His Mate

1197 Words
Mr. Max menyambutku di depan pintu sambil merenggangkan kedua tangan. Aku tersenyum sambil memasukkan diri ke dalam pelukannya yang hangat. “Mr. Max, lama tidak jumpa.” Aku merasa tidak enak karena datang setelah diundangnya, padahal dulu aku sering sekali kemari. Hari-hari pasca Ayah pergi membuatku enggan kemanapun kecuali ke sekolah dan kastil. Tidak kemanapun karena selain enggan, juga karena ibu membuatku sangat sibuk hingga benar-benar tidak ada waktu untuk kemanapun. “Ella, bagaimana kabarmu, Sayang?” Mr. Max memandangku dengan mata penuh khawatir. Aku memberinya senyum, berharap kekhawatirannya pergi. Mr. Max masih sama seperti terakhir kali kami bertemu beberapa bulan yang lalu, saat Ayah masih ada dan sakit secara tiba-tiba. “Aku … baik.” Memangnya apa yang bisa kujawab dari pertanyaannya selain berkata aku baik-baik saja. Mr. Max menatap Ethan beberapa saat sebelum kembali menatapku, keduanya bersitatap seolah sedang berbicara melalui pandangan mata. “Ayo masuk!” Ia membuka pintu dan segera masuk, diikuti oleh Ethan dan aku. Perapian menyala-menyala saat aku masuk ke dalam rumah Mr. Max. Rumah Mr. Max cukup hangat oleh perapian itu. Aku segera duduk ke sofa yang lembut berbahan kulit rusa yang berada di sebelah perapian. Ethan menjatuhkan dirinya di sofa panjang, berhadapan denganku. Cowok itu sepertinya tidak tertarik dengan kehangatan yang ditawarkan oleh perapian. “Kenapa?” Ethan memandangku setelah aku memandangnya cukup lama, membuatku mengedipkan mata beberapa kali sebelum memandang perapian. “Tidak.” Sial, kenapa Ethan selalu bertanya kenapa setiap aku memandangnya dan dobel sial karena aku sering sekali memandangnya dan dia sering sekali menangkap basah kelakuanku. “Ella, kudengar Ayahmu baru saja meninggal. Aku turut berduka cita.” Ethan bangkit, ia mendekatiku dan jongkok tepat di depan perapian, di dekatku. Kurasa aku salah tentang Ethan yang menolak kehangatan perapian. “Terima kasih, Ethan.” Terima kasih karena sudah mengatakan sesuatu yang membuat hatiku menghangat. Puluhan bahkan ratusan orang telah mengatakannya, tetapi baru kali ini aku benar-benar merasa diperhatikan. Sekali lagi aroma Ethan menguar, seperti kue jahe, seperti rempah-rempah, seperti hutan, aku tidak bisa mendefinisikan aroma parfum Ethan kecuali wanginya benar-benar menggoda. Seperti jargon iklan yang benar-benar terbukti. “Ya, Ella.” Oh sial, tertangkap lagi. Ethan tertawa terbahak-bahak, menertawakan diriku yang entah seperti apa ekspresi yang kutunjukkan sekarang. Beruntung Mr. Max keluar dengan sebuah nampan berisi tiga cangkir minuman yang masih mengepul. Kalau saja Mr. Max tidak keluar tadi, entah seperti apa mukaku sekarang. Aku mengambil sebuah cangkir beraroma coklat yang begitu menggoda, sesaat menutupi aroma tubuh Ethan tetapi tidak lama kemudian aroma Ethan kembali menguasai indra penciumanku. Ethan begitu memabukkan. Aku meliriknya sambil menyesap coklat hangat. Mr. Max duduk di kursi berbahan kayu yang ditutupi kulit beruang madu. Ia duduk di dekat perapian berseberangan denganku, menatapku sambil menyesap minumannya. Aku menggenggam erat cangkir, berusaha mengambil kehangatan untuk menghangatkan badanku. “Kurasa musim dingin tahun ini benar-benar dingin,” ucapku. “Ya … Wreth sampai membeku setengahnya,” ungkap Ethan. Ia bangkit dan berdiri menjulang di dekatku, membuatku hanya bisa melihat pinggulnya yang … aku mengedip beberapa kali, membuang pikiran negatifku barang sejenak. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Kudengar, Ibumu memaksamu bekerja.” Mr. Max membuatku menoleh kepadanya. Pria itu sedang memandangku dengan tatapan yang begitu meneduhkan. Rasanya seperti bersama seorang ayah yang sangat kau rindukan. “Bagaimana anda tahu?” “Dolores kesini beberapa waktu lalu mengantar Dorothy yang sakit. Dia yang menceritakannya.” Mataku melebar saat mendengarkan ucapan Mr. Max. “Sakit apa dia?” Mengapa Dolores tidak menceritakannya padaku. Sungguh jahat sekali dia, aku harus memarahinya nanti. “Hanya demam biasa. Kau tidak perlu khawatir.” Tetap saja aku tidak bisa mengabaikan kesehatan Dorothy. Andai saja wanita itu masih menjadi pelayanku, sudah pasti aku bisa menjaganya seperti saat ia menjagaku. “Oh … Kurasa Dolores sudah menceritakan semuanya tentangku.” Kupikir aku tidak perlu mengulang ceritanya. Mr. Max mengangguk, ia meletakkan cangkirnya ke atas tungku perapian. “Kau makanlah disini! Aku akan menghangatkan makanan.” Pria itu melangkah, meninggalkanku dan Ethan berdua. Begitu Mr. Max menghilang, Ethan duduk di kursi yang tadi diduduki Mr. Max. Ia juga meletakkan cangkirnya di sebelah cangkir Mr. Max. “Kurasa kamu menjalani hari-hari yang berat.” Ethan duduk menghadap ke arahku, sementara kursiku sendiri mengarah ke perapian sehingga aku harus menoleh kepadanya untuk melihat tatapan dan senyumnya yang indah. Tapi itu bukan hal penting karena aku pasti sanggup menoleh berhari-hari demi bisa melihat sosok Ethan. “Ella. Kau bisa mengandalkanku.” Ethan menepuk dadanya, membuat senyumku mengembang sempurna. “Tentu saja aku akan mengandalkanmu, Ethan.” Sepertinya gunung es yang tadi sempat membuatku tak mampu berkata-kata telah meleleh. Ethan memang sempurna baik secara fisik maupun kepribadiannya. “Aku serius. Kau bisa mencariku kapan saja kau perlu. Bahkan saat aku tidur, pasti bangun jika kau membutuhkanku.” Kali ini aku tidak mampu meredam tawa. Ethan terdengar begitu jenaka dan menyenangkan dan menghangatkan. “Baiklah. Jadi kau jangan marah jika malam-malam aku melempar jendela kamarmu dengan bola salju,” ledekku. Kali ini Ethan yang tertawa terbahak-bahak. Ethan benar-benar membuat hatiku dihangatkan siraman coklat manis yang masih hangat seperti coklat hangat buatan Mr. Max. Kuharap hubunganku dengan Ethan bisa berkembang dengan sangat baik, seperti pasangan kekasih misalnya. Membayangkannya saja sudah membuat pipiku meradang, ditambah dengan bagaimana Ethan menatapku sekarang, dengan tatapan teduh yang kurasakan seperti tatapan cinta, hari ini adalah hari yang bahagia. *** Ethan mengantarku pulang ke kastil. Aku berdiri di depan gerbang bersama Ethan yang kini berdiri di depanku dengan jarak yang sangat dekat sampai aroma parfum Ethan menari-nari di indra penciumanku. “Sampai jumpa besok, Ethan.” Rasanya aku ingin waktu berhenti selamanya. Aku ingin seperti ini terus dengan Ethan. “Sayang sekali kita harus berpisah sekarang. Ella, senang bisa bersamamu.” Mataku membulat, rasanya ini adalah kalimat terindah yang pernah kudengar. Membuat perutku terisi ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Aku tidak bisa lagi menahan senyum dengan pipi yang terasa sangat hangat. Ethan membelai pipiku, jantungku tiba-tiba berdegup begitu kencang sampai aku tidak berani membayangkan sekuat apa degup jantungku ini. Ethan bisa membuatku menggila. “Ella, my mate.” Entah apa maksud dari kata mate yang baru saja diucapkan Ethan. Tapi sepertinya ini adalah kata indah lainnya. Ethan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Semoga jantungku tidak lepas dari tempatnya karena sekarang jantungku seperti sedang bersalto ria. Aku memejamkan mata, kurasa sesuatu yang mengguncang jiwaku dalam arti yang indah akan terjadi. Bibir Ethan yang sangat hangat menyentuh pipiku dan rasa hangat dari seluruh tubuhnya tiba-tiba menghangatkanku. Seperti sedang direngkuh perapian yang sedang menyala-nyala. Ciuman itu begitu manis dan hangat, seperti kue jahe yang baru saja dimasak Bibi Dorothy. Oh tiba-tiba aku teringat padanya. Kurasa besok sebaiknya aku berkunjung ke rumahnya untuk melihat keadaan wanita itu. “Sampai jumpa Rachella.” Sekali lagi Ethan mengusap pipi yang tadi baru saja diciumnya. Jadi seperti ini rasanya dicium cowok? Walau di pipi, tapi baru kali ini aku merasakannya. Seperti kelopak bunga yang merekah di musim salju. Ethan melangkah mundur, seolah ia enggan berjauhan denganku. Sepertiku. Aku juga melambaikan tangan. Berlama-lama, seperti gerakan slow motion di film-film. Tiba-tiba suara derit pintu gerbang kudengar, membuatku mengalihkan perhatian kea rah Bianca yang sedang menatapku dengan tatapan siap menerkam. Walau begitu senyumku masih saja merekah. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku. “Ibu mencarimu.” Bianca berdiri di ambang gerbang dengan dua tangan terlipat dan jelas ia menatapku dengan tatapan cemooh sekaligus penasaran, mungkin dengan apa yang kulakukan bersama Ethan. Sesuatu yang lembut menyentuh tanganku yang tertutup sarung tangan tebal. Wolfy mengusap kepalanya di tanganku, memintaku balik mengusapnya. “Ayo wolfy.” Aku tidak lagi peduli dengan apapun yang kini dipikirkan Bianca. Aku melangkah, sengaja menubrukkan bahuku ke bahu Bianca. Aku bisa melihat kekesalan Bianca dari ujung mataku. Tetapi kesenangan itu hanya sesaat karena ibunya, ibu tiriku. Berdiri di ambang pintu dengan dua tangan terlipat, tatapannya jelas sedang bersiap mengunyahku hidup-hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD