Sebenarnya siapa dia?

1005 Words
Aku terbangun dengan jantung berdegup kencang dan napas tersengal-sengal. Keringat dingin bercucuran, seolah telah berlari ribuan meter. Mimpi buruk baru saja hadir. Mimpi yang sama seperti yang dulu pernah terjadi, saat sosok bayangan gelap berdiri di balkon kamar. Saat dimana sosok itu membuatku sulit bernapas hingga rasanya seperti akan mati. “Itu hanya mimpi buruk,” desahku. Tetapi mimpi buruk itu membuat badanku terasa sakit semua. Aku keluar dari selimut yang nyaman. Hawa terasa sangat membeku ataukah aku sedang demam? Mungkin saja karena demam, hari-hari belakangan sangat melelahkan.  Pasti hal ini mempengaruhi daya tahan tubuhku. “Hai wolfy.” Suaraku serak, tenggorokanku kering. Aku mengurut leher seolah-olah itu bisa membantu. Ke dapur dengan langkah berat, aku ingin segera menikmati secangkir minuman hangat. Dolores dan Redrick sedang menikmati sarapan mereka. Gadis itu menatapku sejenak namun kemudian menunduk, menatap sup labunya tanpa terlihat hendak memakannya. “Hai Redrick … Dolores.” “Nona Ella, selamat pagi.” Redrick menyapaku seperti biasa namun Dolores masih tetap tidak memandangku, ia justru bergegas berdiri sambil membawa supnya. “Dolores … siapkan sarapan untukku.” Dolores melayaniku dalam diam. Segalanya terasa tidak menyenangkan. Dolores masih menyalahkanku atas kematian ibunya. Aku bisa mengerti … aku harus mengerti. Dolores meletakkan secangkir lemon hangat dengan madu. Aku mencekal lengannya saat ia hendak berlalu. “Maafkan aku, Dolores. Aku tidak tahu kalau seperti ini jadinya. Aku benar-benar menyesal.” “Jangan salahkan Nona Ella, Dolores. Kematian ibumu adalah takdir. Tidak ada sangkut pautnya dengan Nona Ella.” Redrick berusaha membelaku, tetapi hal itu justru membuat Dolores semakin kesal. Dolores tidak menggubris, ia hanya menatap Redrick beberapa lama sebelum meninggalkan dapur dengan langkah lebar. “Maafkan sikap Dolores, Nona.” Redrick menatapku dengan pandangan sayu.   “Tidak-tidak. Dolores tidak melakukan apapun. Redrick, apakah ini mimpi? Jika mimpi, aku ingin cepat bangun.” Air mataku menetes begitu saja. Redrick memberiku sapu tangannya yang membuatku tersenyum bahagia. “Aku sangat menyayangimu, Redrick. Aku sangat menyayangimu.” Aku memeluk Redrick erat. “Jangan pernah pergi dariku, Redrick. Jangan pernah….” Dalam pelukan Redrick, aku menangis tersedu-sedu. *** Aku masuk ke bis sekolah, hanya Ethan yang kini duduk di deret sebelah kanan paling belakang. Ia melambaikan tangan kepadaku, beberapa saat aku menatapnya sebelum menjatuhkan pantatku di kursi paling depan sebelah kanan. Kilasan-kilasan balik kisah sedih yang menimpaku menari-nari di kepala. Air mata kembali meleleh begitu saja. Pemandangan di luar jendela sungguh indah. Salju mulai mencair. Musim dingin akan segera berlalu, tetapi hawa dingin yang membekukan justru sangat bisa kurasakan. Aku harus menyusun rencana untuk mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Aku harus mencari tahu apakah ibu benar-benar penyihir dalam arti harafiah? “Apa kau sakit?” Suara Ethan membuatku menoleh. Entah sejak kapan, lelaki itu duduk di sebelahku. Ia tersenyum manis, seperti biasanya. “Pergilah, Ethan. Jangan ganggu aku.” Aku kembali menatap keluar jendela, memandang barisan pinus yang berderet di tepi jalan. Aku menarik napas dalam, duduk tegak dan berusaha fokus. Aku tidak boleh melemah seperti dulu. Tidak sekarang, besok atau selamanya. “Rasanya sakit,” gumamku. Ethan menempelkan tangannya di dahiku. “Tidak demam.” “Aku tidak enak badan. Seharusnya kau tahu tanpa memeriksaku.” “Aku! Bagaimana bisa?” Ethan menunjuk dirinya sendiri sambil tertawa. Aku mendengus lalu geleng-geleng. Percuma bicara dengan Ethan. Toh dia tahu apapun yang kupikirkan, ini jauh lebih baik daripada mengatakannya secara langsung. Ethan seperti ibu yang bisa membaca pikiranku. Apakah Ethan juga seorang penyihir? Aku meliriknya penuh tanya. *** Kastil semakin terlihat kelam. Wajah-wajah muram tercetak jelas. Para pelayan tidak lagi bekerja sambil bersenda gurau. Semua terlihat seperti robot berjalan. Ibu keluar dari ruang kerja bersama Redrick di belakangnya. Pria itu menatapku sesaat sebelum membuang muka. Aku yakin Redrick tahu banyak tentang ibu. Saat Redrick berjalan ke arahku, aku menarik tangannya menaiki tangga menuju kamarku. “Katakan apapun yang kau tahu tentang Ibu, Redrick!” Aku mendekati Redrick yang berdiri di dekat meja rias. Pria itu terdiam cukup lama. Ia menatap foto ayah yang berada di atas nakas. Lama aku menunggunya namun sepertinya Redrick tidak akan menjawab pertanyaanku. Aku menunduk lalu menghela napas berat. “Keluarlah, Redrick! Aku tidak akan pernah bertanya lagi padamu.” “Maafkan saya, Nona.” Suara Redrick lemah, tatapannya sayu. Aku terkekeh, ini bukan hal yang lucu tetapi entah mengapa sekarang aku ingin tertawa. Terhadap ayah, Redrick begitu setia. Tetapi kini baru kusadari bahwa terhadap ibu pun sepertinya Redrick juga setia. Ini sama sekali tidak membantuku. Siapapun tahu ibu tidur di kamar ayah, tetapi siapapun juga tahu jika ibu lebih banyak menghabiskan waktu di lantai paling atas yang selama ini hanya digunakan sebagai gudang. Pasti ada yang penting disana sampai ibu lebih suka disana ketimbang di tempat lain. Jangan –jangan ia memiliki cermin ajaib disana. Jangan-jangan ibu meramu ramuan racun disana. Jangan-jangan ibu merapal mantra disana. Didasari rasa penasaran, aku menaiki anak tangga demi anak tangga dengan langkah berat, seperti ada rantai besi di pergelangan kaki. Lantai paling atas di kastil ini sudah terlalu lama dijadikan gudang. Bahkan sejak kakek masih hidup atau mungkin saja kakek buyutku masih hidup, lantai ini telah difungsikan sebagai gudang. Terlalu banyak rumor tentang lantai atas sampai-sampai tidak ada yang berani menjamahnya selain untuk merapikan tempat itu. Menurut beberapa pelayan, ada hantu bayangan hitam besar yang tinggal dan sesekali menampakkan diri. Sejak ibu datang, ayah membuatkan kamar khusus yang katanya untuk menyimpan barang-barang ibu. Karena alasan itu pula, ibu suka sekali berada di tempat ini. Selama ini aku tidak mencurigai apapun, kupikir hal wajar jika ibu menyukai lantai ini karena semua barang kesayangannya ada di sini. Tetapi sekarang, tidak lagi. Semua kemungkinan ganjil itu menari-nari di kepalaku. Pengap dan apak menyapa begitu aku menjejakkan kaki di ujung tangga. Jendela-jendela ditutup dengan tirai hitam. Butuh waktu beberapa lama untuk menyesuaikan penglihatan hingga aku bisa melihat ibu sedang menatap sesuatu seperti bingkai. Apakah itu cermin ajaib? Entahlah, apapun itu aku merasa bahaya mengintaiku sekarang. Alarm bahaya berbunyi keras di kepalaku, membuatku segera berputar badan dan berlari menjauh. Begitu paniknya, tiba-tiba aku terpeleset hingga jatuh berguling-guling. Alarm bahaya itu masih terus menguar, membuat kepalaku sakit bukan main. Wolfy melolong di dekat tangga, aku menarik kepalanya agar mengikuti turun tangga hingga ke lantai dasar lalu terus berlari keluar kastil seperti seorang pencuri yang baru saja ketahuan pemilik barang curiannya. “Wolfy.” Aku memeluk wolfy di bawah pohon maple kesayanganku. Pohon maple tempatku mencurahkan perasaan. Salju yang mencair membuat hutan ini basah, tunas-tunas baru saja meranggas. Musim dingin akan segera berlalu.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD