Desa Herria

1323 Words
Suara lolongan serigala itu saling bersahut-sahutan. Ethan segera bangkit namun ia tampak santai dan tidak waspada. Suara itu sepertinya datang dari seberang sungai. Satu persatu serigala mendekati bibir sungai. Mereka kembali melolong, berdiri berjajar menghadap kami. Ethan mewujud menjadi wolfy lalu melolong dengan lolongan panjang, seperti seekor serigala yang terlepas dari kawanannya. Ia kembali mewujud sebagai Ethan, memandang ke wolf yang sedang menunggunya sambil memikirkan sesuatu. “Apa yang sedang kau pikirkan, Ethan?” tanyaku sambil menelengkan kepala. “Kita harus menyeberang kesana,” jawabnya sambil menunjuk ke seberang sungai. Sungai ini sangat lebar namun dangkal. Bahkan tepi sungai hanya sebatas mata kakiku dan di tengah sungai hanya sebatas pinggang Ethan. Apa susahnya menyeberang sungai, aku yakin anak kecil pun bisa melewatinya. Aku segera melompat turun dan hendak melangkahkan kaki namun Ethan menahan tanganku. “Kenapa? Ini sangat dangkal. Orang yang tak bisa berenang pun bisa melewatinya,” ucapku. Ethan mengambil sebuah batu di sungai lalu melemparkannya dengan kuat. Batu itu terpental seakan ada penghalang tak tampak yang melindungi tempat itu. “Tidak hanya itu, Carissa juga membuat parit yang dalam mulai tengah sungai sampai ujung sana.” Ethan menunjuk tepi sungai dimana para werewolf mewujud menjadi manusia dengan mengenakan pakaian yang masih sangat tradisional. Mereka mengenakan baju lusuh dengan bawahan rok yang terbuat dari kulit binatang. Salah satu dari mereka mengenakan ikat kepala bulu berwarna hitam, tubuhnya paling besar di antara yang lain. “Hanya penyihir yang bisa membuka gerbang itu,” imbuhnya. “Aku yakin bisa melakukannya.” “Aku yakin kau bisa.” Aku mendekati tengah sungai hingga ke tempat dimana Ethan menangkap ikan. Air yang dingin bukan jadi penghalang, setidaknya kalau aku bisa berhasil membuka lapisan pelindung tempat itu dalam sekali sampai dua kali percobaan. Namun kenyataannya tak semudah yang kubayangkan. Lapisan pelindung itu tak bergeming meskipun sudah kucoba berkali-kali. Lama-lama rasa dingin membuatku menggigil. Air sungai ini sedingin es padahal sedang musim semi, seharusnya air tak sedingin ini. “Ayo kita kembali.” Ethan menyeretku untuk kembali ke tepi. Setelah di tepi, aku tak ingin menyerah begitu saja. Aku harus membuat jembatan sebelum membuat sihir untuk membuka lapisan pelindung. Aku memejamkan mata, membayangkan sebuah jembatan es yang tebal yang bisa kami lewati dengan mudah. Aku mulai mengumpulkan tenaga lalu menunjuk sambil membayangkan kalau jembatan itu terbentuk. Saat aku membuka mata, hanya asap tebal yang terbentuk. Seekor semut pun takkan bisa melewatinya. Aku kembali memejamkan mata dan melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini aku benar-benar konsentrasi. Hasilnya, Sebuah jembatan dengan lapisan tipis dimana hanya serangga-serangga kecil yang bisa melewatinya. Selanjutnya aku mencoba beberapa kali namun jembatan itu justru benar-benar tak terbentuk. Hingga aku kelelahan, tak ada apapun yang tercipta dari sihirku. “Aku pikir sihirku sekuat ibu. Setidaknya setelah aku bermimpi mendapatkan kekuatannya. Tapi ternyata, sama saja seperti sebelum aku bertransformasi,” keluhku sambil membanting p****t di atas tanah berpasir. “Pasti karena kau kelelahan setelah perjalanan panjang. Kau juga sudah menggunakan sihirmu beberapa kali saat melawan Gloudes. Kau hanya butuh istirahat untuk mengembalikan kekuatanmu.” Ethan benar, aku mungkin kelelahan setelah apa yang telah kulalui. Aku memilih duduk sambil memandang air yang jernih. “Kau duduk saja disini. Aku akan mencari kayu untuk membakar ikan-ikan ini,” ujar Ethan. Aku tak ingin tinggal diam. Aku pun bangkit untuk ikut mencari ranting dan kayu kering yang bisa dibakar. Masuk ke hutan yang dipenuhi pohon-pohon redwood dan sequoia yang berukuran raksasa. Tak ada ranting kering, hanya ada ranting basah karena terkena embun pagi. Lagipula hutan ini hampir tidak tertembus matahari, sehingga sangat lembab. “Mustahil menemukan kayu kering di tempat seperti ini,” erangku sambil menghentikan langkah. “Apa kita buat makanan Jepang dengan ikan-ikan yang kutangkap tadi?” Ethan berjalan mundur sambil mengangkat satu alisnya. “Tidak, terima kasih. Aku tidak biasa makan-makanan mentah.” Aku bukan serigala yang bisa menerkam mangsa dan memakannya begitu saja. Bukankah itu yang kulihat di film-film, meskipun aku belum pernah melihat hal semacam itu selama tinggal di Blue Moon Pack. “Kau harus mencobanya. Kau pasti ketagihan dengan rasanya. Apalagi daging merah. Rasanya enak sekali.” Ethan menerawang, pasti membayangkan sedang menyantap daging merah. “Yeuch.” Ethan tertawa melihatku. Aku memang menunjukkan kalau tak suka dengan makanan mentah. Bahkan kalau pun kelaparan, aku tetap harus memasak makanan itu dulu sebelum menyantapnya. Tapi ini hanya soal selera. Setelah berjam-jam, mungkin. Karena aku tak tahu berapa lama sebenarnya kami mencari kayu bakar. Kecuali kakiku yang lelah karena terlalu banyak berjalan. Kupikir tak ada salahnya mencoba membuat api dengan sihir. “Ethan, sebaiknya kita kembali ke tepi sungai. Aku sangat lelah,” erangku. Ethan mendekatiku dan segera membopongku. Ia selalu membuatku senang dengan caranya memperhatikanku. “Ethan, apa aku pernah mengatakan kalau aku bersyukur menjadi mate-mu?” “Ehm, aku tahu.” Aku mengalungkan lenganku di lehernya dan meletakkan kepalaku di sela-sela lehernya. Mencium candu yang selalu membuatku mabuk. “Jangan lakukan itu. Grrr,” erangnya saat aku mencecap lehernya yang manis. “Maafkan aku. Tapi aku tak bisa menghentikannya, Sir.” Sangat sulit untuk menahan hasrat yang selalu menggebu-gebu setiap kali berada di dekatnya. Seharusnya aku menjaga jarak darinya. Ethan selalu menjadi teman bicara yang sangat menyenangkan, tapi bila sudah menciumnya, dia adalah obat penghilang kegelisahanku. Aku harus menghilangkannya, apalagi hasrat itu tertahan karena lolongan werewolf di seberang sungai. “Siapa mereka?” “Mereka dulu Rogue yang ditemukan ayah saat masih muda. Saat Carissa masih hidup. Mereka diasingkan di seberang sungai itu dan dijaga para werewolf Blue Moon Pack terkuat. Mereka disiapkan untuk sekarang. Untuk menghadapi bahaya yang telah diramalkan Carissa.” Aku meminta untuk turun dari gendongannya. Hasrat itu menghilang setelah mendengar ibu sudah menyiapkan semua untuk menolongku dalam pertempuranku dengan Esperanza. Aku mengambil ranting pohon yang ada di sebelah batu besar. Ranting itu masih sangat basah dan lembek karena terlalu lapuk. Tapi aku yakin kalau bisa membuatnya kering dan siap digunakan untuk membakar ikan. emegangnya erat sambil berharap sihirku berhasil dan berhasil. “Lihatlah, Ethan. Mungkin sihirku berhasil untuk hal-hal kecil seperti ini,” ucapku sambil memamerkan ranting yang tiba-tiba kering setelah kena sihirku. “Bagus sekali, tapi kau tak perlu buru-buru. Lebih baik istirahat dan tidak menggunakan sihirmu dulu.” Ethan mengambil ranting dari tanganku, menelitinya seperti sedang dalam kelas biologi. Aku mengumpulkan ranting basah lalu menyihirnya satu persatu agar menjadi kering. Memiliki sihir artinya semua bisa jadi lebih mudah dan itu memang benar, meskipun aku butuh kekuatan lebih untuk bisa membuat jembatan. “Selain berenang atau aku harus membuat jembatan dengan sihir, apakah ada cara lain untuk bisa menyeberang jalan kesana?” bisikku sambil memikirkannya. “Terbang dengan sapu ajaib,” jawaban Ethan membuatku mendesah. Andai saja ada sapu terbang seperti kisah-kisah penyihir dari buku maupun dari film-film, tentu saja dengan senang hati aku akan menggunakannya. Aku geleng-geleng lalu membawa setangkup kayu kering yang siap untuk dipakai membakar ikan. Di tepi sungai, Ethan menata kayu untuk membuat api unggun. Aku membersihkan perut ikan lalu menancapkannya ke kayu. Di tepi sungai, aku bisa melihat para serigala di seberang sana sedang menunggu kedatangan kami. Aku menoleh, memandang Ethan yang sedang sibuk menggesekkan batu dengan dengan untuk membuat api. Perlahan percikan api mulai muncul, ia meniupnya agar api semakin membesar. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku lalu mendekatinya. Menancapkan kayu di dekat api yang semakin besar. Aku senang melihat proses pembakaran ikan, meskipun dengan cara yang sangat sederhana. Kulit ikan perlahan mulai kering dan kehitaman, aromanya semakin lama semakin enak. “Para werewolf menunggu kita di seberang sana. Benarkah tidak ada jalan lain untuk menyeberang?” tanyaku sambil menopang dagu dengan dua lututku yang ditekuk. Ethan menggeleng, ia sibuk membalik ikan yang telah matang di satu bagian. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya ikan matang dengan sempurna. Ia mengambil satu dan menyerahkannya kepadaku. Aku segera menggigitnya meskipun sangat panas. Perutku terlalu lapar sampai bisa menggigit api sekalipun. Ethan tersenyum sambil menikmati ikan bagiannya. Ia makan dengan cepat, ikan yang dipenuhi daging tebal pun tinggal kepala, duri dan ekor saja. Sementara ikanku masih separuh, aku ingin menikmatinya dengan santai. Tiba-tiba Ethan berdiri dengan sikap waspada, membuatku segera bangkit dan mengikuti arah pandangannya. Sesuatu yang sangat besar tiba-tiba menubruknya, membuatnya segera berubah menjadi wolfy dan pertempuran kembali terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD