Aku Penyihir

1066 Words
Masa transisi, itulah yang kudengar dari Mr. Max saat ia memeriksaku. Kemampuan sihir akan kumiliki seutuhnya jika bisa melewati masa transisi yang akan terjadi malam ini. Tidak banyak yang diketahui Mr. Max, akan tetapi ia pernah mendengar hal ini dari ibu. Mr. Max meminta Ethan memindahkanku ke tengah labirin. Selama masa transisi, penyihir akan sulit mengendalikan diri mereka. Apapun bisa terjadi selama itu. Mr. Max meminta semua pergi, tetapi Ethan memilih tetap bersamaku. Ia tak mau aku sendiri, sekalipun itu mengancam nyawanya. “Pergilah, Ethan. Aku tidak mau hal buruk terjadi padamu.” Aku mendorong Ethan, tetapi ia bergeming. Berdiri di tengah taman labirin, dadaku berdetak kencang dan terasa sakit setiap kali menarik napas. Rasa itu kian lama kian menyiksa hingga aku menekan d**a. Sesuatu terasa seolah memaksa masuk ke dalam tubuhku, tetapi entah apa itu. “Rachella, apa kau baik-baik saja?” Ethan mendekatiku, ia menyentuh kedua pundakku. “Ethan, sakit.” Ethan mengangkat tubuhku dan membopongku menuju gazebo. Aku berbaring menelungkup, menahan d**a yang sakitnya kian menyiksa. “Ella, bertahanlah!” Ethan merengkuhku, membiarkanku meringkuk dalam tubuhnya yang hangat. Aku terisak, rasa sakit itu seolah menembus lebih dalam, rasa panas itu menjalar ke seluruh tubuh. Tubuhku bergetar hebat, bagai terkena sengatan listrik dengan tekanan besar. Pandanganku melayang, semua berputar dan tiba-tiba aku melihat segalanya berubah, seolah aku baru saja melakukan perjalanan waktu. Rasa sakit yang tadi kurasakan, lenyap begitu saja. Aku berada di sebuah tanah lapang dengan rumput hijau menghampar bagai sebuah permadani. Angin sepoi-sepoi dan udara yang hangat membuatku merasa sangat tenang dan nyaman. Sebuah cahaya terang berada di depanku, seumpama lampu sorot panggung. Seseorang perlahan muncul semakin lama semakin jelas. Seorang wanita yang sangat cantik, tersenyum kepadaku. Ujung rambutnya yang sepanjang pinggang, melambai-lambai tertiup angin. “Ibu.” Airmata menitik saat melihat wanita yang sangat kurindukan. Sudah sangat lama kami terpisah oleh dunia. Tidak pernah sedetik pun aku membayangkan bisa bertemu dengan ibu. “Ibu … ini aku, Rachella.” Aku mendekati ibu, ingin memeluknya namun ibu hanya berupa bayangan serupa hologram yang bisa dilihat namun tidak bisa disentuh. Meski begitu, aku tetap sangat bersyukur akhirnya bisa bertemu dengannya. “Rachella, Putriku.” Ibu tersenyum, cantik sekali. Secantik saat aku melihatnya sewaktu masih kecil. Pohon lavender tiba-tiba muncul mengelilingi kami berdua. Pohon-pohon maple muncul di belakang pohon lavender yang berbunga dan menyebarkan aromanya yang khas. Kastil Madamoissale tiba-tiba terlihat. Tempat ini sangat kukenal, tempat yang dahulu menjadi taman bermain kami. Aku memejamkan mata, menghidu aroma lavender dalam-dalam. Menikmati suasana yang begitu menenangkan. Kami berjalan beriringan, sesekali saling menukar senyum. “Ayahmu … sudah tenang bersama Ibu. Begitu juga dengan Dorothy dan Dolores.” Ibu menunjuk ke depan, membuatku mengikuti arah telunjuknya. Ayah, Dorothy dan Dolores, berdiri berjajar beberapa meter di depan kami. Ketiganya tersenyum, membuatku tak mampu meredam tangis bahagia. Tetapi bagaimana dengan Redrick? Dimana dia sekarang? Aku menatap Ibu kembali, menelengkan kepala dan hendak menanyakannya tetapi ia tersenyum sambil mengangguk pelan. “Apakah itu artinya Redrick masih hidup?” tanyaku. Ibu kembali tersenyum sambil mengangguk, membuatku lega. Setidaknya pria itu masih hidup dan aku harus kembali, harus merebut kastil dan orang-orangku. “Rachella Clarrise Madamoissale, keturunan Lord Madamoissale, putri Clarrise Charlotte Madamoissale. Kuserahkan kekuatanku kepadamu, gunakan kekuatanmu dengan bijaksana.” Ucapan Ibu membuatku keluar dari lamunan. Entah sejak kapan, Ibu sudah berdiri di hadapanku. Di tangannya terdapat sebuah bola cahaya kuning yang bersinar sangat menyilaukan. Bola itu terbang perlahan mendekatiku hingga akhirnya masuk ke dalam dadaku. Membuat rasa nyeri benar-benar menyiksa, seperti saat beberapa waktu lalu di kastil Madamoissale. Aku merintih, nyeri itu membuat kedua lututku melemah hingga akhirnya aku jatuh ke tanah. Semua pemandangan itu perlahan berubah menjadi gelap dan perlahan aku seolah kembali ke gazebo. Ethan mengguncang bahuku, memannggil-manggil namaku. “Ethan,” lirihku. Aku kembali bergulat dengan rasa sakit dan rasa panas yang menyiksa seluruh tubuhku. “Ethan….” Hanya nama itu yang lolos dari mulutku, sebelum segalanya kembali gelap. *** Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar lalu memandang selimut putih yang menutupi tubuhku dari kaki hingga leher. Ethan, Mr. Alex dan Mrs. Alena menatapku dengan tatapan lega sekaligus khawatir. “Ethan….” Aku berusaha bangkit, tetapi tubuhku terlalu lemah hingga Mrs. Alena membantuku duduk. “Selamat, Yang mulia.” Mr. Alex menunduk dengan satu tangan di depan d**a, seolah memberiku penghormatan. Ethan dan Mrs. Alena pun ikut melakukan hal yang sama. “Mengapa….” “Kami akan setia kepada anda, Ratu Madamoissale,” sela Mr. Alex. Apakah ada yang salah? Mengapa Mr. Alex dan keluarganya bertingkah sangat aneh. Membuatku tersenyum getir. Aku menatap segelas air di atas nakas, ingin mengambilnya dan meneguk isinya. Ajaib. Gelas itu tiba-tiba melayang, mendekatiku dan berhenti tepat di atas tangan yang masih terkulai lemah di atas pangkuanku. Aku menangkap gelas itu, meneguknya hingga tandas. Rasanya benar-benar menyegarkan sekali. Mr. Alena mengambil gelas kosong dari tanganku dan meletakkannya kembali di atas nakas. Aku memandang cermin di sebelah gelas. Aku mengangkat tangan sambil memikirkan cermin itu ada di tanganku. Sebuah keajaiban kembali terjadi, cermin itu benar-benar ada di genggaman tanganku dalam sekejap mata. Aku tersenyum, puas dengan apa yang terjadi. Aku mengamati kedua mataku, warnanya kini sehijau hutan Darkforest di puncak musim semi. Sehijau zamrud. Warna kulitku lebih putih dan pucat, tetapi aku tidak merasa sakit sama sekali. Seseorang datang lalu membisikkan sesuatu kepada Mr. Alex, membuat pria itu terhenyak kaget. “Apakah ada sesuatu yang terjadi? … maafkan aku, bukan maksudku mencampuri urusan kalian.” Sesaat mata Mr. Alex melebar namun kemudian ia tersenyum. “Maafkan saya. Rogue kembali menyerang dan….” Mr. Alex menimbang sesuatu. “Dan….” Aku menunggu jawaban Mr. Alex dengan sangat tidak sabar. “Maafkan saya. Bangsa Gloudes juga menyerang pack kami. Saya harus segera memimpin pasukan. Sekali lagi maafkan saya.” Mr. Alex menghormat lalu mundur beberapa langkah sebelum memutar badan dan keluar kamar. “Apakah maksudnya Gloudes yang dulu mengejarku? Yang memakai jubah hitam dan berwajah tengkorak dengan bola api di tengah rongga matanya?” tanyaku penasaran. Ethan mengangguk, ia menyugar rambut sambil mengembuskan napas ke udara. Dari caranya menatapku, aku bisa merasakan jika ia ingin sekali bergabung dengan ayahnya. Aku bangkit, dibantu Mrs. Alena. “Apa yang ingin kau lakukan, Mate … maksudku, Ratu maafkan saya….” Ethan tiba-tiba menjadi kikuk, menjadi begitu canggung. “Hentikan Ethan. Jangan panggil aku ratu. Aku Ella, Rachella. Mate-mu.” Aku melotot, membuat Ethan mengatupkan bibir. “Aku ingin membantu. Sudah saatnya aku maju.” “Tapi … kau belum siap,” ucap Ethan. “Kita tidak akan tahu. Lagipula, ada kau yang akan melindungiku.” Aku melangkahkan kaki keluar kamar, sementara Ethan berjalan di sebelahku tanpa berkata-kata. Rasanya aneh, tetapi saat ini yang harus kulakukan adalah mencoba kekuatanku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD