Malam Ritual

1162 Words
Entah berapa lama aku berada disini, sendirian. Sementara suara jeritan beberapa wanita bersamaan dengan suara geraman serigala begitu dekat. Aku ingin berlari tetapi tubuhku masih membeku. Jika pun harus berlari, aku tidak tahu harus berlari kemana. Apa mereka mengerjaiku? Jika memang benar, mereka jauh lebih kejam dari ibu. Tidak, aku harus memercayai Ethan. Aku harus memercayai orang tuanya. Tetapi sampai kapan aku disini dalam kepasrahan. Bagaimana jika bukan Ethan yang datang tetapi serigala lain yang siap menyantapku. “Ethan. Wolfy,” lirihku. Suara gemerisik dan dahan yang patah membuat segalanya seolah berhenti. Apakah dia wolfy, Ethan ataukah ada serigala lain? Aku berdiri kaku. Menajamkan pendengaran yang kini menangkap suara geraman yang semakin lama semakin mendekat. “Wolfy, kaukah itu?” Kuharap memang dialah yang datang tetapi bagaimana jika bukan. “Bukan, kau bukan wolfy.” Tubuhku seketika gemetar hebat. Seekor serigala besar menggeram dengan gigi-gigi yang tajam seolah siap mengoyak tubuhku. Aku mundur namun seketika terjatuh karena menabrak batang pohon maple yang tumbang. Dengan tergesa-gesa, aku merangkak menjauh namun serigala itu hanya perlu satu lompatan untuk kembali berhadapan denganku. Suara geraman lain muncul, namun aku terlalu takut untuk menoleh. Serigala itu melompat tepat di atasku dan menyerang serigala yang tadi berada di depanku. Pergulatan dua serigala tak terelakkan. Suara geraman yang nyaring serta sesekali suara rintihan terdengar. Aku tidak tahu apakah itu tadi wolfy atau serigala lain, tetapi perasaan takut itu membuatku ingin segera bangkit untuk melarikan diri. Aku berlari secepat yang kubisa. Tidak tahu arah selain menjauh dari tempat ini sejauh-jauhnya. Ini bukan ritual penyatuan. Ini perburuan. Mereka berburu. Entah apa yang akan mereka lakukan setelah bisa menangkapku. “Hei. Hentikan.” Seekor serigala tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok wanita yang mencengkeram lenganku. “Lepaskan aku. Lepaskan aku.” Aku menarik tanganku namun wanita itu justru mencekal lenganku lebih kencang. “Kau diamlah atau mate-mu tidak akan menemukanmu. Walau aku sangsi. Priamu pasti bisa mencium baumu berkilo-kilo meter. Tapi jika kau berlari, dia akan kesulitan mencarimu.” Aku menatap wanita yang sepertinya usianya tidak terlampau jauh dariku. “Kau … juga ikut perburuan … maksudku, ritual ini?” “Sudah jelaskan.” Wanita itu bersandar pada sebatang pohon maple. “Kuharap mate-ku setampan Ethan,” ucapnya. “Kau kenal Ethan?” “Dia calon alpha, tentu saja aku mengetahuinya. Lagipula, hanya dia yang memiliki mate diluar bangsa kami. Baumu … kau penyihir.” “Bagaimana kau tahu?” “Tentu saja. Jika kau manusia biasa, kau pasti sudah ada di perutku atau werewolf lain sejak tadi.” Aku menelan ludah susah payah, tidak berani membayangkan jika aku hanya manusia biasa lalu beberapa werewolf menyerang dan memakan dagingku. “Aku Lucinda. Senang berkenalan denganmu, Rachella.” “Kau tahu namaku?” “Hanya ada dua penyihir yang pernah datang kesini. Clarissa yang sudah mati dan kau, Rachella. Aku yakin berita tentangmu sudah menyebar ke pack-pack yang lain.” Ini juga sebuah persamaan antara kaum manusia dan werewolf, sama-sama suka membagi informasi apapun kepada sesamanya. Aku tersenyum namun hanya sesaat karena tiba-tiba Lucinda menjerit saat seekor serigala menggigit lehernya dari belakang. Tetapi anehnya, wajah Lucinda tidak menunjukkan rasa sakit, justru ia terlihat lega. “Dia … mateku.” Lucinda membalik badannya dan berubah wujud menjadi serigala. Kedua serigala itu saling bergelut. Geraman-geraman aneh memenuhi indra pendengaranku. Sulit dipercaya tetapi mereka seolah tidak melihatku. Serigala besar yang merupakan mate Lucinda tiba-tiba memasukkan dirinya ke dalam tubuh Lucinda. Ini gila. Benar-benar gila. Aku tidak sanggup melihat kegilaan ini jadi aku memilih memutar badan dan membiarkan sepasang serigala ini menuntaskan birahi mereka. “Ella. Kau disini.” “Ethan. Aku … ARGH…” Tiba-tiba Ethan memelukku dan menggigit leherku. Memberiku sensasi panas luar biasa namun bagian bawahku berkedut-kedut penuh kenikmatan. “Ethan.” Ethan menciumku dengan sangat kasar dan menuntut. Tubuhku melemas dalam pelukannya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menerima ciuman dan sentuhannya. Ethan memujaku dengan cara paling aneh dalam sejarah. Ia mengoyakku seperti secarik kertas yang rapuh namun dalam makna yang penuh kenikmatan. Aku terbaring di atas dedaunan yang seharusnya sangat dingin namun yang kurasakan justru kehangatan. “Rachella, kau mate-ku. Aku menandaimu sebagai lunaku. Sebagai ibu bagi blue moon pack. Apa kau bersedia.” Ethan berada di atas tubuhku, napasnya memburu seperti habis berlari berkilo-kilo meter jauhnya. “Aku bersedia.” Jawaban yang tidak perlu dipikir dua kali apalagi di saat diriku ingin menerima Ethan sepenuhnya. Ethan kembali menciumku, aku terlena oleh sentuhannya, ciumannya dan rasanya seperti ada kembang api yang siap meledak di kepalaku. Sebuah hujaman yang begitu menyakitkan terasa begitu teramat sangat. Membuatku menjerit kesakitan dan berontak namun Ethan tidak membiarkanku dan terus mendekapku. “Tenanglah, Rachella. Biasakan diriku dalam dirimu.” Aku memejamkan mata, berusaha menerima dirinya dalam diriku. Rasa sakit itu membuat pangkal pahaku berdenyut-denyut nyeri namun lama-kelamaan rasa itu begitu nikmat hingga proses penyatuan itu membawaku terbang ke langit ke tujuh sambil meneriakkan nama Ethan. *** Aku terbangun dengan badan yang masih terasa lelah. Tubuhku hanya terbalut selimut putih yang menutup hingga d**a. Aku duduk dengan susah payah. Kejadian aneh semalam membuat mataku menyipit, apakah semalam itu nyata atau itu hanya mimpi semata? Aku berada dalam kamar yang berbeda dari kamarku sebelumnya. Kamar ini didominasi warna abu-abu dengan gorden berwarna hitam. Tidak ada foto apapun disini, namun aku yakin ini kamar Ethan. Tapi bagaimana aku bisa sampai sini. Selimut yang menutupi tubuhku luruh ke lantai saat aku bangkit dari ranjang. Berjalan dengan langkah yang sangat tidak nyaman pada bagian pangkal paha, tidak menyurutkan niatku untuk ke kamar mandi. Jacuzzy biru di kamar mandi Ethan membuatku ingin menikmati berendam dalam air hangat. Entah berapa lama aku berendam namun aku mulai bangkit saat air sudah terasa dingin. Aku beranjak dari jacuzzy, mengambil jubah mandi besar berwarna abu-abu yang digantung di dekat wastafel. Aku menatap wajahku di cermin, mengamati kembali iris mataku yang kini didominasi warna hijau, sehijau hutan tropis. Warna yang cukup aneh namun kupikir ini ada hubungannya dengan darah penyihir dari ibu. Tidak ada penyihir yang akan mengajarkanku sihir. Aku pun belum pernah mendengar sebuah sekolah semacam Hogwart –sekolah sihir di novel Harry Potter karya JK Rowling—. Aku penasaran sekali bagaimana sihir itu bekerja jika aku tidak tahu bagaimana membaca mantra sihir. Aku tersenyum sendiri, sambil meraih sikat gigi berwarna merah muda yang aku yakin adalah milikku. *** Mengenakan kaos Ethan yang besar hingga menutup lututku, aku keluar kamar hendak menuju kamarku saat tanpa sengaja mendengar seseorang berbicara di sebuah ruangan. “Luna harus dari bangsa kita. Tidak seharusnya alpha memiliki luna … manusia.” Suara seorang pria membuatku sangat penasaran hingga memberanikan diri untuk mencuri dengar. Pintu sedikit terbuka sehingga aku bisa melihat seorang pria berambut panjang sepunggung sedang berbicara dengan seseorang. “Dia penyihir.” Itu suara Mr. Alex. “Dia hanya keturunan penyihir, tapi tidak ada yang menjamin dia bisa sihir,” sanggah pria itu. “Jika dia bisa sihir. Pack kita akan jadi yang terkuat. Bahkan vampir akan mengakui kekuatan kita dan tidak ada yang berani dengan blue moon pack.” Suara Ethan sarat kemarahan. “Lagipula, bukan aku yang memilih mate. Kau tahu itu,” imbuhnya. Adu mulut itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya aku memilih pergi dari tempat itu. tempat ini asing bagiku, sekalipun keluarga Ethan membuatku nyaman, tetap saja aku bukan bagian dari keluarga ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD