Kekejaman ibu tiri

1484 Words
“Darimana saja kau?” Sebuah kalimat yang terdengar seperti sebuah geraman baru saja keluar dari bibir tipis ibu. Dua tangannya masih terlipat, jari telunjuk kanan mengetuk-ngetuk lengannya, menungguku menjawab pertanyaannya. “Aku dari rumah Mr. Max.” Aku melangkah masuk, melewati ibu begitu saja. Enggan berdebat dengannya. Enggan merusak suasana hatiku yang sebenarnya masih terasa bahagia setelah apa yang kulakukan dengan Ethan tadi. “Siapa lelaki itu?” Ibu menghentikan langkahku. Pasti Bianca mengadu kepada ibunya, dasar anak ibu yang suka mengadu. “Apa Bianca yang mengatakannya?” Aku memutar badan, sementara wolfy kini mulai menggeram tapi aku menahannya untuk tidak berbuat anarkis dengan menggigit ibu misalnya, sekalipun aku tidak keberatan jika wolfy mau melakukannya. Oh tentu saja itu tidak boleh terjadi jika wolfy tidak ingin dilempar ke kuali raksasa di atas pembakaran. “Ella. Aku tidak suka kau berpacaran. Ayahmu menitipkanmu padaku.” Ibu terlihat sangat menggelikan, terutama sekarang saat ia menyebutkan wasiat yang tak tertulis di kertas wasiat Ayah. “Terima kasih perhatian Ibu. Tapi aku bisa jaga diri.” Aku memutar badan, enggan berlama-lama dengan Ibu atau moodku bisa berubah lebih buruk lagi. “Jaga sikapmu! Aku walimu.” Aku menghentikan langkah, memutar kedua bola mata sambil mendecak sebal. Apakah Ibu benar-benar peduli atau ia sedang menjaga hati putrinya. Sejahat-jahatnya Ibu kepadaku, ia tetap saja seorang ibu yang akan menjaga anak-anak kandungnya. “Aku tahu. Tetapi hubunganku dengan Ethan tidak ada hubungannya denganmu, Ibu. Lagipula, apa kau benar-benar peduli padaku atau ini hanya karena Bianca mengadu kepadamu?” Tepat setelah aku mengatakannya, Bianca berdiri di belakang ibu dengan dua mata melotot. “Ella. Kau keterlaluan. Sekarang, cuci kuda-kuda dan jangan kembali atau…” “Atau apa?” Aku memotong ucapan Ibu. “Atau kau kehilangan Dolores.” Ibu mengancamku, seperti biasanya. Dan seperti biasanya pula, nyaliku menciut karena aku yakin Ibu benar-benar bisa melakukan hal sekeji itu, misalnya dengan memecat Dolores, seperti ia melakukannya kepada Diego dan Samanta. Aku mengepalkan kedua tangan dan rahangku mengeras serta gigi-geligiku menggelutuk. Sebuah senyum tipis –mengejekku— menghiasi bibir Ibu dan Bianca. Sepasang ibu dan anak itu benar-benar seperti pinang dibelah dua. Tetapi aku tidak akan pernah takut sama sekali. Ini bukanlah apa-apa sekalipun itu artinya aku harus bersiap kedinginan karena ini akan menjadi pengalaman pertamaku mencuci kuda-kuda di musim dingin. Mencuci empat kuda bukanlah perkara mudah terutama jika kau melakukannya di musim dingin. Tangan serasa membeku saat menyentuh air, tapi sayangnya aku hanya bisa mengeluh karena ibu berdiri dengan Dolores di sampingnya. Bersiap mendepak pelayanku jika aku tidak melakukan pekerjaanku dengan baik. Wolfy menempel padaku, seolah ingin meringankan penderitaanku. Memberiku kehangatan sekalipun itu cukup sulit mengingat aku terus bergerak. Sesekali ia memamerkan moncongnya. Aku selalu mengusap kepala wolfy setiap ia melakukannya. Aku tidak tahu seberapa lama aku bekerja. Aku hanya tahu kulit tanganku sudah seputih mayat dan sangat berkeriput, seperti tangan nenek-nenek. Selesai bekerja, aku memandang ibu dengan sikap permusuhan. Ibu pun melihatku dengan tatapan yang sama. Ia mendorong Dolores, seolah pelayanku hanya sebuah barang. Dolores sampai terjerembab di atas tanah penuh jerami ---untungnya---. “Jangan ulangi lagi atau kuhukum lebih berat lagi,” ucap ibu sebelum ia berlalu, meninggalkanku dengan Dolores. “Nona tidak apa-apa?” Dolores mendekatiku dengan wajah penuh khawatir. Ia meraih kedua tanganku yang sudah mengerut dan memucat. Mendekapnya erat, memberiku sedikit kehangatan yang sebenarnya tidak terlalu kurasa kecuali dari ketulusannya. “Aku tidak apa-apa.” Aku menarik tangan dan segera melangkah keluar istal. Dengan langkah cepat segera ke dapur untuk menghangatkan diriku dengan perapian. Aku mendekatkan dua tangan di depan tungku perapian. Duduk di depannya membuat seluruh badanku terasa hangat, terutama kedua tangan yang begitu dekat dengan nyala api. Suara percikan api yang tercipta dari kayu yang dibakar memberi nuansa begitu enak di telinga. Tiba-tiba aku teringat kenangan lama bersama Ayah saat menikmati hari di ruang keluarga, duduk di dekat perapian sambil bercerita banyak hal. “Aku merindukannya,” gumamku. Aku sangat-sangat merindukannya. Hari-hari berlalu dengan berat tapi tetap saja aku tidak bisa menghentikan perasaan ini. Rasanya sudah sangat lama hal itu terjadi, mungkin dua tahun yang lalu atau mungkin setahun yang lalu. Begitu banyak kenangan indah yang pernah kami lalui sampai aku tidak mampu mengingat apa saja yang pernah kami lewati. Airmata luruh begitu saja, ingin rasanya kembali ke masa lalu demi merasakan kenangan itu lagi. Jongkok di depan perapian, aku memeluk erat lututku. Menyembunyikan kesedihan dengan menangis tertahan. Wolfy mengusap kepalanya di lenganku, membuatku menoleh kepadanya. Ia bukan anjing, tapi tiba-tiba ia menjilati wajahku layaknya seekor anjing. Wolfy membuatku tersenyum. Di saat-saat seperti inilah aku bersyukur ada wolfy. *** Pagi yang semakin membeku, kurasa itulah yang terjadi sekarang. Musim dingin telah mencapai puncaknya. Tidak ada satu hewan ternak pun yang dikeluarkan dari kandang-kandang hangat mereka. Jerami-jerami menjadi penghangat alami serta bulu-bulu mereka sendiri, sementara aku harus mengencangkan jaket bulu angsa yang tebal sambil memeriksa keadaan mereka. “Wolfy ini sangat dingin, kamu tahu?” ucapku sambil melempar seikat jerami ke dalam kandang domba. Berada di kandang domba, di dekat tumpukan jerami yang ada di ujung ruangan ini. Aku duduk sambil memeluk wolfy yang hangat sekali. Wolfy pasrah menjadi selimut hangatku, ia tidak marah sama sekali sekalipun aku memeluknya seperti sebuah boneka. “Kamu disini? Ini memang ruangan yang tepat untukmu.” Suara itu … Bianca. Aku mendongak, melihat gadis dengan memakai jaket tebal berwarna merah muda dengan sepatu boot berwarna putih gading, sebenarnya ia terlihat sempurna. Hanya saja saat kau tahu tabiatnya, kau akan mencoret kesempurnaan itu. Aku melepas wolfy, ia ikut mendongak sambil menggeram dan menunjukkan taring-taringnya. Hanya sebuah sentuhan di kepala, wolfy akhirnya diam. Hanya melihatku berdiri sambil menatap tajam Bianca. “Kenapa kamu kesini?” Bukan kebiasaan Bianca mau bersusah payah menemuiku, apalagi di tempat seperti ini. Bianca mengamati seluruh kandang dengan bilik-bilik berisi domba yang kini bulunya siap dipanen. Senyum tipisnya, sangat jelas sedang mencemoohku. Tatapannya, membuatku merasa sama jijiknya seperti saat ia melihat kandang ini. Kandang ini bahkan lebih baik, beraroma kebenaran sementara Bianca, entah berapa banyak parfum yang ia siram ke tubuhnya, tetapi bau kebusukan itu tetap saja tercium. “Ibu memintaku mencarimu.” Sekali lagi Bianca menunjukkan senyum jahatnya untuk mengolokku. “Kenapa?” “Apa peduliku.” Bianca mengedik. Masih dengan melipat kedua tangannya, ia membalik badan dan melangkah meninggalkanku yang masih terbengong-bengong dengan sikapnya. Aku menunduk, memandang wolfy sambil menahan tawa. Sikap Bianca yang sok angkuh memang pantas ditertawakan. Ia tidak akan bisa menyamai sikap alami keangkuhan ibunya, tidak sepersen pun. “Ayo, wolfy. Kita tidak mau melihat nenek sihir marah kan?” Aku kembali tertawa. Membayangkan hidung Ibu memanjang seperti nenek sihir, jangan lupa dengan bisul di dekat hidungnya. *** Memintaku ke Sommerset tanpa Bastian dan harus mengemudikan mobil sendiri? Aku sangat terkejut dengan perintah Ibu. Aku bisa mengendarai mobil. Tapi untuk ke Sommerset, aku belum pernah. Bahkan menjelajahi Westville pun belum pernah. Aku hanya mengendarai mobil keliling padang rumput musim panas lalu. Saat belajar bersama Ayah. “Kenapa?” Ibu duduk di kursi kerjanya sambil menatapku dengan tatapan ibu. “Tapi, Bu. Aku…” “Pergi sekarang! Bastian sudah menyiapkan mobilmu.” Ibu mengambil setumpuk kertas dari atas mejanya. Memakai kacamata khusus membaca, ia mengabaikanku dengan pekerjaannya. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana ibu bisa menyuruhku bepergian dengan mobil. Tetapi sepertinya ini juga menarik. Selalu ada yang pertama kali kan? Aku berjalan sambil membayangkan serunya mengendarai kendaraan roda empat. Bastian berdiri di depan pintu sambil memberiku sebuah kunci mobil. “Nona, kumohon berhati-hatilah. Nyonya keterlaluan. Bagaimana bisa ia meminta anda berkendara sendiri,” keluh Bastian. Aku hanya bisa tersenyum sambil menepuk pundaknya. “Tidak apa-apa. Aku pergi dulu.” Bastian membungkuk, memberiku tanda hormat. Segera aku masuk ke mobil van coklat yang dahulu sering dikendarai Ayah. Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke lubangnya. Mengemudi pertama kali tanpa seseorang yang membimbing, membuat adrenalinku melonjak. Seperti akan menaiki roller coaster. Kuputar kunci, membuat mesin bekerja dan mengeluarkan suara dengungan dan sedikit getaran, menambah kuat detak jantungku. Antara senang dan takut, melebur menjadi satu. Saat kuinjak gas dan mobil bergerak perlahan. Aku tahu petualangan baru akan dimulai. Kurasa mengemudi bukan hal yang menakutkan, malah terasa sangat asyik. Melewati rumah-rumah sederhana. Melewati hutan Rotterwood dan jalan setapak menuju rumah Mr. Max, ingin rasanya Ethan berdiri disana, menatapku takjub. Tapi kurasa Ethan sibuk dengan kegiatannya. Ini hari libur, paling enak tinggal di rumah sambil menggelung tubuh dengan selimut. Jalanan cukup sepi, aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan sangat berhati-hati. Melewati jembatan Wreck, jalanan sedikit meliuk, menikung cukup tajam. Sebuah mobil tronton melaju dengan kecepatan sedang. Meski demikian, ia tetap mengklakson cukup lama, memintaku memberinya ruang lebih lebar. Membuatku berhenti sesaat. Sesaat aku menarik napas panjang, kini setelah beberapa menit berlalu. Kurasa mengemudi semakin mudah. Aku kembali melaju dengan kecepatan sedang. Rotterwood tinggal seperempat jalan sebelum masuk ke pinggiran kota Sommerset dimana sekolahku berada. Ayah sengaja menyekolahkanku disitu karena Westville tidak memiliki sekolah menengah atas. Seseorang memakai jubah gelap tiba-tiba melintas, walau cukup jauh tetapi aku segera membunyikan klakson. Aku mengikuti arah langkah orang itu tetapi tiba-tiba ---entah bagaimana--- aku menabrak seseorang. Tabrakan itu membuatku terkejut hingga tanpa sadar aku menginjak gas dan membanting setir kea rah jurang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terlalu panik hingga aku menginjak pedal gas, kopling dan rem bergantian. “ASTAGA. OH, TIDAK.” Aku hanya bisa membelok ke kanan dan ke kiri agar tidak menubruk pohon tetapi kini mobil justru mendekati jurang yang akan membuatku jatuh ke jurang. Aku memandang ujung jurang dengan laut yang terlihat jelas. Aku semakin panik dan hanya bisa menjerit ketakutan sambil menutup kedua mata. Tuhan, apa yang akan terjadi kepadaku?                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD