kali pertama aku melihat kilat amarah aneh yang memendar dari tatapannya. Jika bukan karena emosi, aku yakin nyaliku sudah mengecil seperti tikus yang berada di dapur. Redrick mendekatiku, ia hendak memapahku namun aku menepisnya. “Bawa Dolores ke kamarnya!” “Tapi, Nona. Anda perlu istirahat, sepertinya anda sedang sakit.” “Aku tidak apa-apa. Bawa Dolores ke kamarnya!” Redrick menghela napas berat lalu mendekati Dolores yang masih bertahan di atas lantai sambil menangis tergugu. Aku terpaku, menatap Redrick memapah Dolores menaiki anak tangga. Detak jantung yang tadinya seolah berhenti, kini berdetak kuat seperti sebuah tinjuan keras seorang petinju professional. Rasanya begitu sakit dan sesak. Aku melangkah keluar dengan langkah gontai. Para pelayan masih berdiri dengan wajah-wajah yang tidak bisa kuartikan. Berdiri di bawah pohon maple yang kering dengan Kristal-kristal es yang melapisi ranting-rantingnya, aku membuang amarah dengan berteriak sekuat tenaga. Air mata mengalir seperti aliran sungai Wreth. Aku mencakup salju lalu melemparnya ke batang pohon. Kubiarkan diriku dikuasai amarah. Kubiarkan diriku dikuasai emosi. Kurasa kedua perasaan itu bisa membuatku semakin kuat. Aku harus terus memupuknya agar aku bisa mencapai tujuanku. Mengusir ibu dan kedua anaknya dari kastil Madamoissale. “Ella, hentikan! Kau akan melemah jika hanya emosi yang mengendalikanmu.” Suara Ethan membuatku berhenti dengan napas terengah-engah. “Kau tidak tahu apa yang terjadi di kehidupanku, Ethan. Kau tidak tahu apapun tentangku.” “Aku tahu. Ayahmu meninggal dengan cara tak wajar. Dorothy pun sepertinya meninggal dengan cara yang sama.” “Bagaimana…” “Paman Max yang menceritakannya padaku.” Aku mencengkeram kepala, berusaha menyingkirkan kepenatan yang melekat seperti permen dengan stiknya. Rasanya berat.  Ethan mendekatiku dan memerangkanku dalam pelukannya. Tubuhnya yang anehnya terasa hangat, membuatku nyaman. Kemarahan yang tadi meledak-ledak, berangsur-angsur mereda. Kupeluk erat tubuhnya, kuhirup dalam-dalam aroma khasnya. “Ini sulit, Ethan.” “Ella, ayo pergi bersamaku. Tinggallah bersamaku. Menikahlah denganku.” Aku terhenyak kaget, aku menatap Ethan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Menikah dan tinggallah bersamaku. Kau tidak aman jika terus berada disini.” Ini lelucon yang sama sekali tak lucu. Bagaimana Ethan bisa mengeluarkan ide paling konyol sekarang. Alih-alih tertawa, aku hanya terkekeh. “Kau bercanda.” Ethan meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Aku serius. Sihirnya terlalu kuat. Kau hanyalah mainan baginya yang suatu saat pasti diremukkan dengan sangat mudah. Aku tidak bisa membiarkanmu di tempat seperti itu.” “Apa maksudmu? Kenapa kau….” Jangan-jangan, Ethan juga seorang penyihir. Tiba-tiba aku gemetar, perlahan aku mundur beberapa langkah. Ethan bisa membaca pikiranku. Ethan yang tiba-tiba bisa menghilang begitu saja. Seharusnya sejak awal aku menyadari bahwa Ethan seorang penyihir, seperti ibu. Diantara sekian banyak cewek di sekolah, mengapa Ethan memilih dekat denganku? Ini sebuah kejanggalan yang seharusnya sejak awal bisa kurasakan. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ella, kumohon, percayalah padaku!” “Tidak … jangan mendekat! Jangan pernah mendekatiku.” Aku berlari, menjauhi Ethan. Mendekati kastil dengan beberapa burung gagak yang terbang di atasnya. Kastil yang dahulu dipenuhi kebahagiaan, kini terlihat menyedihkan. Sesedih hati orang-orang di dalamnya. Ini sulit dipercaya, benar-benar sulit dipercaya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD