Kencan pertama

1122 Words
Cincin adalah awal kisah kami. Setelah mengikat diri dengan benda itu. Aku dan Ethan melanjutkan kencan kami dengan menonton bioskop. Ini adalah kencan yang biasa dilakukan anak seusia kami. Bioskop, sekantong popcorn, segelas besar minuman cola dan ciuman. Sempurna. Ethan sedang membeli tiket, sementara aku memutuskan membeli sekantong berondong dan dua gelas cola. Berdiri di depan meja sambil mengamati pelayan mengambil berondong dan memasukkannya ke kantong berwarna biru bermoif bintang-bintang. Aku memandang seluruh ruangan bioskop yang sudah ramai. Aku berada di dalam sebuah ruangan besar dengan kursi berlapis bulu domba yang cukup panjang untuk diduduki empat pasang orang. Di sisi kananku, tiga pegawai yang duduk di balik kaca sedang melayani orang-orang yang memesan tiket, termasuk Ethan. Ethan-ku, menoleh dan tersenyum, membuat senyumku berkembang sempurna. Ia masih harus mengantri empat antrian lagi. Di depannya, seorang pria tinggi besar, memakai jaket kulit dan memakai celana jins. Sepertinya orang itu tidak terpengaruh cuaca ekstrim musim ini. Aku kembali menatap seorang pegawai yang memakai kemeja biru dan tertutupi oleh apron merah. Ia sedang mengumpulkan popcorn yang baru saja matang, untuk dimasukkan ke dalam kantong kertas berukuran cukup besar dan berwarna merah. Seseorang merangkul pundakku, kontan aku menoleh kepadanya. Ethan menunjukkan dua tiket film hantu. Jenis film yang sering ku tonton. Apakah Ethan beranggapan, aku akan menjerit ketakutan dan memeluknya erat? Ia salah besar jika ia menganggapku seperti gadis pada umumnya. Ethan terkekeh, ia membuang muka untuk menutupi dirinya yang sedang tertawa, menertawakanku. Aku tahu Ethan bisa membaca pikiranku, tetapi tetap saja ini terasa sangat aneh. Aku mencubit pinggangnya, tetapi Ethan justru terang-terangan menertawakanku. “Aku tidak suka kau membaca pikiranku. Pura-puralah kau tak tahu.” Aku meliriknya sebal, tetapi tetap saja Ethan sulit menutup mulutnya. “Ethan.” Aku mendelik, merasa kesal dengannya. “Maafkan aku. Kau lucu, Rachella.” Ethan mengusap rambutku. Tangannya yang besar memenuhi kepalaku. “Aku memang lucu. Apalagi jika memakai kostum badut dan hidung merah besar seperti tomat. Puas?” Aku berjalan cepat, meninggalkan Ethan yang kini kembali tertawa. Sosok pria berjubah hitam kulihat berdiri di dekat pintu masuk studio bioskop. Tubuhku tiba-tiba menggigil ketakutan. Sosok itu, sosok yang sama dengan yang pernah kulihat sebelumnya. Siapakah dia? Jubah hitamnya, membuatku tidak bisa melihat wajahnya. Sosok itu mematung tetapi aku yakin sosok itu sedang mengawasiku. Napasku seolah berhenti, mengingat kembali tentang kejadian saat malam itu. Saat sosok itu bertarung dengan seekor serigala raksasa di balkon kamarku. Apa yang sebenarnya ia inginkan? “Ella. Ada apa?” Ethan membuatku terlonjak. Jantungku berdetak kencang hingga telingaku bisa mendengarnya. “Ella!” Ethan mengguncang bahuku pelan, membuatku keluar dari lamunan. Aku kembali menatap ke arah sosok itu, tetapi sosok itu telah lenyap. Menghilang seperti hantu. “Tidak apa-apa.” Aku menggandeng lengan Ethan, menariknya menuju studio satu dimana film yang akan kami tonton akan dimulai. Menonton film horror bersama Ethan sangat menyenangkan. Sambil menikmati berondong, aku menonton film horror seperti sedang menonton film drama. Sengaja kuletakkan kepalaku di pundak Ethan dan tangan kami bergandengan erat. Kurasa ini adalah kencan yang sempurna. “Kau benar-benar unik, Rachella.” Aku terkekeh, mendongak dan tanpa sengaja membuat tatapan kami begitu dekat. Napasnya membuai indra penciumanku. Rasanya adrenalinku melonjak seperti saat pertama kali menonton film the 13th Friday bersama ayah beberapa tahun lalu. Ethan memandang mataku lalu turun ke bibirku. Kurasa sekarang aku bisa membaca pikirannya. Ethan menginginkanku. Ia menginginkan sebuah ciuman hangat, seperti aku yang menginginkannya. Ethan menyentuh daguku, seolah sedang menahanku dan itulah kenyataannya. Bibirnya yang lembut dan hangat –sekalipun aku yakin suhu turun hingga minus sepuluh derajat, tapi sepertinya tubuh Ethan tidak terpengaruh cuaca— kini menyentuh bibirku. Awalnya sentuhan itu terasa ringan, tetapi ada dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang lebih. Ciuman kami pun akhirnya semakin dalam, hingga bisa kurasakan lidahnya membersihkan mulutku. Rasanya fantastis. Apakah aku menikmati filmnya? Sejujurnya tidak. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati film jika aku lebih suka menikmati Ethan. Mencium wanginya. Mencium bibirnya. Aku seperti magnet. Suka sekali menempel padanya. Apakah semua pasangan yang sedang jatuh cinta seperti kami? Aku tidak tahu pasti. Berjalan di pertokoan di kota Sommerset, salju turun cukup lebat. orang-orang merapatkan mantel mereka. Aku pun demikian, hanya saja aku tak hanya merapatkan mantel, tetapi juga merapatkan diri ke Ethan. Seperti sepasang kekasih yang berjalan di seberang jalan sana yang sedang berpelukan dan berciuman. Seolah tubuh mereka dilem dengan sangat kuat. Bahkan aku melihat sepasang kekasih sedang berciuman mesra, di dekat butik. Keduanya tidak peduli sedang dimana, tetapi kurasa akupun tidak peduli dimana aku berada saat berciuman dengan Ethan tadi. Aku tertawa sendiri. Ini benar-benar gila. Kuangkat tangan yang kini berhias cincin. Aku milik Ethan. Ethan milikku. Baru kali ini kurasakan bahagia, setelah apa yang terjadi padaku. Ethan adalah sebuah berkah. Tetapi kencan harus berakhir. Ibu baru saja menelponku dan memintaku segera kembali. Ethan membukakan pintu mobil untukku. Senyum terbaik kuhadiahkan padanya, tetapi ciuman manis justru kudapatkan.  “Hari yang indah, Rachella. Kecuali saat melihatmu hampir jatuh tadi.” Ethan membuatku kembali teringat tentang kejadian yang hampir merenggut nyawaku tadi dan sosok itu … kembali aku teringat padanya. “Ya … Ethan, terima kasih.” Tapi bagaimana bisa ia tahu aku dalam kesulitan? Entah mengapa aku merasa ini terlalu janggal. “Beruntung tadi aku melihatmu. Kalau tidak…” Ethan melirikku. Ucapannya seolah menjawab pertanyaan yang baru saja keluar dari kepalaku. Ethan sang pembaca pikiran. “Ya … kau tahu, Ethan. Kau keren sekali.” Aku menunjukkan dua jempol padanya. Tetapi Ethan tidak tertawa, ia justru diam sambil berkonsentrasi menyetir. “Jika ibumu menyuruhmu ke kota lagi. Hubungi aku! Aku tidak mau kau menyetir sendirian.” Nada suara Ethan berubah serius. Ini pertama kali aku mendengarnya, rasanya seperti bukan perkataan Ethan. “Kau dengar aku, Rachella?” tanyanya, membangunkanku dari pikiran. “Ya. Aku mendengarmu.” Ethan tersenyum lega, ia mengacak-acak rambutku dan membelai pipiku. Hutan Rotterwood semakin dekat, walau salju makin pekat tetapi pinus semakin terlihat jelas. Sejujurnya aku tak ingin berpisah dari Ethan, walau besok kami akan kembali bertemu tetapi rasanya tetap saja ingin terus bersamanya. Ini konyol sekali. Hubunganku dengan Ethan memang terlihat sedikit aneh. Tetapi ketertarikanku padanya begitu kuat, aku tidak bisa menahannya. “Ethan, berhenti!” Mobil melewati jalan menuju rumah Mr. Max. Aku tahu Ethan ingin mengantarku ke kastil, tetapi aku tidak ingin Ethan harus berjalan demi kembali ke rumahnya. Aku juga tidak ingin membuat ibu marah karena tahu aku bersama Ethan. Ethan menepikan mobil, syukurlah Ethan tidak keberatan dengan keinginanku. Aku yakin ia kembali membaca pikiranku. Aku tidak tahu bagaimana Ethan bisa melakukannya. Kapan-kapan sebaiknya aku menanyakan soal ini. “Sebenarnya aku ingin mengantarmu.” Ethan melepas sabuk pengamannya. “Aku tahu. Tapi…” “Aku tahu.” Ia kembali membelai pipiku dengan punggung tangannya sebelum ia mencium bibirku untuk beberapa lama sebagai hadiah selamat tinggal. “Rachella. Aku mencintaimu.” Ucapan Ethan adalah surga terindah. Aku seperti melihat sungai s**u coklat hangat yang manis. “Aku … juga mencintaimu.” Kupikir sulit untuk mengatakan cinta, tetapi ternyata aku salah. Aku begitu mudah mengucapkan kata itu, semudah menikmati segelas coklat panas dengan beberapa marshmellow di dalamnya. Meski berat, akhirnya aku melihat Ethan keluar dari mobil. Ia melambaikan tangan sebelum aku mulai memacu kendaraanku ke sebuah tempat yang harus aku kunjungi terlebih dulu sebelum kembali pulang.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD