Maze

1346 Words
Berdiri di tengah labirin, menghirup aroma pohon dengan tunas-tunas yang baru saja tumbuh. Suara burung-burung berkicau. Angin sepoi-sepoi dan kehangatan sinar mentari, memanjakan seluruh indraku. Kupejamkan kedua mata, menikmati suasana alam yang begitu menenangkan. Kulepaskan semua beban pikiran. Di tempat ini, hanya aku. Kubuka kedua mata, seekor burung yang bertengger di atas patung malaikat sedang menelengkan kepala, menatapku. Kuulurkan tangan kanan, meminta burung itu hinggap di atas telunjukku. Ajaibnya, burung itu seolah tahu keinginanku. Burung itu sangat indah apalagi dilihat dari jarak sedekat ini. Kepalanya hijau gelap dan mengkilat karena pantulan sinar mentari. Burung itu hendak mengepakkan sayap tetapi aku memintanya diam. Burung itu menurut, melipat kedua sayapnya kembali. “Kau indah apalagi jika sayapmu berwarna merah.” Aku tersenyum, membayangkan sayapnya berubah merah. Ajaib … perlahan sayapnya benar-benar berubah merah. Mataku terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Apakah ini mimpi? Kukucek kedua mata dengan tangan kiri, mengerjapkannya beberapa kali. Kulihat kembali sayap burung yang masih tetap merah, sama persis dengan apa yang kubayangkan. “Rachella, kau sedang apa?” Suara Ethan mengejutkanku dan membuat burung itu terbang tinggi. Aku memutar badan, tersenyum, tak percaya bahwa aku bisa sihir. “Kau lihat itu, Ethan. Sihir … aku bisa sihir.” Aku mendekati Ethan, membayangkan kaos birunya berubah menjadi merah. Akan tetapi, tidak ada yang terjadi. Aneh sekali. “Padahal tadi bisa,” gumamku. “Jika kau bisa sihir … baguslah.” Ethan meraih pundakku, mengajakku berjalan menyusuri labirin yang berkelok-kelok. Aku menyipitkan mata, Ethan jelas tidak percaya ucapanku. Beberapa kali aku mencoba melakukan sihir dengan cara yang sama saat menyihir warna sayap burung tadi, namun tidak ada yang berubah. Aku mengembuskan napas berat ke udara, kurasa tadi salah lihat. *** Keluarga Ethan sedang menyiapkan pesta penyambutan untukku. Mrs. Alena sibuk memerintahkan para pekerja untuk menyulap ruang tamu menjadi ruang pesta. Semua terlihat berantakan hingga aku pun ikut turun tangan. Pekerjaan yang dulu sering kukerjakan, membuatku kembali teringat masa-masa indah di kastil Madamoissale. Meminta seorang pekerja merapikan meja panjang yang berada di sisi kanan ruangan, memintanya meletakkan piring bersusun –fountain— berbahan stainless dimana nanti akan berisi coklat meleleh. Meminta pekerja lain meletakkan karangan bunga di tengah meja tersebut dan masih banyak lagi hingga akhirnya ruangan benar-benar berubah menjadi ruang pesta. Dua meja panjang ada di sisi kanan dan kiri ruangan. Karpet merah dengan tepian garis emas menutup seluruh lantai. Sebuah panggung kecil berada dekat dengan tangga, tempat musisi akan memainkan musik sementara para tamu berdansa. Mrs. Alena membariskan seluruh pekerja, membagikan tugas-tugas untuk nanti malam. Wanita itu terlihat lembut namun tegas di waktu yang sama. Aku sangat kagum dengan sikapnya, seorang luna memang seharusnya seperti Mrs. Alena. “Dia memang wanita hebat.” Ethan berdiri di sampingku, memandang kagum ibunya. “Kau benar. Ibumu memang hebat.” Tak bisa kupungkiri, karena itu juga yang kurasakan. Mrs. Alena menepuk tangannya dua kali, para pekerja membubarkan diri. Wanita itu menoleh ke kami berdua. Mendekati kami dengan wajah sumringah. “Kau … pakailah tuksedo yang sudah Ibu pilihkan.” Mrs. Alena memandangku. “Dan kau putriku, saatnya kita bersenang-senang.” Mrs. Alena melingkarkan lengannya ke lenganku, menyeretku keluar, memisahkanku dari pria yang sebenarnya masih sangat berharap bersamaku. *** Mrs. Alena membawaku ke sebuah butik yang katanya paling terkenal di blue moon pack. Berada di tengah kota dimana kami harus melakukan perjalanan beberapa menit dengan mengendarai mobil. Kupikir, menjadi werewolf tidak perlu mengendarai kendaraan. Mereka bisa berubah menjadi serigala lalu berlari cepat kemana saja, akan tetapi aku salah. Mrs. Alena menyebutnya primitif. Werewolf harus mengikuti kemajuan jaman, lagipula mewujud serigala akan merusak penampilannya. Butik ini tidak terlalu besar, luasnya hanya sekitar empat kali empat meter persegi dengan pakaian menggantung berjajar di sisi kanan dan kiri ruangan. Di bagian depan, diletakkan manekin dengan pakaian terbaik mereka. Satu hal yang pasti, pakaian di tempat ini sangat bagus. Sulit bagiku untuk memilih satu atau dua dari seluruh koleksi mereka. “Ini cocok untuk penyihir seperti anda, Nyonya.” Seorang wanita bertubuh langsing dan tinggi semampai, menunjukkan sebuah gaun pesta hitam sepanjang mata kaki dengan belahan sampai setengah paha. Sebuah gaun yang membuatku teringat akan sosok Esperanza, membuatku menggeleng hanya dalam hitungan dua detik setelah wanita itu menunjukkannya. “Aku lebih suka sesuatu yang simple, elegan tetapi tidak mengekspos tubuhku.” Aku tidak mau mengenakan semua hal yang sama seperti yang dikenakan Esperanza, namun wanita itu –pemilik sekaligus perancang di butik ini— menunjukkan pakaian-pakaian yang disebutnya pakaian khusus penyihir. Pakaian ala Esperanza. “Ella. Kurasa ini pakaian cocok untukmu.” Mrs. Alena menunjukkan sebuah gaun hitam yang indah. Sebuah gaun hitam model A-line yang panjangnya persis di bawah lutut. Dengan garis leher rendah sebatas d**a, pasti akan membuatku tampak anggun dan elegan. *** Di kamar, kupandangi diriku di pantulan cermin. Mengenakan gaun hitam yang tadi kubeli di butik bersama Mrs. Alena. Sentuhan riasan wajah dan sanggul sederhana, menyempurnakan penampilanku. “Kau terlalu cantik. Aku tidak suka.” Ethan mengejutkanku. Ia berdiri di samping, ikut memandangku dari pantulan cermin. “Ini sempurna.” Kami saling melirik. Terlihat jelas Ethan kagum dan tidak senang dalam waktu bersamaan. “Kau cemburu pada sesuatu yang tak penting, Tuan pecemburu,” ledekku. Ethan tertawa, ia memutar tubuhku menghadapnya. Hendak mencium bibirku namun dengan cepat kututup mulutnya dengan telapak tangan. Aku tidak mau Ethan merusak riasan wajah yang sangat sempurna ini, namun itu artinya aku harus melihatnya cemberut, membuatku ingin sekali menciumnya karena gemas. “Rachella. Dengarkan aku….” Ethan menyiapkan diriku untuk pesta ini. Ia mengatakan bahwa tidak semua orang menyukaiku. Aku sadar aku bukan bagian dari mereka. Terlepas apakah aku seorang penyihir atau bukan, tetap wajar jika beberapa dari mereka tidak menyukaiku. Degup jantungku tiba-tiba berdetak kencang, kusentuh dadaku. Kusiapkan mentalku untuk menghadapi respon mereka. “Rachella Clarrise Madamoissale Radcliffe, mate Ethan Radcliffe. Calon Luna blue moon pack. Sambut mereka…,” ucap Mr. Alex dengan suara lantang di atas panggung, di depan para musisi yang kini mulai memainkan musik mereka. Ethan menggandengku menuju pesta, menuruni anak tangga demi anak tangga, memandang wajah-wajah dengan tatapan-tatapan beraneka warna. Semuanya hanya tertuju padaku. Suara alunan musik yang lembut, tidak menyurutkan rasa gugup yang kurasakan. Mata-mata itu seolah berkata, aku tidak pantas bagi Ethan. Aku dan Ethan berdansa sebagai pasangan untuk pertama kalinya. Hanya berdua di tengah lantai dansa sementara para undangan yang merupakan seluruh warga blue moon pack mengelilingi kami. Sesekali aku memandang mereka, sembari terus berdansa. Alunan musik berhenti, Ethan membungkuk hormat untuk mengakhiri dansa. Tepuk tangan membahana, Mrs. Alena dan Mr. Alex mendekati kami berdua. Mengajakku bertemu dengan beberapa orang penting di pack ini, semacam pejabat daerah jika di dunia manusia. Mr. Maximilliano pun ada bersama mereka, juga pria yang sama yang menjelek-jelekkanku kemarin. Pria itu menatapku jijik, “tidak seharusnya Luna dari orang luar,” ucapnya tanpa basa-basi. Seketika perhatian kami berpindah kepadanya. Ethan menggenggam tanganku erat, berusaha menenangkanku. “Luna harus dari bangsa werewolf, dari luar blue moon pack pun tidak apa-apa.” Pria itu terus mengucapkan kata-kata yang sama seperti yang diucapkannya kemarin. Membuatku semakin sulit mengontrol emosi. “Dia hanya penyihir bocah yang tidak bisa sihir. Tidak berguna bagi bangsa kita,” imbuhnya. “Mr. Johnson, kita sudah membahasnya kemarin. Aku tidak akan menjadi alpha jika memang kalian tidak menginginkannya.” Ethan menggeram, rahangnya mengetat. Kali ini aku yang menggenggam tangannya erat. “Sudahlah. Jangan mulai lagi.” Mr. Alex berusaha melerai namun Mr. Johnson justru semakin meradang. Pria baya itu menatapku lekat, menunjukku dengan telunjuk berkuku hitamnya. “Kau pergilah dari pack ini baik-baik. Aku tidak tahu kenapa kau berada di tempat ini, penyihir bodoh.” Suara lantangnya membuat perhatian orang-orang yang tadinya tidak memerhatikan kami akhirnya menatap kami. Aku menyipitkan mata, sungguh muak dengan pria tua menyebalkan ini yang berani memperolokku di depan banyak orang. Aku memejamkan kedua mata, menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengenyahkan segalanya seperti yang kemarin pagi kulakukan. Kuharap pria itu kehilangan suara, selamanya. Aku membuka kedua mata, melihat Mr. Johnson membuka dan menutup mulut tanpa mengeluarkan suara. Pria itu kebingungan, panik, kali ini tingkahnya benar-benar menjadi pusat perhatian. “Ella, kembalikan Mr. Johnson seperti semula.” Ethan menatapku dengan tatapan memohon. “Apakah ini sihirku? … apa kau percaya aku?” Aku tersenyum, pada akhirnya semua tahu bahwa aku bisa sihir namun Ethan hanya menyipitkan mata, ia mendekati Mr. Johnson yang histeris tanpa suara. Aku terkejut karena Ethan mengacuhkanku … apakah ini karena sihirku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD