Menemui Ayahku

1287 Words
Satu minggu telah berlalu. Sejak kegagalan di acara pernikahanku itu, aku telah menata ruang hatiku yang terluka dengan menyusun rencana yang baru. Satu minggu mengurung diri dari semua aktivitas kantor dan berita tentang keluargaku, sudah cukup membuatku memulihkan pikiranku yang berkecamuk atas pengkhianatan yang dilakukan oleh mereka. “Daddy…., mengapa engkau lebih perduli kepada Celine, anak tirimu, dibandingkan dengan aku, anak kandungmu?” sesalku dengan sikap yang diambil oleh ayahku saat itu. Paska aku tak pulang ke rumah dan pergi ke kantor, ayahku sungguh tidak perduli dengan kabar atau kondisiku. Aku sungguh kecewa dengan sikap ayahku yang tidak lagi perduli dengan kepedihan hati yang aku rasakan. Tidak seperti biasanya, ayahku selalu khawatir dan cemas bila aku tidak pulang ke rumah, karena selalu tinggal di apartemen. Namun, kali ini aku tidak mendapati hal itu lagi. Aku mengadukan kepedihan hati ini kepada mendiang ibuku, di depan makamnya. Tangisan pedih pun tak henti-hentinya membasahi kedua pipiku di atas pusaran makam ibuku. Mungkin, andai saja ibuku masih hidup, ayahku tidak akan pernah bersikap seperti ini terhadapku. Hampir dua jam lamanya aku meratapi dan berdoa di depan pusaran mendiang ibuku, aku pun beranjak dari sana, lalu memutuskan untuk menyambangi rumah ayahku dengan langkah pasti. Sesampainya di rumah ayahku, semua pekerja di rumah ini masih nampak memberi hormat kepadaku. Aku mengulas senyum ramah kepada mereka yang memang sudah bekerja sejak lama. “Selamat datang, Nona Areta! Syukurlah, akhirnya Nona Areta masih mau pulang ke rumah,” sapa sang kepala pelayan yang sangat setia terhadap keluarga ini dengan raut wajah senang. “Heem,” gumamku dengan anggukan kecil. “Di mana Daddyku, Pak? Kok, sepi?” tanyaku sambil berjalan dan menyapu ke seluruh ruangan di rumah ini. Aku tidak menemukan sosok ayahku, bahkan benalu yang tidak tahu malu di rumah ini. “Eem…, Tuan Besar sedang…” Sang kepala pelayan rumah ini nampak ragu untuk menjawab pertanyaanku. Raut wajahnya nampak tegang, seperti sedang melihat hal mengerikan yang berada di belakang punggungku. Aku yang menunggu jawabannya, sangat gregetan dibuatnya. Tiba-tiba saja, dari arah belakang punggungku, suara sumbang ibu tiriku menyapa indra pendengaranku. “Waah…, rupanya ada gadis pembawa si4l ini, sudah ingat jalan menuju pulang ke rumah. Aku pikir, sudah m4ti dan membusuk di jalanan. Suamiku sudah tidak sudi lagi melihatmu, Areta. Jadi, mau apa kamu ke sini lagi?!” ejek ibu tiriku sambil bertepuk tangan dengan keras. Aku refleks memutar tubuhku untuk melihat ke arahnya dengan tatapan sinis. Ia pun melemparkan senyuman meremehkan dan tatapan tajam ke arahku. Pantaslah kepala pelayan yang sedang berbicara denganku nampak ketakutan, dia baru saja melihat iblis berwajah manusia. “Ck! Tidak sadar diri. Apakah Anda tidak pernah berkaca, Nenek Sihir? Siapa di sini yang pembawa si4l, huh? Aku atau Anda?” dengusku ketus, sambil melipat kedua tanganku di depan d4da. Hahahaha… Ibu tiriku tertawa dengan sangat keras, setelah apa yang baru saja aku lontarkan. Dia memang seorang wanita seperti ular berkepala dua, selalu bersikap seperti ini di belakang ayahku. Sementara, jika di hadapan ayahku, sikapnya akan berubah menjadi seorang wanita yang lemah lembut dan selalu menjadi seorang wanita yang merasa tertindas. “Ya, jelas kamulah, Areta. Gadis pembawa si4l untuk keluarga ini. Memangnya kamu lupa dengan semua yang sudah terjadi, huh? Seharusnya kamu itu berpikir, kenapa semua orang tidak menyukaimu? Kenapa orang yang kamu percaya, telah mengkhianatimu? Dan, kenapa Daddymu sampai mengusirmu di acara pernikahan yang seharusnya menjadi pernikahanmu itu? Karena, Daddymu lebih percaya dan menyayangi putri kesayanganku, Celine, ketimbang putri pembawa si4l sepertimu.” Deg! Aku tersentak cukup keras, dengan kata-kata ibu tiriku yang sangat menyayat hatiku. Tak terasa, bulir mata sudah menggenang di pelupuk mataku yang sekali kedipan saja langsung luruh membasahi wajahku. Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut pedas ibu tiriku. Namun, nyatanya ini memang benar-benar terjadi dan aku alami. Kedua telapak tanganku mengepal dengan sangat kuat, sampai kuku-kuku panjangku menancap kulit dagingku hingga terasa perih. Aku berusaha meredam emosiku agar tidak terpancing oleh semua ucapan ibu tiriku. “Daddymu sudah kecewa dan malu atas aib yang kamu sebarkan di hadapan semua orang, pada hari itu. Dan, Daddymu sudah tidak sudi lagi menganggap kamu sebagai putrinya. Jadi, sebelum kamu diusir dari rumah ini, lebih baik kamu angkat kaki dari sini sekarang juga,” sarkasnya sambil mengibaskan tangannya dengan angkuh. “Oh, iya, satu lagi. Bersiaplah, nama kamu akan segera dicoret dari daftar ahli waris keluarga Leonel. Karena, suamiku akan secepatnya mengganti dengan nama Celine dan Marco. Kamu….” “CUKUP!” teriakku dengan sangat keras, untuk menghentikan ucapan ibu tiriku. Aku menepis kasar jari telunjuknya yang menunjuk-nunjuk ke arah wajahku. Aku yang sudah cukup sabar menahan emosiku, akhirnya tak sanggup lagi untuk bungkam dan menerima perkataan buruknya. Ibu tiriku nampak murka dan memerah wajahnya, ketika aku berteriak dengan cukup keras di depannya. Dia pikir aku akan diam dan tidak melawan dengan semua hinaan dan cacian yang ia lontarkan terhadapku. Aku bukan gadis lemah dan bodoh yang mau menerima perlakuan buruknya terhadapku. Dengan langkah lebar, aku berjalan menuju kamar ayahku. Namun, ibu tiriku berusaha untuk menghalangiku masuk ke dalam kamarnya. “Suamiku tidak ada di kamar ini. Kamu tidak boleh masuk ke kamarku sembarangan, Areta!” “Minggir!” ucapku mendorong kasar lengan ibu tiriku yang menghadang pintu kamar ayahku. “Awwh….” Ibu tiriku meringis lirih sambil memegangi lengannya. Sepertinya, dia kesakitan atas apa yang baru saja aku lakukan. “Syukurin,” gumamku lirih. Akhirnya aku berhasil masuk ke dalam kamar pribadi ayahku. Sudah sejak lama, aku tidak pernah memasuki kamarnya, semenjak ayahku menikah dengan wanita ular ini. Ibu tiriku selalu mengunci pintu kamarnya, ketika pergi. Kamar ini seolah menjadi kamar yang asing dan tidak akrab denganku, padahal waktu mendiang ibuku masih hidup, aku sering kali menghabiskan waktu di kamar ini bersama kedua orang tuaku. “Dad…, Daddy!” teriakku memanggil ayahku dan mencari keberadaannya, hingga aku mencarinya sampai ke kamar kecil pribadinya. Nihil! Aku tak menemukan ayahku di dalam kamarnya. Ibu tiriku tertawa dengan sangat puas di depanku sambil berkacak pinggang. “Sudah aku bilang, suamiku tidak ada di kamar ini. Dasar, gadis keras kepala seperti batu!” hardik ibu tiriku di sela tawanya. Aku meninggalkan kamar ayahku dengan langkah kesal, mengabaikan ucapan ibu tiriku yang tak penting. Kemudian, aku menyusuri semua ruangan rumah ini agar bisa bertemu dengan ayahku. Aku yakin, ayahku ada di rumah ini. Karena, hari ini adalah hari weekend, kantor libur. Lagipula, kalau ayahku pergi, sudah pasti wanita ular ini selalu ada di sampingnya. “Dad…., di mana kamu, Dad? Daddy…, Areta sudah pulang,” teriakku dengan keras. Ibu tiriku terus mengikuti langkahku di belakang sambil tertawa mengejekku. Namun, aku tetap tidak perduli. Aku ingin segera menemui ayahku untuk membuktikan semua perkataan ibu tiriku tadi. Aku yakin, ibu tiriku hanya berkata bohong untuk menggertakku saja. Biar bagaimana pun, aku adalah putri kandungnya. Tidak akan mungkin seorang ayah tega mencoret nama putrinya sendiri dari daftar keluarga dan ahli waris. Dan, lebih memilih putri tiri dan menantu brengs3k seperti Marco. “Teruslah berteriak sepuas hatimu, Areta! Bila perlu, sampai pita suaramu habis. Daddymu tidak ada di rumah ini. Dasar keras kepala!” ejek ibu tiriku setelah aku mulai kelelahan mencari ayahku. Aku pun menghentikan langkahku, lalu menatapnya dengan tajam. “Kamu sembunyikan di mana, Daddyku? Cepat, katakan!” bentakku sambil menarik ujung gaun ibu tiriku dengan kasar. Aku sudah tidak bisa lagi mengontrol emosiku yang sudah memuncak. Raut wajah ibu tiriku yang semula nyalang dan tertawa dengan puas, seketika berubah menjadi sedih dan nampak meringis ketakutan. Aku sampai mengernyitkan dahiku ketika melihat perubahan wajahnya yang begitu cepat. “A-ampuni saya, Nak. Jangan sakiti saya!” ucapnya dengan bibir gemetar. “SINGKIRKAN TANGAN LANCANGMU ITU, ARETA! DADDY TIDAK PERNAH MENYANGKA KAMU BISA BERSIKAP TIDAK SOPAN SEPERTI ITU KEPADA WANITA YANG SUDAH MENGANGGAPMU SEPERTI ANAK KANDUNGNYA SENDIRI.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD