Ciuman pertama

1131 Words
Apakah kematianku sudah dekat? Apakah ada yang tahu dimana jasadku nanti? Apakah sekarang aku sudah mati? Aku masih menutup wajah dengan dua tangan. Aku tidak berani melihat kejatuhanku bersama mobil ini. Aku tidak siap menghadapi kematianku. Tidak sekarang. Tidak besok atau lusa. “Rachella. Rachella. ELLA!” Seseorang membuatku tersentak. Kulihat Ethan berdiri di sampingku dengan setengah tubuhnya masuk, berhadapan denganku, sangat dekat. “Ethan,” rintihku. Kulihat mobil masih berada di depan jurang, hanya saja mobil tidak terjun bebas seperti yang kupikirkan. Aku menoleh ke belakang. Mobil van hitam berada di belakang mobilku. Aku kembali menatap Ethan. Aku senang karena selamat, tetapi aku menangis karena Ethan datang di saat yang tepat. Ethan memelukku erat, sesaat ia membiarkanku menangis dalam pelukannya hingga akhirnya ia melepasku. “Ella. Keluarlah! Uncle Max akan menderek mobilmu.” Ethan membantuku keluar dari mobil. Tubuhku masih menggigil dan gemetaran, terutama saat mendengar suara debur ombak yang begitu mengerikan. Dari sini aku bisa melihat batu-batu besar ditubruk ombak, begitu menakutkan. “Ella, kau aman, Mate. Syukurlah.” Ethan kembali memelukku dan mencium puncak kepalaku. “Ethan. Ethan.” Aku tidak mampu berkata-kata, hanya memeluknya erat sambil meresapi aroma rempah-rempah yang menguar dari kulit lehernya. “Sayang. Jangan takut.” Ethan mengangkat tubuhku dengan begitu mudah. Aku menggelung kepalaku di sela lehernya. Ia membawaku menjauhi bibir jurang sementara Mr. Max terus menarik mundur mobilku. Ethan menggendongku ala bridal, melewati pepohonan pinus hingga kami berada di tepi jalan. “Max … Paman, terima kasih. Aku akan mambantu Ella,” ucap Ethan begitu melihat Mr. Max keluar dari mobilnya. “Terserah kau … Ella, apa kamu tidak apa-apa?” Mr. Max menatapku khawatir. Meski masih sedikit gemetar tetapi aku mengangguk. “Syukurlah. Ethan, jaga dia!” Mr. Max memutuskan kembali ke mobilnya. “Kau tenang saja.” Ethan mengangkat satu bibirnya. Tatapannya menjelaskan bahwa ia memegang kata-katanya. Aku masih menggelayuti pinggang Ethan saat melihat mobil yang dikendarai Mr. Max melaju hingga tidak terlihat setelah melewati tikungan tajam. Ethan kembali memelukku. Rasanya begitu nyaman. Ethan begitu hangat dalam arti harfiah. Mungkin karena massa tubuhnya, tetapi aku merasa sangat nyaman berada dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku lembut. Mencium puncak kepalaku dan meletakkan dagunya disana. Aku terbuai oleh embusan napasnya. Rasanya tak ingin berhenti. Rasanya tak ingin lepas darinya. Aku mendongak, menatap manik mata coklatnya. Sesaat ada gerakan aneh disana, tetapi kilat itu begitu indah. Membuatku terpaku. Ethan menggeram seperti geraman wolfy, tetapi ini terdengar jauh lebih seksi. Ia menatap bibirku, membuatku menatap bibirnya yang tebal. Tanpa berpikir, aku menjinjit dan menempelkan bibirku di bibirnya. Bibirnya begitu hangat, sehangat pelukannya. Awalnya kami hanya saling menempelkan bibir, namun saat ia mencecap bibirku, aku melakukan hal yang sama. Ciuman pertamaku, terjadi bersama Ethan. Cowok terkeren di sekolahku. Rasanya terlalu indah untuk diakhiri. Ciuman yang awalnya lembut, berubah menjadi sangat menuntut. Seolah aku bernapas dengan ciumannya dan dia bernapas dengan ciumanku. Geraman seksinya kembali terdengar, membuatku semakin menuntut untuk menciumnya lebih dalam. Kututup kedua mata, tetapi saat kurasa ini salah. Aku membuka mata, ingin melihat dan sadar bahwa aku sedang berciuman dengan Ethan. Ciuman panas kami berakhir dengan sebuah pelukan hangat. Ethan, kau benar-benar pencuri hatiku. “Rachella. Aku mencintaimu, Sayang. My mate.” Suaranya parau tetapi begitu memanjakan. Membuatku kembali mendongak dan kami kembali terlibat dalam ciuman yang benar-benar bisa membuatku gila. *** Apakah sekarang aku dan Ethan resmi berkencan? Apakah ini mimpi? Apakah kami sekarang berkencan? Ethan menggandengku memasuki butik dimana aku harus mengambil pesanan ibu. Hanya butuh waktu sebentar untuk melakukannya, tetapi aku tidak ingin segera pulang. “Ethan, kita…” “Ayo jalan!” Ethan menggandeng tanganku lagi sementara satu tangannya membawa dua tas besar. Aku tersenyum, rasanya musim dingin kali ini tidak sedingin tadi pagi. Mungkin musim semi segera datang tanpa menunggu salju mencair. Kembali ke mobil, Ethan melempar tas milik ibu di kursi penumpang kemudian kembali menutup pintu dan menguncinya. “Aku ingin jalan kaki melihat Sommerset.” Ia berjalan, menjauhi mobil. Tangannya menggandengku erat, seolah takut jika kami terpisah. “Apa yang kau inginkan Ethan? Ngomong-ngomong. Aku tidak mengatakan sesuatu tentang mengambil pesanan ibu atau ke Sommerset … atau aku yang lupa.” Tiba-tiba aku merasa linglung membuat Ethan tertawa dan mencuri sebuah ciuman singkat yang sangat mengejutkanku. “Ethan.” Kuharap tidak ada siapapun yang melihat kami. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku takut jika salah satu teman kami melihat kami jalan bersama. “My mate. Kau menggemaskan.” Ethan mencubit pipiku dan merangkul pundakku. Membuatku meliriknya kesal tetapi Ethan tahu kesalku hanya sebuah kepura-puraan. Butik langganan ibu berada di pertokoan yang menjual berbagai kebutuhan. Toko-toko dengan dinding kaca yang memamerkan dagangan mereka. Jika sendirian, aku pasti sedang menikmati manekin dengan baju terbaru atau peralatan olah raga atau sesuatu yang menarik untuk dilihat. Tetapi bersama Ethan, hanya dia yang kulihat. Ethan yang baru saja mengucapkan kata cinta padaku. “Benarkah?” tanyaku, tak yakin. “Mate. Jangan pernah ragukan aku! Kelak kau akan tahu, kita terikat. Kau dan aku adalah satu.” Entah mengapa sekarang aku merasa Ethan sedikit berbeda, sedikit serius, tapi aku suka. “Apakah aku harus memanggilmu, Soul? … tapi, hei. Kau serius kan?” aku menghentikan langkah, menatap ke manik matanya, mencari kebenaran yang sejujurnya tidak ada kebohongan yang bisa kulihat. Aku bisa melihat keyakinannya. Ethan terkekeh kemudian menggeram sebelum lagi-lagi mencium bibirku, sekilas. “Ethan.” Lagi-lagi aku berbuat konyol dengan melihat ke kanan dan ke kiri, seolah ada seseorang yang mengawasi kami. Walau aku tak yakin. “Kau tahu Rachella. Aku menunggumu … sudahlah. Kau harus percaya, aku hanya mencintaimu seorang. My mate.” Aku tersenyum, senang karena kata cinta yang keluar dari mulutnya terasa semanis gula-gula. Tanpa ragu, kupeluk lengannya. Berjalan dengan perasaan bangga. Ethan adalah kekasihku. Sekarang atau nanti. Sommerset berhias mendung, salju turun walau tidak terlalu lebat. Jalanan dihiasi salju, seperti kapas dingin tersebar dimana-mana. Tetapi aku tetap merasa hangat, dalam pelukan Ethan. Soul-ku. Ethan mengajakku ke sebuah toko perhiasan. Aku tidak tahu apa yang hendak ia lakukan di toko perhiasan tetapi aku hanya menurut saja, termasuk saat ia menunjukkan sepasang cincin titanium polos, layaknya cincin pasangan. “Ethan, kita terlalu berlebihan. Maksudku….” Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ethan sekarang, tetapi kami terlalu muda untuk mengikatkan diri. “Tidak ada terlalu muda, Nona. Kau milikku. Aku milikmu. Ini hanya sebagai tanda.” Ethan memasangkan cincin di jari manisku tanpa bisa kubantah. Aku tidak tahu, tetapi aku senang Ethan mengikatku walau dengan sebuah cincin. Lagipula terlalu muda untuk menikah bukan? “Sebenarnya tidak juga. Aku ingin mengajakmu … eerrgghh, menikah.” Ethan menyeringai. Lelucon tak lucu. “Ini bukan lel…” “Stop! Jangan baca pikiranku.” Aku lupa jika Ethan bisa membaca pikiran orang. “Hanya pikiranmu, Mate.” “Ethan. Stop!” Ethan tertawa terbahak-bahak. Ia memasang cincin di jari manisnya sendiri. Rasanya malu bercampur senang, tentu saja rasa malunya yang lebih kuat. Ethan pandai sekali mengambil hatiku. Anehnya, tidak ada keraguan sama sekali. Perasaanku kepadanya begitu kuat. Hanya rasa cinta, tidak ada perasaan lain. “Eerrgghh … Rachella.” Tanpa kuduga, Ethan kembali menciumku bahkan saat kami masih berada di toko perhiasan. Beginikah rasanya cinta? Ethan, aku mencintaimu. Aku senang menjadi kekasihmu, mate-mu. “Eerrgghh … kita harus menikah,” geramnya. Tiba-tiba Ethan menyibak jaketku hingga sebagian bahuku terbuka dan tanpa kusangka-sangka, Ethan menggigit pundakku dan kurasakan dia sedang menyecap darahku. Tetapi bukan rasa sakit yang kurasakan. Aku merasa dicintai seutuhnya, ini sangat aneh tapi aku benar-benar merasakan cinta Ethan begitu utuh. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD