Pesonanya sangat kuat

1326 Words
Duduk di dalam kelas bersama Ethan di bangku sebelahku. Aku harus siap menjadi pusat perhatian cewek-cewek di kelas. Tentu saja bukan perhatian dalam arti baik. Ethan adalah masalah. Aku seharusnya berjaga jarak darinya, tetapi Ethan justru mendekatiku sekalipun aku berusaha tidak memedulikannya. “Sampai ketemu lusa. Jangan lupa pelajari semua pelajaran saya karena minggu depan ada kuis untuk kalian.” Ucapan Ms. Collin berbuah sorakan dari hampir semua murid di kelas. Musim sudah cukup dingin, pergi sekolah saja sudah membuat enggan dan sekarang ditambah kuis. Luar biasa. Aku memasukkan buku ke dalam tas lalu kuselempangkan. Aku bangkit dan segera melangkah diikuti Ethan yang juga berjalan di sebelahku, hanya dipisah oleh dua bangku diantara kami sampai akhirnya kami benar-benar berjalan beriringan saat kami di depan kelas. “Apa kuis Ms. Collin sangat menyeramkan sampai anak-anak bersorak tadi?” Ethan memandangku dengan tatapan memohon sebuah jawaban. “Tentu saja.” Memangnya ada lagi yang ditakuti murid sekolah selain kuis, dari siapapun gurunya. “Menurutku, pelajaran fisika tidak terlalu menakutkan.” Ethan terkekeh, entah apa yang ada di dalam kepalanya. Aku memandang Ethan, wajahnya seperti diterangi cahaya yang terang dan dari keseluruhan kesempurnaan fisiknya. Ethan berbau wangi sekali. Begitu wangi sampai-sampai aku ingin menyimpan aromanya ke dalam botol dan kuhirup setiap waktu, setiap aku menginginkannya. “Rachella. Uncle Max mencarimu. Dia memintaku mengajakmu ke rumah setelah jam pulang sekolah,” ucapnya. Ethan sepertinya tidak terganggu dengan tatapan cewek-cewek di sekolah. Dia tetap berjalan sambil memandangku, tanpa memedulikan sekelilingnya. Sementara aku, kembali sibuk memandang cewek-cewek yang sudah jelas sedang membicarakan kami. “Rachella!” Suara Ethan membuat perhatianku beralih kepadanya. “Ya … aku akan menemuinya.” Aku tersenyum. Ethan membalas senyumanku dengan senyuman mautnya yang memabukkan. Dobel sialan. *** Melihat bis sekolah masih berada di halaman sekalipun kelas sudah selesai tiga puluh menit yang lalu adalah sebuah berkah tersendiri. Bis biasanya sudah berangkat lima menit setelah jam pulang sekolah selesai. Sebuah tepukan singkat membuatku spontan berlari mengikuti seseorang yang menepuk pundakku tadi. Ethan berhenti di dekat pintu bis dan memintaku masuk terlebih dulu. Bis sudah hampir penuh, hanya menyisakan barisan terakhir. Aku berjalan pelan melintasi bangku-bangku yang telah penuh. Sepanjang berjalan, aku bisa merasakan cewek-cewek memandangku dengan tatapan tidak suka. Aku tidak perlu jenius dulu untuk bisa mengerti arti tatapan itu, terutama dari cewek berambut blonde yang sedang mengenakan kaos merah muda. Tetapi itu bukan masalah besar, aku yakin mereka hanya tidak suka aku bisa dekat dengan Ethan sementara mereka tidak. Aku segera menjatuhkan pantatku di bangku belakang dan Ethan juga mendaratkan pantatnya di sebelahku. Bis segera melaju perlahan, namun kembali berhenti saat beberapa cowok mengetuk pintu. Setelah sopir membukakan pintu untuk mereka dan mereka melompat masuk. Bis kembali melaju dengan kecepatan sedang. Tiga cowok yang mengenakan jaket anggota club basket berjalan menuju ke arahku, tentu saja karena hanya disini yang ada bangku kosongnya. “Minggir!” Mike, ketua tim basket yang paling tersohor mendorongku hingga aku bergeser ke pinggir. Tiga cowok itu duduk di sekitar Ethan, tentu saja aku tahu maksud mereka tapi itu bukan urusanku. Kuharap Ethan tidak masuk ke tim mereka. Kuharap Ethan tidak masuk ke club manapun kecuali club biologi dimana aku tergabung di dalamnya. Aku menunduk, terkekeh dengan pikiran yang baru saja melintas. Memangnya siapa aku? Ethan sudah pasti masuk ke jajaran cowok-cowok popular berkat tampang dan kesempurnaan fisiknya. Sementara aku? Aku bukan cewek aneh. Aku bukan cewek berkuncir dua atau cewek jelek yang selalu disisihkan. Aku hanya cewek biasa, murid biasa yang tidak memiliki tanda-tanda popular sama sekali selain bahwa aku adalah keturunan Madamoissale. Tetapi memangnya kenapa? Sejak kerajaan runtuh dan pulau ini dipimpin oleh seorang presiden yang akan berganti tiap lima tahun sekali. Madamoissale bukan siapa-siapa selain masuk ke buku sejarah pendiri kehidupan di pulau. Seperti Marcopolo yang menemukan Amerika, tidak lebih dari itu. “Aku tidak tertarik. Aku sudah bergabung di tim karate.” Ethan menolak tawaran itu? Spontan aku menoleh. Karate yang hanya memiliki empat anggota itu kini bertambah karena Ethan masuk kesana. Aku menyunggingkan senyum, tak kusangka Ethan menolak menerima tawaran menjadi anggota populer padahal ia punya kesempatan. Menjadi anggota klub bela diri karate, maka tidak jauh beda menjadi anggota klub biologi. Sama-sama klub yang tidak membuatmu populer. “Rachella. Kita turun sini!” Tiba-tiba Ethan berdiri dan menarik tanganku. Membuatku terpaksa ikut berdiri karena Ethan menarikku dengan paksa. “Hentikan bisnya!” Ajaib, bis berhenti hanya dua detik setelah Ethan mengatakannya. Mr. Bobby, supir bis sepertinya terkena dampak sihir Ethan. Aku bahkan masih terus melihat Mr. Bobby saat Ethan menarikku turun bis. Sepertinya Ethan akan menjadi wabah bagi semua orang di sekolah atau mungkin di seluruh kawasan Sommerset dan Westville. Tidak bisa dibayangkan bagaimana murid baru satu ini bisa membuat begitu banyak orang takluk kepadanya. Ethan memang luar biasa. “Aku yakin Mr. Max pasti senang denganmu,” ucap Ethan. Aku masih memandang bis yang semakin menjauh saat Ethan mengatakannya. Aku memandang Ethan, cowok sempurna yang tiba-tiba mendekatiku. Memilihku menjadi temannya, diantara semua murid di Sommerset highschool, tempat dimana kami menuntut ilmu. Aku berusaha menutupi perasaanku dengan mengedarkan pandangan. “Oh sial.” Aku mengerang, tentu saja. Kami turun di tepi hutan Rotterwood, masih sangat jauh untuk menuju ke rumah Mr. Max sekalipun. “Kenapa?” Ethan mungkin memiliki kaki-kaki yang kuat tapi aku membutuhkan semua tenagaku di rumah. Aku yakin Ibu tetap memaksaku bekerja mengawasi semua hasil pekerjaan pekerja di kastil. Aku seharusnya menghemat tenaga. “Kalau kau lelah. Aku akan menggendongmu. Jangan khawatir!” Mendengar ucapan Ethan, aku tak sanggup menahan tawa. “Apa boleh buat.” Toh mau tidak mau aku tetap harus berjalan. Ethan terkekeh, ia berjalan di sebelahku dengan senyum yang membuatku ingin terus memandanginya. Tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Aku berjalan sambil memandangi pohon pinus yang diselubungi salju. Jalanan juga tertutup salju, tapi anehnya aku tidak merasa kedinginan. Kurasa keberadaan Ethan, menghangatku. Oh sial, aku terpesona oleh cowok baru di sekolah. “Ella. Aku senang kita menjadi teman.” Ethan memamerkan gigi-giginya yang rapi dalam sebuah senyum yang indah. Rasanya pipiku memanas mendengarkan ucapan Ethan sekarang. “Apa benar kau keponakan Mr. Max? Aku sering kesana, tapi baru kali ini aku tahu Mr. Max memiliki keponakan.” Ethan kembali menoleh, asap pekat berembus saat ia mengeluarkan napas. “Aku baru pindah dari UK.” Pantas saja aku baru mengetahuinya. Mr. Max memang tidak pernah membahas keluarganya jadi wajar saja aku tidak tahu tentang hal itu. Suhu hampir minus enam, membuat tempat ini layaknya sebuah freezer. Salju dimana-mana kecuali yang ada di tengah jalan. Tidak ada lagi yang bisa kubahas dengan Ethan karena aku memang tidak tahu apalagi yang mau kukatakan. Aku menarik napas dalam, mencium aroma parfum Ethan yang benar-benar menyegarkan dan membuatku ingin menciumnya langsung dari tubuhnya. Aku geleng-geleng, membuyarkan pikiran aneh yang baru saja berkelebat. “Kenapa?” Ethan membuat mataku melebar. Aku segera kembali memandangnya. Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng. “Ethan, ehm … selamat datang di Westville.” Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan selain itu. “Oh, ya. Terima kasih.” Ethan kembali memamerkan gigi-giginya yang rapi. “Semoga kau betah disini. Greatvalley sangat jauh berbeda dari UK. Disini sangat … tenang.” Greatvalley hanyalah sebuah negara kecil yang tidak banyak diketahui orang luar, jadi wajar jika tempat ini lebih sedikit orang dan menawarkan sejuta ketenangan. “Aku yakin pasti betah disini. Aku suka ketenangan. Ella, jadilah teman dekatku! Aku tidak ingin punya banyak teman. Aku hanya mau kau.” Ucapan Ethan membuatku terkejut dan langkahku seketika berhenti. Aku tidak tahu apakah ada makna yang tersirat dari ucapannya. Aku jelas merasa tersanjung dengan apa yang diucapkan Ethan. “Kau mau kan?” Ethan menatapku dengan tatapan memohon. Rasanya seperti melihat wolfy yang sedang meminta makanannya. Ia mengangkat dua alisnya, ini benar-benar lucu dan aku tidak mampu menahan diri untuk tertawa. “Tentu saja.” Ucapanku berbuah hal yang sangat mengejutkan. Ethan tertawa lepas lalu ia merangkul pundakku. Kami berjalan bersama menuju kediaman Mr. Max yang masih berjarak sekilo meter lagi. Sebuah sedan tiba-tiba berhenti. Bianca keluar dari mobil itu lalu mendekati kami. Memakai sebuah jaket tebal berwarna merah muda yang baru saja Ia beli kemarin di sebuah butik terkenal, ia tersenyum kepada Ethan dan melirikku jijik. “Bergabunglah dengan kami!” Tanpa basa-basi. Sepertinya Bianca memiliki sifat yang hampir sama dengan ibunya. “Tidak, terima kasih.” Ethan juga tidak berbasa-basi, entah mengapa ini membuatku merasa senang dengannya. Ethan menggiringku kembali berjalan menjauhi Bianca. Sesaat aku menoleh, menatap Bianca yang sedang kesal menatap kami berdua. Senyum kepuasan tersungging di bibirku. Rasanya puas bisa membuat Bianca seperti sekarang.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD