Memasak Untukku

1305 Words
Di apartemen. Tak banyak kata atau pun pertanyaan, Justin langsung membawaku pergi dari tempat itu menggunakan mobilnya. Aku pasrah dan mengikuti saja apa yang dilakukannya sepanjang perjalanan. Namun, aku sempat terheran dengannya, dia membawaku ke apartemen pribadiku. “K’kamu sudah tahu apartemenku?” tanyaku dengan selidik. Justin menyunggingkan bibirnya, lalu berbisik menggoda di samping telingaku. “Jangankan apartemenmu, Nona. Tanda lahir di bawah pusarmu pun aku tahu, Baby.” Sontak, kedua bola mataku membola, dengan tubuhku yang menegang. Aku pastikan, raut wajahku nampak memerah saking malunya dengan apa yang dikatakan oleh Justin. Aku dibuat salah tingkah kalau seperti ini. Terang saja dia tahu tanda lahir yang aku miliki, semalam kita baru saja melakukan hubungan badan. Tapi, kalau tempat tinggalku di sini, dari mana dia bisa tahu? Heem…, jangan-jangan selain pekerjaannya sebagai gigolo, dia juga bekerja sebagai penguntit. Aku geleng kepala, memikirkan hal tersebut. “Eheem…, nggak mau turun, Nona?” “Eh, maulah.” Aku tersentak dari lamunan. “Turun dong, kalau mau! Apa harus aku gendong, seperti semalam, huem?” Justin memainkan alisnya dengan kedipan mata genit menatapku. “Aish…, menyebalkan,” decakku buru-buru membuka pintu ke luar, sambil mengangkat sedikit gaunku agar tidak terinjak. Terdengar suara tawa Justin dengan lepas, ketika aku sudah turun dari mobilnya. Aku pun bergegas masuk ke dalam gedung apartemen menuju pintu lift yang akan mengantarkanku ke dalam kamar apartemen pribadiku. Justin menyusul langkahku, masuk ke dalam lift. Dahiku mengernyit heran, kenapa dia mengikutiku? Aku ingin sekali menanyakannya. Namun, tiba-tiba dia sendiri yang membuka pembicaraan. “Jangan tanya kenapa aku ikut ke kamar apartemenmu, Nona! Kamu akan tahu jawabannya, setelah kita sampai.” “Heem…” Aku hanya bergumam lirih, tak minat untuk berdebat. Hatiku terlalu lelah, menghadapi peristiwa yang begitu menyakitkan bertubi-tubi ini. Bahkan belum ada dua puluh empat jam waktu bergulir, semua yang aku lewati seperti sebuah mimpi buruk. Dimulai dari menerima pesan dari nomor yang tak dikenal. Mendapati calon suami dan adik tiriku yang berselingkuh. Mabuk dan melepaskan keperawananku dengan menyewa gigolo gil4. Tiba-tiba menikah pura-pura dan masuk ke dalam jebakan gigolo sinting. Membatalkan pernikahan dengan bukti perselingkuhan yang dilakukan oleh dua orang bajing4n itu. Namun, semua rencana yang aku susun gagal, tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi. “Huh…. !” Aku menghembuskan napas lelah, ketika memikirkan semuanya yang aku lewati dalam waktu yang begitu singkat. Ting! Suara pintu lift terbuka, Justin menarik tanganku untuk ke luar. “Ayo!” Aku hanya mengangguk kecil dan mengikuti langkahnya. Aku ingin tahu, sampai di mana dia menghentikan langkahnya. Sungguh tak bisa aku percaya, Justin berhenti tepat di depan kamar apartemenku. Pria di sampingku ini benar-benar sangat misterius. Tidak banyak yang tahu di mana kamar apartemen pribadiku. Hanya orang-orang yang dekat dan aku percaya saja yang selama ini tahu tempat ini. Bagaimana mungkin, pria yang belum pernah aku kenal sebelumnya ini bisa tahu tepat kamar apartemenku. Ini, sungguh mustahil. “Bukalah pintunya, Nona! Hanya kamu saja kan, yang tahu nomor sandinya?! Ups, salah. Maksudku, kamu dan mantan calon suamimu saja yang tahu,” ucapnya sambil mengungkit dengan sindiran. “Ck!” Aku berdecak kesal sambil menatapnya sinis. “Mulai detik ini juga, aku akan mengganti nomor sandinya.” Justin tertawa kecil, ketika melihat jemari tanganku mulai mereset nomor sandi lama dan mengganti dengan nomor sandi yang baru. *** “Aku mandi dulu!” pamitku meninggalkannya di ruang televisi. “Silahkan, Nona. Tapi, aku pinjam dapurmu. Boleh, kan?” “Untuk apa? Apa yang ingin kamu lakukan di sana, Tuan?” Aku merasa heran dengan permintaannya. “Untuk masaklah. Masa, untuk mandi?” Tanpa melihat ekspresi wajahku, dia langsung berjalan ke arah dapurku. “Aish, benar-benar menyebalkan!” dengusku kesal. Aku juga tahu, kalau dapur itu untuk memasak, bukan untuk mandi. Yang aku pertanyakan itu, memangnya dia bisa masak? Pria seperti Justin, apa iya bisa memasak? Mustahil! Dari pada pusing memikirkan pria misterius yang nggak jelas ini, lebih baik aku masuk ke dalam kamarku cepat, untuk membersihkan diri dan berganti pakaian pengantin yang masih aku kenakan ini. Hampir kurang lebih satu jam aku berada di kamar mandi untuk merilekskan tubuh ini di dalam bathtub, akhirnya aku pun membilasnya dengan air shower yang mengalir di atas kepalaku. Setelah itu, aku bergegas memakai pakaian casual yang biasa aku kenakan sehari-hari di dalam kamar apartemen pribadiku. Kruuk! Suara yang ke luar dari dalam perutku begitu nyaring. Refleks, salah satu tanganku menyentuh perutku yang sepertinya sudah keroncongan minta di isi. Wajar saja, sejak pagi tadi di rumah Opah Carlos, perutku belum terisi sama sekali hingga hari hampir petang begini. “Lapar,” ringisku lirih. Tok! Suara ketukan pintu kamarku, mengalihkan perhatianku dari rasa lapar yang sedang aku rasakan. Aku pun menoleh ke arah daun pintu dengan cepat. “Nona Areta! Apa kamu masih belum selesai di dalam, huem?” Suara Justin terdengar sangat sexy. Ya, entah kenapa, suara pria itu selalu sexy bila tak terlihat olehku langsung. “Heem, memangnya kenapa kalau aku sudah selesai atau belum? Aku lagi mau sendiri, tidak mau diganggu,” sahutku ketus. “Sorry, kalau aku mengganggumu, Nona. Aku hanya ingin mengajakmu makan denganku. Kalau begitu, ya sudah aku makan sendiri saja,” sahutnya lagi. ‘Apa? Makan? Kira-kira, Tuan gigolo itu masak apa ya? Ah, aku jadi menyesal dengan apa yang baru saja aku katakan. Kalau begini, aku kan jadi gengsi kalau tiba-tiba mau ikut makan. Huh, dasar payah kamu, Areta!’ sesalku merutuki ucapanku sendiri. *** Kruuk… Suara perutku kembali terdengar. Kali ini, rasa laparku benar-benar sudah tak bisa aku tahan. Aku pun mencoba untuk ke luar dari kamarku. Siapa tahu, masih ada sisa makanan yang tadi dimasak oleh Justin. Tap… Langkahku terhenti, ketika mendapati Justin yang nampak sedang berbicara serius dengan seseorang lewat telpon genggamnya. Aku penasaran, siapa sih orang yang selalu berbicara dengannya. Aku pun mencoba mencuri dengar dengan menajamkan indra pendengaranku. Namun, tiba-tiba dia memutuskan pembicaraannya. Padahal, aku belum sempat mendengar apa yang sedang ia bicarakan. Lagi-lagi, aku selalu gagal setiap kali ingin mencuri dengar. “Hei, akhirnya ke luar juga, Nona. Mau makan, huem? Sudah lapar, kan? Jangan bohong!” tegurnya, ketika mendapati aku yang hendak kembali melangkahkan kakiku. “Bukan urusanmu, Tuan! Awas, aku mau ke dapur,” semburku ketus. Justin nampak mengedikan bahunya, sambil terkekeh pelan. “Okay!” Aku menatapnya sinis, sambil bergumam pelan. ‘ Nih orang, bukannya pulang ke rumahnya, malah di sini terus. Sebenarnya apa sih yang mau dia lakukan di sini? Meresahkan sekali.’ *** Aku sibuk mencari sisa atau bekas makanan yang dimasak oleh Justin di dapur. Namun, aku tak memdapati apa pun di sana. "Sebenarnya dia masak apa, kenapa tidak ada bekas atau sisa makanan sama sekali? Tadi, dia bilang menawari makanan untukku. Tapi, tidak ada apa pun. Huh, sepertinya dia memang berbohong, tidak masak apa-apa," grutuku sambil menggelengkan kepala. "Lagi nyari apa, Nona? Nyari sisa makanan yang aku masak, kan? Hayo, ngaku!" ejeknya jahil. "Ck, sok tahu!" dengusku tak terima. Padahal, aku jelas sudah tertangkap basah olehnya. "Emang aku tahu," balasnya dengan sangat percaya diri, lalu menyunggingkan senyumannya ke arahku. Si4lnya aku tak bisa membalasnya lagi. Kenyataannya, aku memang tertangkap basah sedang mencari sisa makanan yang dimasaknya tadi. Terlanjur sudah tetangkap basah, lebih baik aku buat masakan sendiri. Kadung perut ini sudah kelaparan sekali. Namun, tiba-tiba Justin menepuk pundakku dari arah belakang. Refleks, aku pun menoleh dengan cepat. "Surprise!" ucap Justin sambil membawa sepiring spaghetti ke hadapanku. "Ini, untukku?!" tanyaku terkejut dengan apa yang dilakukannya. "Heem, aku memasak untukmu, Nona. Silahkan, dinikmati!" ucapnya sambil menarik tanganku ke arah meja makan. Aku tak bisa berkata-kata, perutku yang sudah keroncongan tak bisa menolak bau harum masakan yang dibuatnya. Dengan cepat aku pun melahapnya, membuang rasa malu dan gengsiku. Justin terus memperhatikanku makan dengan tatapan yang aku tak mengerti. Namun, aku tidak perduli dan mengabaikannya. Aku tetap melahap makanan yang lezat ini dengan rakus. "Pelan-pelan makannya, Baby!" ucap Justin sambil mengusap bibirku dengan lembut. "Ini, sampai belepotan saus, bibirmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD