Pov Justin Sebastian.
Sepulangnya aku dari apartemen Areta, aku merasa ada seseorang yang sedang mengikuti. Aku pun bergegas menghubungi salah satu anak buahku untuk mengecoh mobilnya. Setelah itu, aku memintanya untuk segera membereskannya.
Aku menunggu dengan santai di sebuah gudang kosong, tempat aku biasa mengeksekusi suatu masalah. Aku ingin tahu, siapa orang yang berani mengikutiku? Apakah dia salah satu mata-mata dari musuhku, atau salah satu orang yang mencari urusan denganku? Aku sangat ingin melihatnya secara langsung.
“Lapor, Tuan! Kami sudah membawa seorang mata-mata itu ke sini,” ucap salah satu anak buahku dengan hormat.
“Mata-mata dari musuh kita, atau organisasi lain?” tanyaku tegas.
“Bukan dari keduanya, Tuan. Tapi, mata-mata yang ingin menyelidiki pekerjaan asli, Tuan Justin, katanya. Dia bilang, dia tidak percaya dengan pekerjaan Tuan Justin yang menjadi seorang, maaf…, eem…, g!golo,” jelasnya sedikit ragu, sambil cengengesan menahan tawa.
Aku mengernyit aneh, jadi sedikit penasaran. Seingatku, hanya Areta saja yang menganggap pekerjaanku seperti itu. Apa jangan-jangan ini semua perintah Areta, untuk memata-mataiku? Bisa bahaya, kalau sampai dia tahu pekerjaanku yang sebenarnya.
Detik berikutnya, aku pun mengangguk samar dengan mengulas senyum tipis. “Bawa masuk!” titahku tegas.
“Baik, Tuan!” ucapnya dengan anggukan sambil berjalan ke luar.
Tak butuh waktu lama, beberapa orang anak buahku membawa mata-mata itu ke hadapanku. Seorang pria yang sepertinya lebih muda dari usiaku, dengan penampilan yang cukup eksekutive. Namun, masih kalah tampan dan berkarisma dibandingkan aku, tentunya.
Aku mengibaskan tanganku ke arah semua anak buahku, sebagai kode untuk meninggalkan kami berdua saja. Kondisi pria tersebut saat ini dalam keadaan pingsan dengan kedua tangan dan kaki terikat, mata tertutup kain dan mulut tersumpal, didudukan di sebuah kursi tunggal di hadapanku.
Aku membuka kain penutup matanya dan juga membuka mulutnya yang disumpal. Kemudian, aku menyiram wajahnya dengan segelas air mineral, agar ia terbangun dari pingsannya akibat obat bius yang diberikan oleh anak buahku.
Dalam hitungan tiga detik saja, pria itu terbangun dari efek obat bius tadi. Dia nampak meringis ketakutan, saat melihat aku yang sedang memegangi s3njata ap! di tanganku. Dia pun seperti terkejut, saat melihat kedua kaki dan tangannya terikat tali, serta tubuhnya yang dililit tali tambang cukup kencang dan kuat.
Aku sengaja melakukan ini, hanya untuk menggertaknya saja. Apakah dia punya nyali untuk melawanku atau malah sebaliknya?
“T-tuan Justin….,” ucapnya gelagapan dengan raut wajah tegang saat melihatku.
Aku mengulum senyum, ketika pria itu ternyata mengenal nama dan wajahku. Tidak sembarang orang asing, bisa mengetahui nama dan wajahku. Aku yakin, pria ini memang suruhan nona Areta, istri pura-puraku.
“Heem…, siapa namamu?"
"T-tony, Tuan." Pria itu sangat gugup.
"Untuk apa kamu memata-mataiku, huh? Apakah kamu sudah bosan, melihat dunia yang indah ini?” tanyaku sambil memainkan s3njata apiku, lalu memasukan dua butir p3luru ke dalamnya.
Pria itu semakin terlihat bergidik ngeri dengan apa yang aku lakukan. Sepertinya, ini baru pertama kali dirinya melihat s3njata ap! secara langsung. Gelengan kepalanya terlihat lirih, dengan raut wajahnya yang semakin memucat.
“Kenapa? Apa kamu belum pernah melihat orang memegang s3njata seperti ini, huh?” semburku tegas menatapnya tajam.
“I-ya, Tuan. Saya belum pernah melihat orang membawa s3njata sungguhan seperti itu. J-jangan tembak saya, Tuan! Please, saya mohon jangan tembak saya! Saya belum menikah, Tuan. Saya masih ingin hidup lebih lama. Tolong, bebaskan saya!” ucapnya dengan gemetar takut sambil menggerakan kedua tangannya yang diikat dengan tali untuk dilipat sebagai tanda permohonan.
Aku tergelak tawa dengan apa yang baru saja terlontar oleh pria tersebut. Ternyata, pria di hadapanku ini, tak cukup punya nyali untuk melawanku. Aku pun langsung mengultimatum pria tersebut untuk bungkam dan menghentikan apa yang baru saja dilakukannya.
“Aku tidak akan pernah menemb4k sembarang orang, asalkan orang itu tidak mengusikku. Tapi, sekali saja orang itu mencoba berani mengganggu ketenanganku, jangan harap orang itu bisa bernapas lagi dalam hitungan detik!” tegasku setelah berhenti tertawa.
“A-ampun, Tuan! M-maafkan saya, yang sudah lancang memata-matai, Tuan. Saya berjanji, saya tidak akan pernah lagi mengusik kehidupan dan pekerjaan, Tuan Justin. Saya mohon, tolong bebaskan saya!”
“Apa jaminan yang bisa kamu berikan kepadaku, jika aku membebaskanmu? Apa ucapanmu bisa aku percaya, huh?!” tekanku.
“Tuan, harus percaya dengan semua yang saya ucapkan. Saya janji, saya tidak akan pernah mengatakan kepada Nona Areta, tentang semua yang saya lihat ini. Saya akan menghindar, jika Nona Areta terus meminta hasil penyelidikan saya. Bila perlu, saya akan resign dan pergi jauh, menghilang dari kota ini untuk menghindari Nona Areta,” ucapnya nampak serius.
Aku terkekeh, saat pria itu menyebut nama Areta. Apa yang aku pikirkan, ternyata tidak meleset. Pria ini memang bukan salah satu anak buah musuhku, akan tetapi orang yang bekerja di perusahaan Areta. Rupanya, Areta penasaran dan curiga dengan pekerjaanku yang sebenarnya. Mulai dari sekarang, aku harus lebih berhati-hati bersikap di hadapannya. Aku masih membutuhkannya untuk berpura-pura menjadi istriku di hadapan opah Carlos. Jangan sampai dia tahu pekerjaanku yang sebenarnya. Bisa-bisa, semua rencanaku gagal. Dan, dia pasti akan takut dan tidak mau bertemu denganku lagi.
“Okay! Aku akan bebaskan kamu malam ini juga. Tapi, awas! Kalau sampai kamu mengingkari janjimu, aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke neraka. Camkan, itu!” ancamku tegas.
“T-terima kasih atas kebaikanmu, Tuan Justin,” ucapnya dengan raut wajah senang. “Saya pasti akan menepati janji saya! Saya bersumpah demi Tuhan,” ucapnya sungguh-sungguh.
Aku mengangguk kecil, sambil bertepuk tangan untuk mengkode anak buahku agar masuk ke dalam gudang. Setelah mereka masuk, aku memberi perintah untuk membebaskan pria tersebut dan membuka tali ikatannya. Namun, tak lupa pula, aku memberi perintah kepada beberapa anak buahku untuk tetap mengikutinya ke mana pun pria itu pergi.
***
Satu bulan sudah berlalu, Areta belum juga menandatangani dan membalas e-mail dariku. Sebenarnya, dia menerima pernikahan kontrak itu atau tidak, sih? Kenapa seakan-akan dia mengulur waktu dan tidak ada kejelasan? Aneh!
Dia yang meminta kepadaku untuk ditunjukan surat kontraknya, akan tetapi dia malah sok tidak perduli. Huh, dasar wanita! Wanita adalah makhluk Tuhan yang paling sulit untuk ditebak.
Sementara opah Carlos, selalu saja memintaku mengajak Areta untuk mengunjunginya. Ada saja alasannya. Masalah kerja sama dengan perusahaannyalah, masalah pesta pernikahan yang harus dirayakan secara mewah dan mengundang banyak oranglah. Apa lagi masalah yang satu ini, soal cicit yang beliau minta.
Aku pikir, setelah aku mengenalkan Areta Wilson Leonel sebagai istriku kepada opah Carlos, semua urusanku dengan beliau akan berakhir sesuai keinginanku. Ternyata, aku malah terjebak di luar perkiraanku. Aku harus selalu meluangkan waktu untuk menemui Areta dan opah Carlos, meskipun terkadang bahaya sedang mengintaiku setiap saat.
Aku yang awalnya hanya ingin menghentikan campur tangan opah Carlos, mengenai lingkaran organisasi gelapku, malah mengalami situasi rumit seperti ini. Kendati demikian, aku pun masih memikirkan kesehatan jantung opah Carlos, agar selalu terjaga dari hal-hal yang tidak aku inginkan. Hanya opah Carlos, pengganti kedua orang tuaku. Dan, hanya beliaulah satu-satunya orang yang berarti dalam hidupku di dunia ini, setelah diriku sendiri.
Sejujurnya, aku sangat kesal dan marah dengan keputusan yang diambil oleh opah Carlos, ketika menginveskan sahamnya di perusahaan Areta Wilson Leonel. Beliau melakukan hal itu, tanpa sepengetahuanku sebelumnya. Padahal, Areta Wilson Leonel hanya menjabat sebagai CEO saja di perusahaan itu. Dia bukanlah Presdir, atau pun pemilik saham dan perusahaan yang SAH.
Di sini, yang diuntungkan oleh perusahaan tersebut adalah, ayahnya Areta. Bagaimana tidak, ayahnyalah seorang Presdir dan pemegang saham perusahaan dari keluarga grup Willyam yang SAH. Hampir tujuh puluh lima persen asset perusahaan, dipegang oleh Tuan Excel Leonal. Sisanya, milik Areta sebagai CEO. Dan, para investor yang mengajak bekerja sama.
Nasi sudah menjadi bubur, aku pun tak bisa ikut campur dalam urusan opah Carlos dan Areta. Namun, aku akan menjadi garda terdepan, bila hal-hal yang merugikan terjadi terhadap opah Carlos.
Aku akan terus memantau perkembangan perusahaan keluarga Willyam, demi opah Carlos. Siapa pun yang berani menyenggol opah Carlos, siap-siap harus berhadapan denganku.
Selama satu bulan ini, perusahaan itu terpantau aman, baik dan berjalan semakin maju. Aku pun cukup lega dan senang, melihat peningkatan yang dihasilkan oleh kerja keras Areta dan para staf pegawainya.
Haah?
Aku cukup terkejut, ketika membaca satu pesan yang kuterima dari salah satu anak buahku yang berada di dalam perusahaan Areta.
(“Gawat, Tuan! Ada benalu yang berbuat onar di ruangan, Nona Areta. Mereka mengancam Nona Areta, akan menggantikan posisinya sebagai CEO di perusahaan.”)