Hasrat Yang Egois

1877 Words
Suara gemericik air menyadarkanku dari alam bawah sadar, sayup-sayup aku mendengar seseorang sedang mandi. Perlahan aku bangkit dari posisiku. Rasa pening masih membekas di kepalaku. Tubuhku bahkan masih terasa lemas. Aku menatap sekitar, ternyata aku ada di dalam kamar hotel. Pakaian pengantinku sudah tertanggal, yang tersisa hanya tanktop dan hotpants-ku saja. Aku sudah menebak siapa yang melepas pakaianku, siapa lagi kalau buka Mas Harris—yang kini telah menjadi suamiku. Sesaat aku mendengar suara gemericik air telah berhenti. Tak lama setelah itu, pintu kamar mandi terbuka. Mas Harris terlihat keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk sebatas pinggang sampai di atas lutut, sesaat kelopak matanya terbeliak ketika dia mendapatiku sudah sadar dari pingsan. “Akhirnya kamu bangun juga, sayang.” Suara berat Mas Harris menelisik telingaku, aku secara refleks mengangguk, memberikan tanggapan atas pertanyaan yang dia lontarkan. Senyum Mas Haris terukir, dia berjalan mendekatiku, menatapku intens dari bawah hingga atas. “Kepala kamu masih pusing?” tanyanya. “Sedikit,” jawabku dengan suara yang terdengar sedikit serak. Mendengar suaraku yang sepertinya kering, Mas Harris langsung mengambilkan air mineral yang ada di atas nakas. “Minum dulu,” suruh Mas Harris. Tangan kokohnya yang masih terlihat basah itu menyodorkan segelas air mineral ke arahku. Aku mengambil gelas itu dan meminum habis air mineral yang diberikan olehnya. “Makasih,” ucapku padanya. Senyum Mas Harris kembali terukir, kemudian dia mengambil gelas kosong yang masih aku pegang dan meletakkan gelas tersebut ke atas nakas lagi. “Mas, acaranya gimana?” tanyaku kemudian. “Sudahlah, enggak usah dipikirin, mama udah atur semuanya, kamu jangan khawatir,” cakap Mas Harris. Aku menghela napas pelan. “Maaf,” lirihku. “Aku pasti udah buat mama kamu kecewa,” tuturku, penuh rasa sesal. Mas Harris duduk di sampingku, tangannya bergerak membenarkan beberapa helai rambutku yang menutupi wajah. “Enggak ada yang kecewa sama kamu,” cakap Mas Harris. “Kamu enggak perlu ngerasa bersalah sama siapa pun,” timpalnya. Dengan lembut Mas Harris merengkuh tubuhku, kepalaku tenggelam dalam pelukan hangatnya, aku bisa merasakan aroma sabun mandi yang melekat pada kulit Mas Harris, bahkan tetesan air dari rambutnya yang masih basah tanpa sengaja mengenai tanganku yang tersampir di bahunya. “Mas, aku mau mandi,” ujarku, mencari alasan agar pria itu melepaskan pelukannya. Jujur, sampai detik ini aku masih merasa risih setiap kali bersentuhan dengannya, walau sekalipun kini dia telah resmi menjadi suamiku tapi rasanya aku masih sulit untuk bersikap intim dengan Mas Harris. “Biar aku siapin air hangat buat kamu,” kata Mas Haris, yang langsung bangkit dari duduknya. “Mas, enggak usah, aku bisa sendiri,” tolakku, tak mau merepotkannya, apalagi ini bukan tugasnya, justru seharusnya aku yang melayaninya seperti itu. Tapi penolakanku seolah tidak digubris olehnya, dia hanya tersenyum, lalu pergi menuju kamar mandi untuk menyipkan air hangat agar aku bisa mandi tanpa kedinginan. Aku menghela napas pelan. Mas Harris memang baik padaku. Bahkan dia selalu memperlakukanku bagai ratu. Itulah kenapa dulu aku sangat percaya kalau dia adalah orang baik, hingga aku dengan bodohnya tertipu olehnya. Siapa yang dapat menyangka kalau seekor kucing yang kukira tidak berbahaya, ternyata sebenarnya adalah harimau yang sudah sangat lama memendam hasratnya untuk memangsaku. Dan pada akhirnya aku kalah, kini sepenuhnya aku telah menjadi miliknya. “Air hangatnya udah aku siapin.” Suara itu menyentakku dari lamunan. Aku menoleh padanya, lalu mengangguk pelan, kemudian perlahan aku bangkit dari atas kasur, berjalan tertatih menuju kamar mandi. Saat kakiku baru saja menginjak lantai kamar mandi yang terasa dingin, Mas Haris tiba-tiba berkata, “Aku bantu kamu mandi, ya.” “Mas.” Aku membeliak kaget mendengar perkataannya. “Aku bisa sendiri,” ujarku, dengan tegas menolak tawarannya. Namun, Mas Harris tampak diam saja, seakan-akan perkataanku tidak menimbulkan efek apa pun. “Masuklah ke bathub,” suruh Mas Harris kemudian. Lihat, benar kan kataku. Omonganku tak menghasilkan efek apa pun, walau aku sudah bersikap tegas menolak tawarannya. Satu kenyataan yang selama ini aku tahu, Mas Harris memang egois. Bahkan kini Mas Haris seperti tengah memberitahuku bahwa aku berada di bawah otoriternya dan aku tahu persis kalau dia paling tidak suka dibantah. Apa yang terucap dari mulutnya, semuanya harus aku turuti. Ironisnya, aku memang tidak bisa membantah, dengan kondisiku yang masih lemah, aku tidak bisa melawannya, apalagi kini statusku adalah istrinya. Perkataannya adalah perintah yang harus aku patuhi. Pada akhirnya kakiku masuk ke dalam bathub, tapi tiba-tiba tangan Mas Haris mencegah gerakanku. Aku menatapnya heran. Apalagi yang dia inginkan? “Kamu enggak mungkin mandi dengan pakaian lengkap kan?” ujarnya. Aku terdiam, aku tahu kalau aku tidak punya kuasa membantahnya. Tapi kali ini, aku merasa bahwa aku harus angkat bicara. “Mas, aku—” “Buka pakaian kamu,” suruh Mas Harris, dengan suaranya yang memang terdengar lembut dan halus, tidak terkesan memaksaku. Tapi makna terdalam dari perkataannya adalah bahwa dia ingin melihatku tidak berbusana di depan matanya, aku benar-benar muak padanya. Apa di otaknya hanya ada nafsu saja? “Atau biar aku yang bantuin kamu buka pakaian?” cakapnya lagi. Batinku menjerit, jadi begini rasanya dilecehkan oleh suami sendiri. Aku bahkan mulai merasa jijik dengan diriku sendiri, melihat tubuhku ditatap lekat oleh Mas Haris benar-benar membuat harga diriku hancur berserakan. Usai melepaskan semua pakaianku, tubuhku masuk ke dalam bathtub, tenggelam di antara busa yang mengambang di atas air hangat. Senyum Mas Haris tampak terukir tipis, dia lantas bergerak mendekatiku, dan yang mengejutkan adalah saat tubuhnya tiba-tiba ikut masuk ke dalam bak mandi yang sama denganku. “Mas, kamu ngapain?” Aku langsung bergerak mundur, bahkan berniat keluar dari dalam bathub itu, tapi tangan Mas Haris dengan cepat menahanku. Aku hampir berteriak, meminta tolong pada siapapun yang ada di luar sana. Tapi aku sadar, suaraku tidak akan pernah didengar. Dan kalaupun ada yang mendengarnya, semuanya hanya akan sia-sia, karena pada akhirnya Mas Haris akan menunjukkan bukti kalau dia adalah suamiku, dan dia punya hak kuasa atasku. Untuk yang kesekian kalinya, aku hanya bisa pasrah saat tangan kokoh Mas Haris bergerak sangat lancar menguasai tubuhku, Aku menangis dalam diam, menutupi air mataku dengan percikan air yang membasuh wajahku. Pada saat-saat seperti ini, batin dan pikiranku mulai menyatu, bersama-sama mengeluh mengadu nasib, menyimpulkan bahwa aku lebih pantas disebut b***k pemuas nafsu daripada seorang istri. Sungguh miris. *** Udara pagi itu berembus dingin, angin musim hujan berembus sejuk menampar jendela yang masih belum terbuka. Suara ketukan pintu dari luar kamar hotel membuat Harris terbangun dari tidurnya. Pria itu bergerak pelan, dia mengambil baju kimono yang disediakan oleh pihak hotel, setelah memakainya barulah Harris dengan lesu berjalan menuju pintu kamar. Saat pintu kamar terbuka, seorang perempuan tampak menatap Haris lekat, dia memandangi Haris dari atas hingga bawah, seperti tengah menyelidiki sesuatu. “Ada apa?” tanya Haris, dengan suara seraknya, khas orang baru bangun tidur. Silla—perempuan itu langsung menerobos masuk ke dalam kamar hotel, dia mencari sahabat karibnya yang saat ini masih terbaring di atas kasur. “Dewi masih tidur,” ujar Haris. Silla menghela napasnya berat, dengan sorot tajamnya dia menatap Haris penuh amarah. “Bukankah aku sudah bilang sama Kak Harris, tolong jangan sentuh Dewi dulu,” cakapnya, penuh rasa kesal. Harris diam tak menanggapi, sikapnya benar-benar terlihat sangat tenang, seakan dia tidak peduli dengan perkataan Silla yang padahal demi kebaikan istrinya sendiri. “Aku khilaf,” ujar Haris kemudian. “Khilaf?” Silla hampir meledak marah, bahkan tangannya sudah gatal ingin memukul wajah sepupunya itu. “Awalnya aku cuma mau bantu dia mandi aja, tapi setelah aku melihat tubuhnya ....” Haris menghela napasnya pelan. “Kamu bakal tahu gimana perasaanku setelah kamu menikah,” lanjutnya. “b******k,” umpat Silla, bahkan dia sudah tidak peduli lagi dengan sopan santun yang diajarkan orang tuanya selama ini. Dia terlalu emosi menghadapi kakak sepupunya itu. “Lagian demamnya udah turun kok,” cakap Haris. Silla mengembuskan napasnya kasar, lalu dia melangkah mendekati Dewi yang masih tampak tertidur pulas. Perlahan Silla menyentuh kening Dewi yang memang sudah tidak panas lagi, suhu tubuh Dewi seakan sudah kembali normal. Akan tetapi, melihat Dewi yang masih belum bangun padahal matahari sudah hampir tinggi, membuat Silla yakin kalau kondisi temannya itu tidak sedang baik-baik saja. Silla paham betul bagaimana siklus tidur teman dekatnya itu, apalagi saat kuliah dulu mereka bertahun-tahun tinggal di kamar kos yang sama. “Wi, bangun,” lirih Silla, mencoba membangunkan sahabatnya dengan lembut. Suara Silla dan guncangan pelan dari perempuan itu sepertinya berhasil membuat Dewi terlepas dari alam bawah sadarnya. “Sil?” pelan Dewi bersuara, suaranya itu terdengar sangat lemah, seperti seseorang yang kekurangan energi. Perlahan Dewi bergerak, bangkit dari posisi tidurnya. Lalu dia menatap Silla yang terlihat menatapnya dengan raut khawatir. Senyum Dewi terukir kemudian terukir tipis, dia seolah tahu kalau Silla tengah mencemaskannya, karena itu dia mengukir senyumnya agar Silla mengira kalau dirinya baik-baik saja. Tapi ini adalah Silla, teman baiknya, yang sudah berteman baik dengannya selama hampir delapan tahun. Silla tentu tidak akan pernah bisa dia tipu. “Wi, kamu enggak bisa biarin tubuh kamu seenaknya dipakai sama dia,” cakap Silla, sekilas dia menatap Harris yang tampak diam saja. “Sekalipun dia suami kamu, dia enggak bisa seenaknya minta haknya terus, apalagi pas kondisi kamu lagi lemah kayak gini, kamu harus lawan dia, Wi,” anjurnya. “Tubuh kamu jadi lemah begini karena kamu turuti kemauan dia yang selalu ngedepanin hawa nafsu,” lanjut Silla, dengan gamblang mencibir sepupunya sendiri. “Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu cerai sama dia,” imbuhnya. “Silla!” Suara Haris langsung menggema lantang, pria itu bahkan sampai bangkit dari duduknya, matanya tampak melotot tajam, memandang Silla penuh amarah. “Apa, ha?! Kamu pikir aku takut sama kamu!” Silla tak kalah berani, dia balas menatap tajam kakak sepupunya itu. “Kalau kamu enggak mau aku nentang hubungan kamu sama Dewi, harusnya kamu perlakuin dia dengan baik,” tukasnya. “Kamu enggak usah ikut campur urusan rumah tanggaku,” kata Harris. “Lebih baik kamu keluar dari sini,” suruhnya kemudian. Namun, Silla yang terkenal keras kepala mana mungkin mau meneruti perintah Harris, sekalipun pria itu masih menatapnya tajam. “Sil, mending kamu pergi dari sini, aku baik-baik aja kok, kamu enggak usah khawatir,” lirih Dewi, tak mau suaminya mengamuk pada sahabatnya. Apalagi mereka adalah saudara sepupu, rasanya tak etis jika Dewi membuat mereka bertengkar karena dirinya. “Wi, dia udah buat kamu kayak gini, gimana aku enggak cemas,” kata Silla. “Kamu bilang gitu seolah-olah aku udah apa-apain Dewi, Sil,” kesal Haris. “Kamu tanya sama Dewi, apa aku pernah kasar sama dia? Apa aku pernah pukul atau tampar dia atau mungkin berbuat KDRT sama dia. Coba kamu tanya langsung sama Dewi kalau kamu ngira aku ini jahat sama istri sendiri,” tukasnya, dengan emosi yang meradang. Silla tak menanggapi, karena dia tahu kalau Harris memang tidak akan pernah melakukan kekerasan apa pun dalam rumah tangganya, apalagi terhadap Dewi. Bagi Harris, Dewi adalah sebuah porselen yang tidak boleh tergores sedikit pun. Harris selalu terlihat meratukan Dewi bak permaisuri. Tapi sikap Haris yang posesif, egois dan keras kepala, apalagi nafsunya yang selalu meluap, secara tidak langsung sudah menghancurkan mental Dewi secara habis-habisan. Itu yang Sisil tidak suka. Tapi nahasnya, Sisil tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa membantu Dewi tanpa ada bukti fisik, ditambah Dewi seolah tidak punya iktikad untuk lepas dari jerat Harris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD