Apa aku bisa menjalaninya?
BAGIAN 1
Plak! Tamparan tangan Ajenk menyadarkan lamunan Ana yang sedang duduk menangis dengan melipat kedua kakinya bersandar pada pohon beringin pingir danau di ujung kampung, tempat favoritnya bersama Raka setelah pulang sekolah dulu.
“Na.” Sapa Ajenk sahabat Ana yang selalu ada saat susah dan senang, entahlah Ajenk bak bisa membaca isi hatinya, Ajenk lalu duduk di sebelah nya sambil merangkul bahu Ana memberi ketenangan. Ana hanya membalas dengan menoleh dan tersenyum kecut, tanpa sepatah kata pun, ia kembali menekuk wajahnya, hanya air mata yang terus mengalir di pipi sebagai gambaran isi hati Ana saat ini. Hati Ajenk bagaikan teriris melihat sahabat tercintanya saat ini sedang terpuruk, hilang keceriaan yang selalu terpancar di wajah Ana.
Tak terbayang betapa hancurnya hati Ana saat ini, Ana harus menerima takdir bahwa pernikahannya yang telah berada di ambang pintu harus pupus, kekasihnya harus menikah dengan kakak tirinya di hari yang sama. Ajeng kini sedang tersulut emosi ingin rasanya dia berontak tak terima sahabatnya terluka seperti ini, namun Ajenk bisa apa yang membuat hancur sabahatnya tak lain adalah kakak tirinya sendiri.
“APA YANG KAMU LAKUKAN DISINI! MENANGIS?!”
“Menangisi pria b******k itu Ana?" tanya Ajenk sambil tersenyum meremehkan.
“Kamu tau, tangismu sangatlah berharga untuk kamu berikan sama dia, lelaki yang nggak pantas mendapat istri kayak kamu!"
“Dia memang pantas dengan kakak tirimu itu, sama-sama tak punya hati. Mereka memang pasangan yang serasi.” Sambil mengeratkan rangkulanya, tiada sautan dari Ana.
Suasana kembali hening, hanya isak tangis merekalah yang terdengar Ajenk yang semula ingin kuat tak ikut menangis kini tak mampu menahan air matanya. Siapa yang tak ikut terenyuh melihat keadaan sahabat tercintanya ini, tangan Ajenk tiada hentinya mengusap -usap punggung Ana berharap sahabatnya bisa sedikit merasa tenang.
Sebelum pergi ke sini Ajenk berniat main ke rumah Ana karena sudah 2 hari ini Ana tidak masuk di sebabkan sedang menjalani pingitan sebelum pernikahan, tapi sampai di sana Bu Rina menangis dalam pelukan suaminya. Pak Nugraha pun menceritakan semua pada Ajenk dan memintanya menyusul Ana karena takut terjadi sesuatu. Pak Nugraha tahu Ajenk adalah sahabat yang paling dekat dengan Ana semenjak sekolah dasar,
“Jenk, apa aku bisa menjalaninya? Menghadapi dan menerima semua ini, apa aku mampu jenk?” Ana memecahkan keheningan, dengan suara terbata-bata dan dengan selingan isak tangis yang akan membuat siapa pun yang mendengar tersayat hati.
Ajenk tak mampu menjawab dengan cepat, perlu beberapa waktu untuk Ajenk berani bersuara,walaupun dia juga tak tahu jika semua itu menimpanya dia tidak tahu apa yang akan dia perbuat.
Ajenk menghela napas sebelum akhirnya dia bisa mengeluarkan kata untuk menenangkan sahabatnya. “Ana, aku yakin kamu mampu melewatinya, kamu wanita kuat bukan.'' Menangkup wajah Ana dengan kedua tangannya dan membawanya menghadap padanya, mereka saling berhadapan menyalurkan ketenangan dan sedikit kekuatan.
“Dengarkan aku ... selama ini kesetiaanmu pada Raka tidaklah kurang, berapa laki laki yang udah kamu tolak demi mempertahankan kesetiaanmu, kamu menolak pekerjaan demi menunggunya, bahkan kamu rela tak pernah ikut liburan bersama kami demi menjaga perasaan Raka heeem?”
“Inikah hadiah atas kesetiaanmu itu? 6 tahun Ana ... 6 tahun kamu menunggunya selalu setia padanya dan begitu teganya dia berbuat semua ini sama kamu. Ini nggak adil, Na. Nggak adil!"
“Na, mungkin tuhan ingin menunjukan bahwa Raka bukan lelaki baik untukm. Tuhan nggak berkenan kamu jadi istrinya, Na.” Jari jemari Ajenk menyeka air mata Ana, napas Ana yang terdengan semakin sesak dan embusan angin semilir yang menambah suasana menjadi semakin menyedihkan.
“Kamu kuat, Na. Jalani semua ini semampumu, jangan pernah memaksakan hatimu. Pergilah jika kamu sudah tak mampu, diluar sana pasti telah disiapkan kebahagiaan untukmu.”